Sanksi bagi Pelaku Perundungan di Lingkungan Pendidikan Kedokteran
Kementerian Kesehatan menyediakan situs web dan saluran siaga bagi korban perundungan di rumah sakit vertikal untuk melaporkan kejadian yang dialami.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tindakan perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran perlu dicermati lebih dalam. Untuk mengatasi masalah tersebut, Kementerian Kesehatan menyediakan situs web dan saluran siaga bagi korban perundungan di rumah sakit vertikal untuk melaporkan kejadian yang dialami. Pelaku juga akan mendapatkan sanksi sesuai dengan jenis dan tingkat perundungan yang dilakukan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, tindakan perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran merupakan tradisi yang terjadi selama puluhan tahun. Tradisi tersebut kerap terjadi pada pendidikan dokter umum, internship atau pemahiran, ataupun dokter spesialis. Tindakan perundungan tidak hanya menyebabkan kerugian fisik bagi korban, tapi juga kerugian mental dan finansial karena korban umumnya diperlakukan sebagai asisten pribadi oleh para pelaku.
”Perundungan ini biasanya digunakan sebagai alasan untuk membentuk karakter dokter-dokter muda,” kata Budi pada konferensi pers, di kantor Kemenkes, Jakarta, Kamis (20/7/2023).
Namun, selama ini, sebagian besar rumah sakit enggan mengakui kasus perundungan yang terjadi. Padahal, peserta didik dan orangtua korban sering melaporkan kasus perundungan di rumah sakit.
Budi memaparkan, ada tiga celah praktik perundungan oleh sejumlah dokter senior terhadap dokter residen di rumah sakit yang menyebabkan kerugian mental hingga finansial. Pertama, menjadikan korban sebagai pembantu pribadi untuk melakukan hal-hal di luar praktik kedokteran.
Praktik perundungan kedua ialah membantu tugas dokter senior. Situasi itu membuat dokter yunior yang seharusnya belajar spesialisasi yang diinginkan harus mengerjakan tugas seniornya yang tidak berkaitan dengan pelajarannya. Sementara praktik perundungan ketiga berkaitan dengan uang.
”Banyak yunior disuruh mengumpulkan uang hingga ratusan juta. Biasanya untuk menyiapkan rumah sebagai tempat kumpul senior yang kontraknya setahun bisa mencapai Rp 50 juta. Ini dibagi rata dengan yuniornya,” kata Budi.
Tindakan perundungan tidak hanya menyebabkan kerugian fisik bagi korban, tapi juga kerugian mental dan finansial. Sebab, korban perundungan umumnya diperlakukan sebagai asisten pribadi oleh para pelaku.
Selain itu, sejumlah dokter residen kerap diminta memenuhi keinginan senior untuk makan-makan di restoran mewah, menyewa peralatan dan lapangan olahraga, hingga mengganti gawai terbaru seniornya. Budi menyebutkan, praktik perundungan terhadap dokter residen terjadi sejak puluhan tahun, tetapi korban memilih bungkam sebab berkaitan dengan pengaruh dokter senior sebagai penentu kebijakan kelulusan.
Untuk melindungi peserta didik, perlu pedoman pencegahan dan penanganan perundungan. Kemenkes menyediakan situs web dan saluran siaga (hotline) bagi korban perundungan di rumah sakit vertikal Kemenkes. Sistem laporan perundungan di rumah sakit vertikal Kemenkes dapat diakses melalui www.perundungan.kemkes.go.id dan hotline 0812-9979-9777. Nantinya, data laporan yang masuk akan diterima oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes.
Selain itu, ada tiga tingkatan sanksi yang akan diberikan untuk dokter senior yang melakukan perundungan kepada dokter residen di rumah sakit vertikal Kemenkes. Sanksi yang diberikan berupa sanksi ringan, sedang, dan berat. Jenis sanksi ini diatur dalam Instruksi Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/1512/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan terhadap Peserta Didik pada Rumah Sakit Pendidikan di Lingkungan Kemenkes.
Hukuman pertama berupa sanksi ringan, yakni teguran tertulis. Jika pelanggarannya terjadi berulang dan kasar, pihaknya bisa memberikan sanksi sedang berupa skors langsung selama tiga bulan.
”Sanksi beratnya bagi pegawai Kemenkes, kami akan turunkan pangkatnya satu tingkat selama 12 bulan. Kemudian, kami akan bebaskan dari jabatan dan statusnya sebagai pengajar. Kalau bukan pegawai Kemenkes, kami akan minta untuk tidak perlu mengajar di rumah sakit kami,” tutur Budi.
Tidak hanya itu, senior yang melakukan pelanggaran berat juga akan mendapat hukuman serupa, yaitu tidak diperbolehkan belajar di rumah sakit vertikal. Langkah tersebut diharapkan bisa menciptakan lingkungan yang aman dari perundungan di rumah sakit.
Sementara itu, Ketua Bidang Organisasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Mahesa Paranadipa mengatakan, kasus perundungan yang terjadi pada lingkungan pendidikan kedokteran perlu diamati lebih cermat lagi. Selain itu, batasan mengenai perilaku wajar dan tidak wajar dalam dunia pendidikan kedokteran perlu diperjelas.
”Harus tetap cross check apakah benar tindakan yang dilaporkan itu merupakan bentuk perundungan atau tidak. PB IDI juga telah mengeluarkan fatwa mengenai perundungan pada proses pendidikan kedokteran,” ucapnya.
Menurut Mahesa, upaya pencegahan tindak perundungan dalam lingkungan pendidikan kedokteran harus diperkuat. Penelitian mengenai tindak perundungan juga perlu dilakukan untuk mengenali akar penyebabnya serta proses pendidikan perlu dievaluasi.
”Tantangan yang dihadapi saat ini ialah tidak banyak korban bersedia melaporkan kasus yang dialaminya. Mereka khawatir jika mengadu justru menambah tekanan yang diterima. Kanal pengaduan beserta perlindungan dan bimbingan mengenai batasan sangat penting diterapkan,” tuturnya.