Perempuan Pengungsi Rentan Mengalami Kekerasan Seksual
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sekitar 40 persen perempuan Indonesia yang berada di pengungsian bencana alam atau konflik rentan mengalami kekerasan seksual. Untuk mengantisipasi agar kekerasan tidak terus berulang, prosedur operasi standar penanganan pengungsi yang mengarusutamakan jender perlu dihadirkan.
Hal tersebut diungkapkan Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Adriana Venny seusai diskusi publik bertema "Perempuan, Pengungsi, dan Kekerasan Seksual" di kantor Komnas Perempuan, di Jakarta Pusat, Rabu (5/12/2018).
"Bentuk kekerasan yang terjadi termasuk pelecehan seksual sampai (pengabaian) kesehatan reproduksi. Contohnya seperti diintip saat menyusui atau di toilet, incest (hubungan badan dengan sedarah), atau pemaksaan pernikahan," tuturnya.
Menurutnya, sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan Seksual pernah dialami perempuan di pengungsian. Ini seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual.
Kekerasan seksual terhadap perempuan tersebut umumnya dilakukan sesama pengungsi. Namun, pemerintah dan pihak yang berwenang menangani kepentingan pengungsi juga dinilai berperan dalam kejadian tersebut. Pengabaian serta tidak diperhatikannya pemenuhan hak berbasis gender, khususnya bagi pengungsi perempuan, menjadi pemicu.
"Pasca tsunami Aceh, misalnya, kami menemukan ibu yang bingung melahirkan di pengungsian karena tidak ada bidan. Perempuan yang menjadi kepala keluarga juga kerap tidak didata sehingga tidak mendapat layanan program yang ditangani birokrasi. Tidak sedikit juga korban konflik minoritas disingkirkan sehingga berdampak ke psikososial," papar Adriana.
Menurutnya, kasus kekerasan atau pengabaian hak perempuan terus berulang di daerah pengungsian. Padahal, regulasi yang mengatur pengarusutamaan gender, khususnya untuk perempuan telah tersedia. Hanya saja, di lapangan, regulasi itu sering tidak dieksekusi dengan baik.
"Kami merekomendasikan adanya SOP (prosedur operasi standar) untuk menangani pengungsi perempuan. Pihak dari antarlembaga, khususnya pemerintah lokal, perlu berkoordinasi untuk pembuatan SOP ini," jelasnya.
Rekomendasi tersebut juga perlu didukung sosialisasi instrumen Hak Asasi Manusia dan regulasi nasional. Ini antara lain, Ratifikasi CEDAW, UU Penanggulangan bencana, UU Penanganan konflik sosial, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial.
Peraturan yang menjamin hak perempuan juga hadir dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, hingga Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Bencana.
Sosialisasi dan pembenahan koordinasi untuk membangun kesadaran jender diperlukan karena Indonesia sering mengalami kejadian bencana alam dan konflik. Menurut data BNPB sampai 5 Desember 2018, bencana alam di Indonesia telah mencapai 1.244 kejadian, seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, hingga tsunami. Total masyarakat yang terdampak atau mengungsi mencapai 777.202 orang.
Adapun bencana sosial yang memicu korban terdampak atau mengungsi banyak tercatat sebelum tahun 2015. Di 2014, terdapat lima kejadian konflik yang mengakibatkan total 505 warga mengungsi. Pada 2010, sekitar 30 kejadian konflik terjadi dan mengakibatkan 44.344 warga mengungsi. (ERIKA KURNIA)