Badai Geomagnetik Menghantam Bumi pada Selasa, 18 Juli 2023
Ledakan di permukaan Matahari, Sabtu (15/7/2023) dini hari dan siang, menciptakan lontaran massa korona. Partikel bermuatan dari ledakan itu akan sampai di Bumi Selasa (18/7/2023) yang memicu badai geomagnetik.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Sebanyak dua lontaran atau ejeksi massa korona dari Matahari pada akhir pekan lalu telah bergabung menjadi awan plasma magnetis yang sangat besar. Awan plasma berenergi tinggi itu diperkirakan menghantam Bumi pada Selasa (18/7/2023) ini sehingga memicu badai geomagnetik yang bisa berdampak pada teknologi manusia.
Lontaran massa korona atau coronal mass ejection (CME) pertama dipicu terjadinya suar atau flare Matahari pada Jumat (14/7/2023) pukul 18.44 waktu universal (UTC) atau Sabtu (15/7/2023) pukul 01.44 WIB. Suar ini berasal dari ledakan pada bintik Matahari dengan kode AR3370. Suar yang terjadi masuk kelas C8.
Adapun CME kedua dari suar yang terjadi pada Sabtu (15/7/2023) pukul 07.41 UTC atau pukul 14.41 WIB. Suar kedua ini hanya berselang sekitar 13 jam dari suar pertama. Suar kedua itu berasal dari bintik Matahari AR3363 yang lebiih besar dari AR3370 sehingga kelas suarnya pun lebih tinggi, yaitu M2.
Suar Matahari memiliki lima kelas, yaitu A sebagai kelas suar terlemah, diikuti kelas B, C, M dan X sebagai kelas suar tertinggi. Dikutip dari situs Pusat Prakiraan Cuaca Antariksa (SWPC) Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA), kelas suar C merupakan suar dengan kelas menengah yang memiliki kekuatan 100 kali lebih besar dari suar A dan seperseratus dari kekuatan suar X.
Karena terjadi hampir bersamaan, lontaran massa korona kedua suar itu pun bergabung hingga membentuk awan plasma magnetis yang besar. Bahkan karena CME suar kedua memiliki kekuatan lebih besar dari CME suar pertama, maka CME suar kedua langsung ”memakan” suar pertama. Terjadinya fenomena ”kanibalisme” CME itu seperti dikutip dari Livescience, Senin (17/7/2023), menandai makin dekatnya puncak siklus Matahari.
SWPC NOAA pada Minggu (16/7/2023) memperkirakan gabungan dua CME itu akan menimbulkan badai geomagnetik di Bumi pada Selasa (18/7/2023) ini. Namun, badai geomagnetik yang terjadi diperkirakan hanya memiliki kekuatan G1 (minor) hingga G2 (moderat). G1 adalah badai geomagnetik dengan kekuatan terendah, sedangkan kekuatan tertingginya ada di kelas G5 (ekstrem).
Meski minor hingga moderat, badai geomagnetik pada tingkat ini sudah bisa memicu gangguan fluktuasi jaringan listrik di daerah lintang tinggi walau dalam tingkat lemah. Badai geomagnetik tipe ini juga sudah bisa mengganggu operasional satelit di luar angkasa walau peluangnya rendah. Bahkan, badai geomagnetik G1 juga sudah bisa mengganggu migrasi burung serta bisa menimbulkan aurora di sekitar kutub Bumi.
Aktivitas meningkat
Saat ini, aktivitas Matahari memang sedang mengalami peningkatan menuju puncak siklus Matahari yang memiliki periode 11 tahunan atau disebut siklus 11 tahunan Matahari (solar cycle). Siklus Matahari yang sekarang berlangsung adalah siklus ke-25 yang terjadi sejak Desember 2019 dan diperkirakan mencapai puncaknya pada Juli 2025.
Peningkatan aktivitas Matahari itu ditandai dengan munculnya banyak bintik Matahari di permukaan Matahari atau sunspot. Jika diamati dari teleskop dengan filter khusus atau memakai kacamata Matahari, bintik Matahari itu akan terlihat seperti bintik-bintik hitam yang menggerombol di sejumlah tempat.
Bintik Matahari adalah daerah gelap di fotosfer atau permukaan Matahari yang memiliki kerapatan rendah. Bintik Matahari terbentuk akibat adanya fluks atau aliran magnet kuat dari dalam Matahari sehingga bintik Matahari memiliki medan magnet yang lebih besar dibandingkan daerah sekitarnya.
Tampilan bintik Matahari yang lebih gelap daripada sekitarnya terjadi karena medan magnet yang mengelilingi bintik tersebut membelokkan panas sehingga bagian tengah bintik Matahari menjadi lebih dingin. Bintik Matahari itu mampu bertahan selama beberapa jam hingga beberapa bulan.
Saat plasma dan medan magnet di atas permukaan bintik Matahari yang tertekan dilepaskan ke luar Matahari, terbentuklah suar atau flare Matahari. Plasma itu tidak turun ke bawah atau ke bagian dalam Matahari karena akan menabrak bagian dalam Matahari yang lebih padat.
Suar tersebut memicu lontaran massa korona atau coronal mass ejection (CME), yaitu pelepasan plasma yang terdiri atas partikel bermuatan dan medan magnet dalam jumlah besar dan bergerak dengan kecepatan tinggi ke lingkungan tata surya. Lontaran plasma ini bisa menempuh jarak hingga ratusan juta kilometer dari Matahari.
Dalam kondisi normal, Matahari sejatinya memancarkan partikel bermuatan secara terus-menerus ke lingkungan sekitar. Namun saat terjadi ledakan di Matahari yang disertai CME, jumlah partikel bermuatan yang dilepaskan akan meningkat drastis. Lonjakan partikel bermuatan dari Matahari itulah yang disebut badai Matahari.
Badai Matahari itu akan memengaruhi medan magnet antarplanet. Jika mengarah ke Bumi, badai Matahari juga akan memicu terjadinya badai geomagnetik di Bumi. Partikel bermuatan yang berasal dari CME akan sampai ke Bumi dalam 1-3 hari saja terjadi ledakan. Namun, untuk radiasi elektromagnetik, baik berupa sinar X, sinar gamma, maupun cahaya visual, akan tiba di Bumi dalam 8 menit saja.
Setibanya di Bumi, partikel bermuatan itu akan menumbuk medan magnet yang melingkupi Bumi. Partikel berenergi tinggi itu akan diarahkan oleh medan magnet Bumi untuk bergerak sesuai garis medan magnet Bumi menuju kutub-kutub magnet Bumi. Kutub-kutub magnet Bumi itu terletak di dekat kutub-kutub geografis Bumi, tetapi tidak berimpitan.
Saat memasuki kutub magnet Bumi, partikel berenergi tinggi itu bisa berbenturan dengan partikel di atmosfer Bumi bagian atas, khususnya nitrogen. Akibatnya, partikel di udara menjadi terionisasi sehingga menciptakan aurora atau garis cahaya warna-warni di langit yang umumnya hanya bisa dinikmati mereka yang tinggal di dekat kutub bumi. Bahkan saat badai geomagnetik yang terjadi sangat kuat, aurora itu bisa disaksikan hingga di daerah lintang tinggi.
Meski bisa mengundang keindahan, badai geomagnetik itu juga mengancam teknologi manusia, seperti satelit yang ditempatkan di orbit Bumi serta jaringan listrik di daerah lintang tinggi. Badai geomagnetik pernah membakar sejumlah trafo listrik di Kanada menyebabkan padamnya aliran listrik di seluruh Quebec, Kanada, pada 1989 dan di Swedia pada 2003.
Badai Matahari itu akan memengaruhi medan magnet antarplanet. Jika mengarah ke Bumi, badai Matahari juga akan memicu terjadinya badai geomagnetik di Bumi.
Badai geomagnetik juga pernah membuat 40 satelit internet Starlink milik perusahaan Elon Musk gagal mencapai orbit dan jatuh kembali ke Bumi sebagai bola api. Badai geomagnetik pada Februari 2022 itu datang sehari setelah 49 satelit Starlink diluncurkan. Besarnya aliran partikel bermuatan meningkatkan kerapatan atmosfer bagian atas Bumi. Akibatnya, satelit tidak bisa naik ke orbit yang sesungguhnya dan akhirnya jatuh kembali ke Bumi.
Karena itu, seiring makin meningkatnya aktivitas Matahari dan besarnya potensi terjadinya badai geomagnetik di Bumi, operator satelit, pengelola telekomunikai, hingga perusahaan penergangan mulai mewaspadai gangguan yang ada. Partikel energetik Matahari itu bisa memengaruhi komponen elektronik satelit. Sedangkan radiasi elektromagnetiknya bisa mengubah kerapatan dan temperatur atmosfer hingga memengaruhi masa guna satelit.
Meski demikian, badai geomagnetik ini relatif aman bagi manusia. Bumi dilindungi oleh medan magnet Bumi yang akan menjaga seluruh penduduk Bumi, termasuk manusia, dari pancaran partikel bermuatan dari Matahari. Karena itu, peningkatan aktivitas Matahari ini tidak perlu dikhawatirkan berlebihan, tetapi perlu ditingkatkannya kewaspadaan, terutama bagi operator teknologi di luar angkasa dan daerah lintang tinggi.