Kelompok Spritualis di Eropa Lebih Skeptis terhadap Sains
Individu yang mengidentifikasi diri sebagai pengikut spiritual cenderung meningkat di Eropa, sementara jumlah individu yang beragama menurun. Riset menunjukkan, kelompok spiritualis ini cenderung skeptis terhadap sains.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para ilmuwan telah menyurvei 600 orang di Belanda tentang apa yang mereka pikirkan dan yakini tentang topik tertentu dan bagaimana hal itu memengaruhi pendapat mereka tentang sains. Orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai penganut spiritual, kelompok yang saat ini berkembang pesat di Eropa, terbukti sangat skeptis terhadap sains.
Penelitian ini diterbitkan di Science Communication, bagian dari Sage Journals, pada Rabu (19/7/2023). Bojala Veckalov, psikolog dari University of Amsterdam, menjadi penulis pertama kajian ini.
”Penelitian kami mengkaji prediktor pandangan dunia tentang sikap terhadap nanoteknologi, pengeditan gen manusia, dan kecerdasan buatan. Dengan secara bersamaan menilai nilai prediktif relatif dari berbagai variabel pandangan dunia dalam dua sampel Belanda (total responden 614), kami memperoleh bukti spiritualitas sebagai prediktor utama skeptisisme lintas domain,” tulis Veckalov dan tim.
Orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai kelompok spiritual terbukti sangat skeptis terhadap nanoteknologi, pengeditan genom manusia, dan kecerdasan buatan. Menurut para peneliti, ini adalah bukti pertama bahwa ”spiritualitas” dikaitkan dengan ketidakpercayaan pada sains di luar bidang vaksinasi.
Sementara skeptisisme terhadap sains sering dikaitkan dengan keyakinan politik dan agama, para peneliti mengambil perspektif yang jauh lebih luas dan juga meneliti pengaruh spiritualitas, keengganan manusia merusak alam, kepercayaan umum pada sains, keyakinan konspirasi, dan tingkat pengetahuan.
”Ideologi politik dan religiositas biasanya bukan faktor utama yang berkontribusi terhadap skeptisisme tentang topik tertentu, seperti nanoteknologi dan AI,” kata Bastiaan Rutjens dari University of Amsterdam.
Menurut penelitian ini, aspek lain dari pandangan dunia dan keyakinan seseorang, seperti spiritualitas, kepedulian moral, dan kepercayaan umum pada sains, memainkan peran yang lebih besar.
Survei mengungkapkan bahwa individu yang mengidentifikasi sebagai spiritual lebih cenderung skeptis tentang nanoteknologi, manipulasi genetik, dan kecerdasan buatan. ”Kami telah menemukan bukti yang jelas bahwa orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai spiritual lebih skeptis dalam ketiga bidang yang kami selidiki,” kata Rutjens.
Ini adalah bukti pertama bahwa ’spiritualitas’ dikaitkan dengan ketidakpercayaan pada sains di luar bidang vaksinasi.
Mereka yang kurang percaya pada sains juga cenderung memiliki pandangan negatif tentang topik ini, dan keduanya saling terkait. ”Umumnya, individu spiritual kurang percaya pada sains,” katanya.
Para peneliti juga menemukan bahwa orang-orang beragama sangat skeptis tentang pengeditan genom manusia dan, pada tingkat yang lebih rendah, nanoteknologi. Orang-orang yang menentang perusakan alam juga menyatakan skeptis tentang manipulasi genetik.
Sementara itu, ideologi politik, yang sering diduga berperan dalam skeptisisme terhadap sains, ternyata tidak berpengaruh terhadap skeptisisme terhadap inovasi ilmiah.
Menurut para peneliti, penelitian ini menunjukkan bahwa agama, spiritualitas, dan pandangan seseorang tentang alam memengaruhi cara mereka berpikir tentang perkembangan ilmiah baru. ”Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara agama dan keyakinan spiritual jika kita ingin memahami mengapa orang menolak bentuk sains tertentu,” kata Rutjens.
Perbedaan ini mungkin sangat relevan di negara-negara yang sangat sekuler, seperti Belanda dan negara-negara Eropa Barat pada umumnya, di mana jumlah individu yang mengidentifikasi diri sebagai spiritual meningkat, sementara jumlah individu yang beragama menurun.