Perguruan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh Buka Peluang Kuliah yang Luas
Akses kuliah bermutu masih jadi tantangan di negeri ini. Perguruan tinggi terbuka jarak jauh, seperti Universitas Terbuka, jadi salah satu jawaban kebutuhan kuliah yang fleksibel bagi semua orang.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Akses pada kuliah yang berkualitas dan inklusif seharusnya terbuka. Itu sebabnya perguruan tinggi terbuka dan jarak jauh yang dilaksanakan secara terbuka, fleksibel, dan terjangkau membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melanjutkan pendidikan tanpa hambatan ke perguruan tinggi.
Pascapandemi Covid-19, perspektif masyarakat terhadap pendidikan terbuka dan jarak jauh (PTJJ) menjadi lebih baik. Layanan PTJJ kian menjangkau masyarakat di perkotaan dan perdesaan, orang dari sosial, ekonomi, dan budaya beragam, kelompok disabilitas, hingga kelompok pekerja.
Peningkatan layanan pendidikan berkualitas terus menjadi komitmen Universitas Terbuka (UT) yang merupakan perguruan tinggi milik pemerintah yang menerapkan model PTJJ. Peningkatan kualitas tidak hanya dilakukan dengan memenuhi akreditasi secara nasional. UT secara berkala dan berkelanjutan juga mengundang lembaga akreditasi dan penjamin kualitas internasional untuk memastikan layanan PTJJ UT memenuhi standar global.
Rektor UT Ojat Darojat dalam acara penyambutan Tim Reviewer ICDE 2023 di Kampus UT di Tangerang Selatan, Senin (17/7/2023), mengatakan, sudah lima kali UT mengundang penilai dari International Council for Open and Distance Education (ICDE). Sebelumnya, penilaian kualitas oleh ICDE dilakukan pada tahun 2005, 2010, 2016, dan 2019.
Pada 2023, evaluasi oleh penilai ICDE dilakukan untuk memastikan rekrutmen, bahan ajar, layanan pembelajaran, asesmen, hingga sistem manajemen kelembagaan PTJJ UT sesuai dengan standar internasional. Apalagi, kini UT memiliki otonomi akademik dan nonakademik yang lebih luas dengan status oerguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH).
Akses kuliah masih harus diperjuangkan, tetapi kualitas juga tetap dipastikan. Karena itu, jika perguruan tinggi tidak menjunjung kualitas dan relevansi, apalagi hanya sekadar jual ijazah, menjadi tidak bermakna dan merugikan masyarakat.
Penilai ICDE pada tahun ini ialah Prof Ebba Ossiannilsson (Chair of the ICDE OEP Advocacy Committee and ICDE OER Ambassador for Global Advocacy, Swedia), Prof Morten Flate Paulsen (The Norwegian of Science and Technology dan mantan Sekretaris Jenderal ICDE), dan Prof Kam Cheong Li (Dekan School of Open Learning at Hong Kong Metropolitan University).
Ojat menyampaikan, setelah menjadi PTN-BH, UT memiliki beberapa tantangan besar, yakni meningkatkan kualitas dan memperkuat partisipasi dalam proses pembelajaran. Selain itu, UT juga dipercaya pemerintah untuk meningkatkan jumlah mahasiswa hingga satu juta serta mengembangkan Indonesia Cyber Education (ICE) Institute.
Semakin muda
Ojat menuturkan, saat ini, pendaftar di UT hampir mencapai 500.000 orang. Dari sisi usia, mereka yang berusia di bawah 25 tahun semakin banyak jumlahnya, yakni 226.441 orang.
”Generasi milenial sudah mulai memilih PTJJ. Namun, sebagai universitas terbuka, semua usia bisa mendaftar. Bahkan, UT memberikan layanan untuk hadir di rumah-rumah lewat pemanfaatan teknologi digital yang semakin meningkat kualitasnya,” kata Ojat.
Sementara itu, Morten menyampaikan, ada lebih dari 200 institusi PTJJ di dunia yang bergabung di ICDE. Jumlah mahasiswanya mencapai lebih dari 15 juta orang.
“Setelah pandemi, memang ada tantangan PTJJ karena perguruan tinggi tradisional pun memanfaatkan teknologi digital secara masif. Namun, ada kekhasan bahwa universitas terbuka di dunia memberikan peluang bagi semua orang untuk kuliah. Orang yang harus bekerja dan tidak bisa kuliah secara konvensional, lewat PTJJ bisa terlayani. Ada ibu muda yang bisa kuliah daring saat anak tertidur. Dan, ada kelompok disabiltas yang bisa kuliah dengan teknologi digital yang ditawarkan PTJJ,” kata Morten.
Sementara Kam Cheong Li mengakui, UT Indonesia sungguh-sungguh menunjukkan komitmen pada kualitas internasional. Sebagai salah satu universitas terbuka di Asia, kualitas layanan UT terus meningkat.
Masyarakat Indonesia yang ada di daerah pelosok atau di luar negeri dapat meraih gelar sarjana, magister, hingga doktor dengan kuliah di UT. Bahkan, kini pengembangan UT diarahkan pada pembelajaran non-gelar untuk meningkatkan kualitas sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan terkini dunia kerja.
Akses kuliah
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nizam mengatakan, peningkatan akses kuliah bagi generasi muda Indonesia masih butuh dukungan perguruan tinggi negeri dan swasta, salah satunya UT. Angka partisipasi kasar mahasiswa usia 19-23 tahun di perguruan tinggi tahun 2022 sudah mencapai 39,37 persen.
”Di daerah-daerah luar Jawa, angka partisipasi kasarnya juga ada yang melampaui nasional. Akses kuliah PTJJ seperti yang dilakukan UT membuka kesempatan anak-anak muda untuk mengatasi hambatan geografi kuliah secara berkualitas,” ujar Nizam.
Nizam menambahkan, peluang kuliah juga terbuka di PTS yang kini jumlahnya mencapai 2.982 institusi dengan mahasiswa mencapai hampir 4,5 juta orang. Adapun PTN sebanyak 125 insitusi dengan jumlah mahasiswa lebih dari 3,37 juta orang.
”Akses kuliah masih harus diperjuangkan, tetapi kualitas juga tetap dipastikan. Karena itu, jika perguruan tinggi tidak menjunjung kualitas dan relevansi, apalagi hanya sekadar jual ijazah, menjadi tidak bermakna dan merugikan masyarakat. Kami tegas menutup PTS nakal untuk melindungi masyarakat,” kata Nizam.