Bertahan di Tengah Kuatnya Patriarki
Posisi perempuan adat di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, hingga kini dianggap nomor dua. Meski menikah, mereka tak berhak atas kepemilikan lahan dan rumah keluarga.
Satu kilometer dari perkampungan Dusun Pariok, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat, terlihat sebuah rumah kecil terbuat dari papan. Asap terlihat mengepul dari dalam rumah yang berada di antara pohon-pohon pinang dan pohon pisang, Jumat (7/7/2023) sore.
Dari dalam rumah, muncul seorang perempuan lanjut usia bercelana pendek warna ungu, dengan tubuh bagian atas tidak tertutup. Di lehernya melingkar beberapa kalung. Sebuah kalung dengan tali hitam dengan bandul dari kayu, serta dua kalung berwarna merah dan kuning hijau khas suku Mentawai.
Di sekujur tubuh hingga kakinya tampak tato bergambar garis memanjang. Bagi suku-suku di Mentawai, tato ibarat pakaian, tetapi juga sekaligus identitas. Meski sudah lanjut usia, perempuan bernama Nanda Saleleubaja itu terlihat masih sehat dan kuat.
Nanda tinggal sendirian di rumah papan yang sederhana. Kamar tidurnya menyatu dengan dapur. Di luar kamar, ada bagian dengan tempat duduk dari papan. Beberapa ubi talas dibiarkan tergeletak di lantai papan. Di dapur ada tumpukan kayu bakar dan beberapa bambu berisi sagu dan di belakangnya terdapat dua keranjang berisi ayam.
Sore itu, Nanda menyapa beberapa wartawan yang diajak Kemitraan Partnership untuk mengunjungi perempuan adat di Mentawai. Ia menyapa dengan bahasa asli Mentawai.
Nanda bercerita bahwa dia tinggal sendirian di rumah yang agak jauh dari perkampungan. Tiga anaknya sudah lama berkeluarga dan tidak tinggal dengannya. Sekitar 10 tahun lalu, suaminya meninggal dunia.
Ketika suaminya meninggal, sesuai hukum adat di Mentawai, Nanda dipulangkan kepada keluarga besarnya. Namun, hanya sebulan dia tinggal bersama keluarga. Dia kemudian tinggal dengan salah satu anaknya.
Namun, pikirannya terus tertuju pada rumah yang ditinggalkannya. Nanda pun meminta kepada anak laki-lakinya agar meminta izin kepada keluarga besar almarhum suaminya untuk diizinkan kembali ke rumah lamanya hingga akhir hidupnya. Dia tidak mau bergantung pada keluarga, sebab dia masih kuat menanam tanaman yang bisa dimakannya.
”Saya bilang ke anak saya, saya ingin kembali lagi ke rumah ini agar bisa menanam pisang, cokelat, pinang, dan ubi talas,” kata Nanda.
Permintaan Nanda disetujui keluarga besar suaminya. Ia kembali ke rumah yang dibangun bersama suami.
Namun, karena rumahnya sudah tua dan rusak, akhirnya anaknya membangunkan rumah sederhana yang kini ditempatinya. Di rumah itu, pada malam hari Nanda menggunakan lampu minyak, dan air bersih diambil dari sungai yang tak jauh dari pondoknya.
Saya bilang ke anak saya, saya ingin kembali lagi ke rumah ini agar bisa menanam pisang, cokelat, pinang, dan ubi talas.
Nanda diizinkan menempati rumah dan menggarap lahan di sekitar rumah yang luasnya beberapa ratus meter persegi. Namun, dia tidak berhak memilikinya, juga tidak berhak melarang ketika lahan itu sedikit demi sedikit dijual keluarga suami dan anak-anaknya.
Bagi Nanda, masih diizinkan tinggal kembali di lahan tersebut sudah merupakan suatu keberuntungan baginya. Sebab, pada umumnya perempuan adat ketika ditinggal suaminya (karena meninggal) harus kembali ke keluarganya.
Kembali ke keluarga (orangtua atau keluarga besarnya) hingga kini dialami oleh hampir semua perempuan adat di Mentawai jika suaminya meninggal. Tanpa melihat berapa usia sang perempuan, begitu suaminya meninggal, otomatis dia akan dipulangkan kepada keluarganya.
Sebab, berdasarkan hukum adat, ketika perempuan Mentawai menjadi janda karena kematian suami, dia akan kehilangan hak atas harta peninggalan suami maupun harta yang diperoleh bersama suami selama perkawinan.
Baca juga : Buah Kesetiaan Adat dan Budaya di Mentawai
Tak hanya itu, perempuan adat juga kehilangan hak asuh atas anak-anaknya. Anaknya yang yatim akan diasuh oleh orangtua atau saudara laki-laki dari almarhum ayahnya, yang mengambil alih penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan seluruh harta warisnya. Pemenuhan kebutuhan hidup dan ekonomi sepenuhnya diatur oleh kerabat ayah.
Anak laki-laki akan diberi hak atas harta warisnya ketika sudah dianggap dewasa atau menikah. Sementara anak perempuan tidak akan mendapat hak waris meski sudah memasuki usia dewasa atau menikah. Kehidupan ekonomi ketika menikah sepenuhnya akan bergantung pada suami dan lingkungan keluarga luas (klan) suaminya.
Budaya patriarki yang masih lekat dalam kehidupan masyarakat adat Mentawai menempatkan perempuan sebagai subordinasi, di mana peran dan posisi perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Dalam posisi sebagai perempuan adat, mereka mengalami banyak ketidakadilan.
Tidak hanya saat suami meninggal, posisi tawar perempuan adat dalam keluarganya juga sangat lemah saat orangtuanya meninggal. Dia sama sekali tidak memiliki hak atas penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan seluruh harta warisan orangtuanya sehingga rentan mengalami kemiskinan berlapis.
Perempuan adat disabilitas
Posisi perempuan adat akan semakin lemah saat ia merupakan penyandang disabilitas dan yatim piatu. Selain tidak memiliki hak atas penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan seluruh harta warisan orangtua, perempuan disabilitas akan terkucil dari kehidupan keluarganya karena dianggap menjadi beban.
Kondisi tersebut seperti yang dialami Helma Saloga (51), warga Dusun Sibeotcun, Desa Malancan, Siberut Utara. Helma lahir dengan kondisi disabilitas fisik di bagian kaki. Ketika ayah dan ibunya meninggal, hidupnya telantar. Meski diizinkan tinggal di rumah keluarganya, dia sama sekali tidak punya hak atas ladang milik keluarga ayahnya.
Awalnya Helma tinggal sendirian di sebuah rumah sederhana di tengah perkampungan Dusun Sibeotcun. Hidupnya sepenuhnya bergantung pada belas kasih tetangga dan kakak adiknya di kampung tersebut. Di pekarangan belakang rumahnya, dia menanam pisang, yang bisa menjadi penolong saat dia tidak punya makanan.
”Saya sering tidak ada makanan. Kalau sudah begitu, saya hanya makan pisang dan minum air hangat saja,” ucap Helma, Selasa (4/7/2023).
Belakangan, kakak perempuannya bergabung dengannya setelah suami kakaknya meninggal. Kakaknya pulang ke rumah mereka yang ditinggali Helma. Namun, sang kakak lebih banyak pergi ke desa lain untuk bekerja sehingga Helma sendirian di rumah.
Sebelumnya tidak ada aliran listrik dan air di rumahnya. Dia kini bisa mengakses air bersih setelah ada program air bersih masuk ke dusunnya dan pemerintah desa memasang keran di depan rumahnya.
Untuk listrik, meskipun sejak lima tahun lalu listrik masuk ke dusunnya, hingga kini Helma tak mampu membayar sambungan listrik. Penerangan rumahnya di malam hari bergantung sepenuhnya pada keponakan laki-laki yang rumahnya berada sekitar 100 meter dari rumah Helma. Itu pun harus membayar Rp 50.000 per bulan. Makanya, aliran listrik sering dimatikan karena dia benar-benar tak punya uang.
Sebenarnya, Helma punya keterampilan memangkas rambut, tetapi warga desa jarang memotong rambut padanya. Kalaupun ada, hanya sesekali, dan itu pun hanya memberikan Rp 2.000.
Beberapa waktu lalu anggota DPRD Kabupaten Mentawai memberikannya alat pemotong rambut. Namun, karena harus menggunakan listrik, sampai sekarang Helma tidak pernah menggunakannya.
Helma baru terdaftar pada tahun 2023 ini sebagai penerima bantuan langsung tunai-dana desa (BLT-DD) dari pemerintah Desa Malancan. Itu pun setelah ada tim Estungkara masuk ke desanya dan mengadvokasi pemerintah bahwa betapa penting bantuan bagi penyandang disabilitas.
Baca juga : ”Ngobrol” dengan Malaikat di Pulau Siberut
Nanda dan Helma adalah potret perempuan di komunitas adat Kepulauan Mentawai yang terus bertahan hidup di tengah kuatnya praktik hukum adat yang sangat patriarki di daerahnya. Hingga kini sebagian besar masyarakat di desa-desa di Kepulauan Mentawai, terutama di pedalaman, masih menjalankan hukum adat, yang dalam beberapa hal mendiskriminasi perempuan.
Situasi ketidakadilan yang dialami para perempuan adat di Mentawai diakui oleh pemerintah Desa Muntei dan Badan Permusyawaratan Desa. Selama ini, sesuai adat, ketika suami meninggal, otomatis istri harus pulang ke rumah orangtuanya atau keluarga besarnya.
”Di desa kami, kalau ada suami yang meninggal, orangtua dari istri akan mengambil anaknya. Kalau masih tinggal di rumahnya, akan mereka bilang ngapain kamu masih di situ, bikin malu,” ujar Sekretaris Desa Muntei Teondorus S saat ditemui di kantor Desa Muntei, Jumat (7/7/2023) pagi.
Kepala Dusun Muntei Ligan mengungkapkan, alasan perempuan yang suaminya meninggal tidak berhak atas lahan dan harta selama perkawinan karena dikhawatirkan kalau perempuan tersebut menikah lagi, warisan dari suaminya bisa pindah ke orang lain (suaminya yang baru).
Ketidakadilan yang dialami perempuan dibenarkan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Muntei, Kemeria Tasiripoula (48). Saat suaminya meninggal, perempuan (silumang) harus keluar dari rumah yang ditempatinya bersama suami dan anak-anaknya.
”Kami perempuan tidak ada hak pada harta keluarga. Sekarang, sebenarnya itu sudah harus diubah. Tetapi, di Mentawai, di kampung kami, masih berlaku, selalu hanya laki-laki yang berhak di lahan keluarga. Kami dianggap tidak ada hak milik orangtua kami,” kata Kemeria saat hadir di kantor Desa Muntei, Jumat (7/7/2023) pagi.
Sebenarnya, lanjut Kemeria, keinginan perempuan untuk bertahan di rumah yang dibangun bersama suami pun mulai muncul. Di Dusun Salappa, misalnya, sudah mulai ada silumang yang berani berbicara dan menyampaikan keinginannya, tidak mau kembali ke rumah orangtua dan keluarga besarnya.
Sikap perempuan tersebut biasanya disampaikan kepada anak laki-laki (karena dianggap sebagai penerus ayahnya), kemudian anak-anaknya yang menyampaikan kepada keluarga besar suaminya bahwa sang ibu harus tetap tinggal bersama mereka.
Alasan lain, menurut Bambang Sagurung, fasilitator dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), karena saat menikah ada acara peminangan dengan mas kawin yang dibayar oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak perempuan.
”Dengan adanya mas kawin itu, kata kasarnya ’perempuan dibeli’ sehingga apa pun yang terjadi di keluarga perempuan itu sudah sepenuhnya menjadi hak suami dan keluarga suami. Maka, ketika suaminya meninggal, si perempuan pulang ke rumah orangtuanya tanpa membawa apa-apa,” ujar Bambang.
Tuntutan adat harus dilaksanakan, yakni perempuan dipulangkan ke rumah orangtuanya (jika masih punya orangtua). Jika orangtua sudah meninggal, dikembalikan ke suku (klan) perempuan dan menjadi tanggung jawab klan.
Untuk menyambut kembalinya sang perempuan kepada keluarga besarnya, harus digelar upacara adat, yang dikenal dengan sebutan ”Punen Toga Sitak Urei” atau Pesta Anak Janda. Upacara adat tersebut sebagai bentuk syukur keluarga perempuan karena anak perempuannya tidak telantar dan dikembalikan kepada keluarga dengan baik.
Di beberapa desa, yang tingkat pendidikan masyarakatnya sudah lebih tinggi, praktik adat yang mendiskrimasi perempuan perlahan mulai berkurang seiring berubahnya cara berpikir masyarakat. Biasanya perempuan setelah upacara adat bisa kembali ke rumahnya yang selama ini dia tinggali bersama suami.
”Tidak ada waktu tertentu berapa lama dia kembali ke keluarga. Semua bergantung pada si perempuan. Yang penting proses adat dijalankan. Setelah itu dia boleh kembali ke rumah sebelumnya,” kata Bambang yang juga penduduk asli Mentawai.
Ia mencontohkan, di Desa Muara Sikabaluan, Siberut Utara, ada sejumlah suku yang sudah mempunyai pemahaman soal hak seseorang sehingga saat suaminya meninggal, sang istri tetap berhak atas harta yang diperoleh selama mereka berkeluarga.
”Rumah dan tanah yang diketahui dimiliki selama berkeluarga tidak akan diambil. Namun, proses adat kembali ke keluarga perempuan tetap harus dijalankan,” kata Bambang.
Budaya patriarki yang kuat dalam budaya Mentawai, menurut antropolog Tarida Hernawati (49), dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Namun, sebenarnya hal tersebut berangkat dari sejarah kehidupan masyarakat adat Mentawai yang sangat bergantung pada sumber daya alam.
Penguasaan hutan dan lahan diberikan kepada laki-laki karena wilayah Mentawai yang dulu adalah hutan luas merupakan ranah laki-laki. ”Karena hutan dianggap dunia gelap, penguasaan lahan dan hutan diberikan kepada laki-laki. Dulu perempuan dilindungi, tidak masuk hutan. Masalahnya zaman sudah berubah, pengelolaan lahan tidak seperti dahulu. Ada banyak perubahan seiring perkembangan zaman,” tutur Tarida.
Faktor lain adalah tanah merupakan identitas bagi orang Mentawai sehingga harus dilindungi oleh keluarga turun-temurun, sebagai jejak dari garis keturunan dan sejarah keluarga. Maka, di pedalaman Mentawai, orang sangat kuat mempertahankan tanah keluarga.
”Tanah dan hutan adalah jati diri atau eksistensi mereka. Ketika kepemilikan tanah tidak dibarengi jaminan yang kuat, ada kekhawatiran tanah itu akan hilang atau silsilah kekerabatan sulit ditelusuri,” kata Tarida yang juga Manajer Program Estungkara (kESeTaraan UNtuk meNGhapus KetidakAdilan dan diskRiminAsi) dari Kemitraan Partnership di Kepulauan Mentawai.
Program Estungkara dilakukan di wilayah-wilayah adat di Indonesia, termasuk Kepulauan Mentawai, sejak tahun 2022. Selain bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang inklusif di Indonesia bagi masyarakat adat, khususnya perempuan, anak, dan disabilitas serta kelompok minoritas lainnya, program ini juga mendorong kesetaraan dan keadilan jender, inklusi sosial, peningkatan ekonomi, dan pembangunan kapasitas organisasi masyarakat sipil.
Sejak program tersebut masuk Mentawai, pendampingan dan advokasi terus dilakukan pada masyarakat, pemerintah, tokoh adat, serta tokoh agama setempat. Mereka diberikan pemahaman bahwa budaya tidak ada yang statis, dinamis, bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
”Kalau dulu perempuan memandang yang penting ada tempat berlindung, ketika sakit ada yang mengobati, zaman sekarang sudah berubah, perempuan sudah banyak yang berperan di ruang publik yang selama ini didominasi laki-laki,” ungkap Tarida.
Saat ini, upaya penguatan kapasitas perempuan adat terus berlanjut. Perempuan adat terus didorong untuk bisa berargumen, berdiskusi, menyampaikan aspirasi mulai di tingkat keluarga sampai tingkat keluarga luas. Dengan demikian, perempuan berani bersuara saat mengalami praktik adat yang tidak adil.