Perluas Partisipasi Perempuan untuk Membangun Perdamaian
UN Women dan Koica bekerja sama menguatkan peran perempuan dalam agenda perdamaian. Program ini akan berlangsung di NTT, NTB, dan Sulawesi Tengah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan memiliki kemampuan untuk membangun perdamaian, merespons bencana, hingga menjadi mediator konflik. Namun, belum semua perempuan punya kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Sejumlah pihak bekerja sama untuk memperluas ruang pelibatan perempuan dalam agenda perdamaian.
Kerja sama ini dilakukan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) serta Badan Kerja Sama Internasional Korea (Korea International Cooperation Agency/Koica). Keduanya meluncurkan proyek pembangunan perdamaian berkelanjutan bagi perempuan dan anak perempuan di Jakarta, Selasa (18/7/2023).
Proyek akan dilakukan di 20 desa di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tengah. Proyek ini bakal berlangsung selama tiga tahun. Adapun Koica memberi 4 juta dollar AS untuk proyek ini.
Bekerja sama dengan pemerintah daerah, UN Women dan Koica akan membantu mengembangkan kebijakan yang responsif jender di tingkat provinsi. Selain itu, proyek juga fokus pada penguatan kolaborasi antar-kelompok masyarakat.
Menurut Koordinator Residen PBB di Indonesia Valerie Julliand, negara-negara di dunia dan Indonesia menghadapi banyak krisis dan konflik yang pada akhirnya berdampak pada perempuan. Krisis iklim, misalnya, berdampak pada kerusakan lingkungan yang jadi ruang hidup perempuan.
Perempuan pun rentan terhadap berbagai kekerasan di masa konflik ataupun bencana. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan pada 2018, sekitar 40 persen perempuan di pengungsian bencana atau konflik rentan mengalami kekerasan seksual (Kompas.id, 6/12/2018).
Selain perlindungan, penting pula melibatkan perempuan dalam penanganan krisis dan pembangunan kedamaian di masyarakat. Julliand mengatakan, perempuan adalah elemen paling stabil di keluarga. Itu sebabnya, perempuan dapat diberdayakan untuk membangun ketahanan keluarga dan masyarakat serta perdamaian.
”Perempuan juga adalah pihak yang kritis ketika kita bicara soal perdamaian. Jadi, suara perempuan harus didengarkan karena mereka bisa membantu kita menciptakan masyarakat yang damai, aman, dan resilien,” ucap Julliand.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT Ambrosius Kodo mengatakan, di NTT, perempuan dilibatkan dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Pelibatan itu penting agar perempuan dapat menyampaikan aspirasinya. Namun, di beberapa kesempatan, beberapa perempuan memilih menitipkan aspirasinya kepada para lelaki saat musyawarah desa. Perempuan pun didorong untuk terlibat aktif dengan memberi mereka peran lebih pada penanggulangan bencana.
”BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) di beberapa pulau sudah menggagas bagaimana rumah menjadi sekolah tangguh bencana, dan ibu sebagai gurunya,” ucap Ambrosius.
NTT berada di kawasan cincin api dengan 15 gunung api serta diapit dua zona penyebab gempa. Pada 2021, NTT mengalami banjir bandang yang dipicu siklon tropis Seroja yang menyebabkan lebih dari 55.000 rumah rusak, 182 orang meninggal, 47 orang hilang, 115 orang luka, dan banyak orang mengungsi.
Perempuan bermain di belakang layar. Mungkin peran mereka tidak kelihatan, tapi kontribusi mereka besar.
Ambrosius menambahkan, Pemerintah Provinsi NTT sedang menyusun dokumen penanggulangan bencana dengan prinsip GEDSI (pengarusutamaan jender, disabilitas, dan inklusi sosial). Hal serupa juga dilakukan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Direktur Lingkar Belajar untuk Perempuan (Libu Perempuan) Dewi Riana mengatakan, DPRD Sulteng mengubah perda tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan memasukkan perspektif perempuan.
Dewi menambahkan, perempuan memiliki kapasitas untuk terlibat dalam mediasi konflik hingga lobi kepentingan. Perempuan di beberapa desa di Kabupaten Sigi, misalnya, pernah berhasil mengeklaim tanah hak ulayat dengan membawa hasil kebun seperti kopi, cabai, dan beras merah kepada para pengambil keputusan.
,Perempuan bermain di belakang layar. Mungkin peran mereka tidak kelihatan, tetapi kontribusi mereka besar,” katanya.
Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mutjaba Hamdi mengatakan, pihaknya menguatkan pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan desa melalui program Desa Damai. Program ini juga memberdayakan perempuan dari segi ekonomi serta kohesi sosial. Perempuan dijadikan garda depan untuk menyebarkan nilai toleransi dan perdamaian sehingga perkembangan ideologi ekstremis yang dapat memicu perpecahan bisa ditanggulangi.
”Saat dimensi ideologi tidak diperhatikan, ini bisa menghambat kerja sama yang melibatkan perbedaan. Di situasi bencana atau krisis, bantuan tidak bisa masuk karena kita tidak bisa kerja sama dengan (pihak) yang berbeda dengan kita, atau menerima bantuan dari yang berbeda,” kata Mutjaba.