Di era digital ini, seorang individu tak jarang akan berada dalam ranah abu-abu ketika menginterpretasikan ketuhanan, spiritualitas, dan agama.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring zaman berlalu, pemaknaan spiritualitas tidak lagi terkungkung pada suatu klasifikasi tertentu. Di era digital ini, seorang individu tak jarang akan berada dalam ranah abu-abu ketika menginterpretasikan ketuhanan, spiritualitas, dan agama.
Pemaknaan ketuhanan, spiritualitas, dan agama dibahas dalam diskusi virtual ”Ekspresi Ketuhanan Generasi Z dan Masa Depan Agama-agama”, Sabtu (13/2/2021). Pembicara yang hadir, antara lain, dosen luar biasa Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Jakarta, Pendeta Martin Lukito Sinaga; cendekiawan Islam, Ulil Abshar Abdalla; dan Romo Pamong SMA Gonzaga, P Gerardus Hadian Panamokta.
Martin menjelaskan, terdapat dua versi spiritualitas dalam beragama. Pertama, terdapat konsep percaya tanpa masuk dalam label tertentu. Konsep ini memicu timbulnya fenomena spiritualitas eksperimental, misalnya yang terjadi pada sejumlah penganut agama Kristen di Eropa yang mempercayai reinkarnasi.
Versi lainnya adalah konsep kepemilikan agama ganda (dual religious belonging) sebagai hasil dari pembelajaran antar-agama (interreligious learning). Konsep ini terlihat pada pengalaman Raimon Panikkar, seorang tokoh agama Katolik asal Spanyol, yang juga menekuni Hindu dan Buddha.
”Sebenarnya kalau kita realistis, setiap agama memiliki banyak sumber rohani. Orang bisa belajar tanpa lagi terpaku pada katalog tertentu,” kata Martin.
Ulil menyebutkan, di Indonesia, pembelajaran antar-agama tidak mudah dilakukan karena masih ada tendensi sebagian kelompok masyarakat untuk mengotak-ngotakkan agama. Orang lain bahkan akan dianggap sesat jika tidak masuk dalam kotak tertentu.
”Orang tidak siap menghadapi kenyataan bahwa beragama ada kondisi abu-abu. Di luar, identitas kita Islam, Katolik, atau Kristen, tetapi pada tingkat pribadi sebenarnya ada banyak yang bergulat dalam identitas itu,” ujar Ulil.
Menurut dia, tidak tepat untuk memaksakan suatu identitas kepada orang lain. Di era modern ini, jalan menuju spiritualitas telah mencair. ”Jadi, kita tetap memerlukan ruang untuk bebas bertanya, meragukan, atau menolak pendapat dominan,” ucapnya.
Penulis buku grafis Berada Dalam Abu-abu, Nalika Arsa, berbagi pengalaman pribadi mengenai pergulatan batinnya dalam memaknai ketuhanan, spiritualitas, dan agama lewat buku ini. Nalika lahir di keluarga dengan latar belakang dua agama.
Nalika kerap merasa bingung karena harus segera melabeli diri akibat tekanan sosial. Alhasil, gadis yang baru berusia 14 tahun ini melihat dirinya seperti sepiring ”nasi campur” karena berasal dari orangtua beda agama.
Nalika menambahkan, upaya mencari makna itu tidak mudah dilakukan di era digital seperti saat ini. ”Informasi simpang siur karena zaman sekarang ada banyak tempat kita bisa mencari ’jawaban’, bahkan sampai titik tidak ada filter. Aku jadi bingung mana yang bisa dijadikan landasan,” tuturnya.
Seiring waktu berlalu, Nalika kini menyadari bahwa dia tidak perlu terburu-buru mencari jawaban pasti. ”Sebenarnya ketika menyadari apa yang terjadi sekarang, jawaban ternyata tidak perlu dicari. Perjalananku masih akan panjang,” ujar Nalika.
Politik identitas
Tantangan besar dalam berkehidupan di negara pluralisme seperti Indonesia adalah rentan terjadinya politik identitas. Agama kerap digunakan sejumlah pihak sebagai alat untuk meraih kekuatan.
Gerardus mengatakan, politik identitas bisa ditangani sejak dini. ”Menjadi PR besar bagaimana kita memperbanyak ruang pertemuan, dialog, dan kebersamaan di sekolah agar bisa lebih mengenal satu sama lain,” ujarnya.
Martin menambahkan, pihak yang melakukan politik identitas biasanya kurang terekspos nilai-nilai keberagaman sejak dini dan hanya terpaku pada satu pemahaman tertentu. Untuk itu, generasi Z sebagai generasi masa depan perlu banyak membuka diri terhadap diskusi keberagaman sehingga tidak gampang terjebak.