Peranakan Tionghoa Punya Sumbangsih terhadap Sastra Indonesia Modern
Lahirnya karya sastra peranakan Tionghoa merupakan respons dari semangat zaman pada akhir abad ke-19 di Hindia Belanda. Namun, kontribusi mereka pada perkembangan sastra Indonesia modern masih sering dilupakan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
Suasana Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (18/1/2019). Museum ini menjadi salah satu pusat dokumen sejarah peranakan Tionghoa, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negeri tetangga.
JAKARTA, KOMPAS — Karya sastra berbahasa Melayu yang ditulis warga peranakan Tionghoa telah berkembang di Hindia Belanda sejak akhir abad ke-19. Karya tersebut mempunyai sumbangsih terhadap perkembangan sastra Indonesia modern.
Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sastri Sunarti mengatakan, karya sastra peranakan Tionghoa merupakan fenomena kultural yang menarik dalam khazanah sastra Indonesia modern. Ia menyebutnya sebagai tradisi sastra Melayu-Indonesia modern yang paling tua.
Dari segi kuantitas, karya pengarang peranakan Tionghoa menunjukkan kontribusi bermakna bagi kesusastraan di Tanah Air. Berdasarkan catatan Claudine Salmon, penulis dan peneliti asal Perancis, dalam kurun waktu 1870-1960, kesusastraan Melayu-Tionghoa melibatkan 806 penulis dan menghasilkan 3.005 karya.
”Sumbangan kaum peranakan Tionghoa ini luar biasa untuk sastra Indonesia modern. Jangan lupa, karya-karya itu ditulis dalam bahasa Melayu,” ujarnya dalam diskusi daring ”Manuskrip dan Sastra Cetak Karya Tionghoa Peranakan di Indonesia”, Jumat (21/7/2023).
Sastri menjelaskan, karya-karya tersebut awalnya dimuat sebagai cerita bersambung di surat kabar. Setelah itu diterbitkan dalam buku kecil agar mudah disebarluaskan.
Nio Joe Lan, penulis Tionghoa Indonesia, pada 1930 telah menyerukan pentingnya peran kesusastraan tersebut. Ia menyebutnya sebagai karya sastra Indo-Tionghoa yang berkembang di luar lembaga resmi pemerintahan.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menyebut masa perkembangan kesusastraan Melayu-Tionghoa sebagai masa asimilasi, transisi dari kesusastraan lama ke kesusastraan baru. Sementara antropolog CW Watson menyebut karya peranakan Tionghoa sebagai pendahulu kesusastraan Indonesia modern.
Dari segi kuantitas, karya pengarang peranakan Tionghoa menunjukkan kontribusi bermakna bagi kesusastraan di Tanah Air.
Salah satu tokoh sastra peranakan Tionghoa yang dikenal luas adalah Lie Kim Hok (1853-1912). Pelopor kesusastraan peranakan Tionghoa ini banyak menulis syair serta mengadaptasi novel Barat dan Tionghoa ke dalam bahasa Melayu.
”Pada 1859 juga ditemukan terjemahan roman-roman Tionghoa ke dalam bahasa Jawa. Beberapa penerjemah juga berprofesi sebagai pedagang, seperti Poe Tjien Hie, Tjiong Hok Long, dan Yap Goan Ho. Mereka juga membangun percetakan di Batavia (sekarang Jakarta) untuk membantu penyebaran karya yang mereka terjemahkan tersebut,” ujar Sastri.
Sastri menuturkan, lahirnya karya sastra peranakan Tionghoa merupakan respons dari semangat zaman pada akhir abad ke-19 di Hindia Belanda. Di masa itu terjadi peralihan dari masyarakat jajahan feodal berdasarkan ekonomi alam ke masyarakat jajahan kapitalis berdasarkan ekonomi pasar.
Menurut dia, bahasa Melayu yang dirintis Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dikembangkan dan dipopulerkan oleh karya sastra peranakan Tionghoa. Peranakan Tionghoa menjadi jembatan bagi penerusan bahasa Melayu dalam karya mereka hingga munculnya terbitan sastra Balai Pustaka.
”Karya sastra peranakan ditulis lebih realistis, banyak kreasi baru, dan menjadi perintis jalan bagi sastra Indonesia modern. Ini yang penting untuk kita sadari. Kontribusi mereka masih agak sering dilupakan,” jelasnya.
Peneliti BRIN, Husnul Fahimah Ilyas, mengatakan, pada 1930-an, keakraban orang Tionghoa terjalin baik dengan orang-orang Makassar di Sulawesi Selatan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah karya sastra yang berbaur.
Ia menyebutkan, terdapat sejumlah penulis yang menerjemahkan naskah Tionghoa ke dalam bahasa Makassar, salah satunya Liem Kheng Young. Ada juga penulis buku pantun Melayu-Makassar, Ang Bang Tiong.
Menurut Husnul, orang Tionghoa yang sudah hidup turun-temurun di daerah itu menguasai bahasa Makassar dengan baik sehingga dapat berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari. ”Penggunaan bahasa Makassar tidak sebatas pada bahasa pasaran, tetapi mampu menggunakannya dalam tulisan sastra, baik prosa maupun sajak,” katanya.
Ketua Persaudaraan Peranakan Tionghoa Makassar Arwan Tjahjadi menyampaikan, fakta-fakta dalam beberapa koleksi buku memberikan pembaruan bahwa sejak 1800-an banyak tulisan mengisahkan tentang peran peranakan Tionghoa dalam kesusastraan Melayu. Liem Kheng Young adalah salah satu penulis aksara lontara Melayu.