Penggunaan Asuransi Kesehatan Tambahan Perluas Manfaat Layanan JKN
Sebagian peserta Jaminan Kesehatan Nasional membutuhkan fasilitas lebih dari program yang ditawarkan. Hal ini bisa dipenuhi melalui program asuransi kesehatan tambahan.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Pola pembiayaan untuk layanan kesehatan, seperti program Jaminan Kesehatan Nasional, dari waktu ke waktu semakin kompleks akibat kebutuhan kesehatan yang selalu meningkat. Karena itu, pemangku kebijakan perlu menguatkan peran untuk menjamin layanan kesehatan tanpa membebani masyarakat.
Komisaris Independen PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) Muhammad Arief Rosyid Hasan mengutarakan hal itu pada sidang terbuka promosi doktor bidang ilmu kesehatan masyarakat, Senin (17/7/2023), di Auditorium Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Depok, Jawa Barat. Arief mendapatkan gelar doktor dari Universitas Indonesia atas disertasinya berjudul ”Rumusan Kebijakan Asuransi Kesehatan Tambahan Peserta Jaminan Kesehatan Nasional”.
Data Dewan Jaminan Sosial Nasional menunjukkan, sejak tahun 2016, terjadi peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan rata-rata peningkatan 6,4 persen per tahun. Pencapaian itu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan populasi terbanyak di dunia yang menjadi peserta program asuransi kesehatan sosial.
Menurut Arief, program JKN memberikan jaminan terhadap pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan dan indikasi medis pesertanya. Namun, tidak tertutup kemungkinan jika peserta memiliki kebutuhan lebih dari program yang ditawarkan. Hal tersebut lantas membutuhkan biaya tambahan.
”Permintaan ruang atau kelas rawat yang lebih baik di rumah sakit dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Di antaranya preferensi pasien, kondisi medis, durasi hari rawat, kepemilikan asuransi kesehatan, demografi, deputasi rumah sakit, serta rujukan,” kata Arief.
Asuransi kesehatan tambahan
Arief memaparkan, masyarakat dapat memiliki jaminan terhadap layanan kesehatan yang lebih luas ketika menjadi peserta dua program sekaligus, yakni JKN dan asuransi kesehatan tambahan (AKT). Program AKT dapat meningkatkan pelayanan dari program JKN, baik akomodasi maupun medis.
Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan Arief, sejumlah responden belum memanfaatkan kombinasi pembayaran JKN dan AKT saat mengakses layanan rawat jalan atau rawat inap. Hal itu disebabkan ketidaktahuan responden terhadap mekanisme kombinasi pembayaran dan belum semua rumah sakit memiliki mekanisme satu tagihan terintegrasi dan kombinasi pembayaran oleh lebih dari satu penjamin.
Secara umum program JKN dan penyelenggaranya, yaitu BPJS Kesehatan, memiliki tujuan sosial dan mengedepankan ekuitas. Sementara itu, peningkatan pelayanan dan perusahaan AKT mengedepankan pasar dan keuntungan.
Selain itu, tidak semua rumah sakit menawarkan pasien untuk memanfaatkan kombinasi dari keduanya. Terakhir, adanya perubahan regulasi terkait mekanisme koordinasi pembayaran antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan AKT yang membuat provideratau penyedia layanan kesehatan enggan menawarkan kepada pasien.
”Meski demikian, harus diingat bahwa secara umum program JKN dan penyelenggaranya, yaitu BPJS Kesehatan, memiliki tujuan sosial dan mengedepankan ekuitas. Sementara itu, peningkatan pelayanan dan perusahaan AKT mengedepankan pasar dan keuntungan,” kata Arief.
Menguatkan peran
Menurut Arief, pemangku kebijakan seharusnya menguatkan peran Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Itu termasuk kebijakan AKT untuk peserta JKN.
”Pihak DJSN juga perlu berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). DJSN bersama OJK perlu memastikan ekosistem yang kondusif antara SJSN dan program JKN dengan AKT untuk menyeimbangkan akses pelayanan kesehatan dan keinginan masyarakat untuk mendapatkan peningkatan pelayanan,” tuturnya.
Selain itu, Arief mendorong penyusunan standar pelayanan melalui Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) untuk mengetahui peningkatan pelayanan medis. Penyusunan PNPK dinilai harus melibatkan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB). Sebab, TKMKB memiliki informasi terkait hasil telaah utilisasi pemanfaatan program JKN.
Oleh karena itu, kapasitas terhadap TKMKB perlu ditingkatkan untuk menjalankan tugas pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan yang dijamin program JKN. Setelah adanya standar, AKT dapat membuat produk di atas standar yang dapat ditawarkan kepada calon pesertanya.
”Selanjutnya, Kementerian Kesehatan perlu responsif dalam proses pengesahan PNPK yang diajukan dalam rangka menjamin mutu pelayanan kesehatan secara menyeluruh,” ujar Arief.
Sementara itu, pemerintah saat ini terus berupaya memperbaiki skema JKN. Salah satunya melalui upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi serta perbaikan kebijakan melalui pelaksanaan Program for Results JKN Reforms (PforR JKN Reforms) dengan dukungan pinjaman Bank Dunia.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara Made Arya Wijaya mengutarakan, melalui skema PforR JKN Reforms antara Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia diharapkan memperkuat dan meningkatkan mutu perawatan kesehatan, meningkatkan efisiensi manajemen klaim biaya kesehatan, menguatkan koordinasi antarpihak terkait dalam sistem JKN, serta menyempurnakan rumusan program JKN.
”Keberhasilan program ini tidak lepas dari koordinasi yang optimal antara Bank Dunia dengan seluruh implementing agency yang terlibat, yakni Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan DJSN. Selain itu, hal ini didukung pihak-pihak lainnya yang terlibat, antara lain Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Kemenko Bidang PMK (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan),” kata Made.