Jalan Panjang Melibatkan Perempuan di Agenda Perdamaian
Pemberdayaan perempuan masih jadi agenda penting di sejumlah wilayah, termasuk desa. Perempuan yang berdaya adalah modal penting pembangunan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Perempuan di sejumlah desa mulai menyadari bahwa dirinya lebih dari urusan kasur, sumur, dan dapur. Pendapat dan suara mereka sama pentingnya dengan laki-laki. Benih kesadaran itu disemai untuk menumbuhkan perdamaian di desa.
Warga Desa Gemblengan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Sri Handayaning mengatakan, sebagian besar perempuan desanya dulu hanya berkutat di urusan rumah tangga. Para perempuan bahkan jarang keluar rumah karena sibuk dengan pekerjaan domestik. Belum banyak perempuan yang mengaktualisasi diri di luar urusan rumah tangga.
Desanya lantas terpilih menjadi Desa Damai, yakni program pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi Wahid Foundation. Program Desa Damai fokus menjadikan perempuan sebagai aktor utama untuk mempromosikan toleransi dan perdamaian di masyarakat. Untuk itu, perempuan diberdayakan agar bisa terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat desa.
Perempuan diberdayakan dengan memperkuat partisipasi mereka di kegiatan desa. Perempuan juga diberdayakan secara ekonomi melalui pelatihan dan akses pemodalan. Mereka diberi pemahaman dan didorong mempraktikkan toleransi, perdamaian, serta mendapat pembekalan untuk mencegah konflik sosial.
”Setelahnya ibu-ibu jadi lebih percaya diri dan berani mengungkapkan ide-idenya serta kemampuannya di muka umum,” ucap Sri yang juga Ketua Forum Perempuan Desa Damai (FPDD) Kabupaten Klaten, Rabu (5/7/2023), pada kunjungan delegasi Konferensi Pengarusutamaan Jender ASEAN di Desa Sinduharjo, Kecamatan Nganglik, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Perempuan di desanya kini terlibat di penyusunan rencana aksi desa, bahkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa.
Perempuan di desanya kini terlibat di penyusunan rencana aksi desa, bahkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa. Para perempuan desa juga membentuk pusat krisis untuk membantu warga yang mengalami kekerasan berbasis jender (KBG). Mereka menyosialisasikan tentang KBG dan kekerasan seksual.
”Akhirnya beberapa korban berani untuk bicara (soal kekerasan yang dialami),” ucap Sri. ”Kami juga membuat program yang meminta calon pengantin menyerahkan satu pohon ke tanah khas desa. Tanaman itu akan tumbuh subur jika dirawat, sama seperti pernikahan. Dengan ini, kami harap bisa mencegah kekerasan dalam rumah tangga, KBG, dan perceraian,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Desa Nglinggi di Kabupaten Klaten, Sugeng Mulyadi mengatakan, peran perempuan dalam berbagai agenda desa penting. Menurut dia, perempuan punya keinginan kuat dan konsisten ketika menjalankan sesuatu. Hal ini penting modal penting untuk menjalankan berbagai program desa.
”Belum lagi, perempuan itu jika bekerja pakai hati sehingga apa pun yang dikerjakannya ’jadi’ dan berdampak luas,” katanya.
Tidak mudah
Memberdayakan perempuan di desa sebetulnya bukan hal mudah. Butuh proses panjang dan kerja sama semua pihak untuk menyediakan ruang aktualisasi bagi perempuan.
Ini karena budaya patriarki mengakar di masyarakat. Budaya ini, antara lain, menganggap bahwa perempuan tidak berhak terlibat untuk membahas isu-isu strategis. Budaya ini juga membebankan urusan keluarga dan rumah tangga ke perempuan. Perempuan yang ingin mengaktualisasikan diri di luar rumah pun kerap terhalang restu keluarga.
Sementara itu, perempuan yang ingin ”membelot” harus menghadapi banyak konsekuensi. Perempuan yang bekerja, misalnya, dicap tidak bertanggung jawab pada suami dan anak. Perempuan yang menempuh pendidikan tinggi juga dianggap sia-sia karena ”diperkirakan” akan berakhir di dapur.
Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengatakan, pihaknya menggunakan pendekatan halus untuk mempromosikan pemberdayaan perempuan. Mereka juga menanamkan pemahaman ke keluarga, termasuk laki-laki, bahwa perempuan yang berdaya akan membawa dampak positif ke keluarga dan masyarakat.
Mereka juga menggandeng tokoh masyarakat hingga tokoh agama untuk memperluas pemahaman publik akan pemberdayaan perempuan. Hal ini pun disampaikan dengan bahasa lokal.
”Nilai-nilai yang selama ini diyakini disempurnakan bahwa ketika kita memfasilitasi perempuan itu kita tidak bertentangan dengan agama, adat, dan kebutuhan keluarga. Ibunya tetap ada, kok, untuk anak-anaknya,” ucap Yenny.
Adapun perubahan pola pikir ini baru bisa berhasil jika didukung perangkat desa. Kepala desa mesti berkomitmen untuk melibatkan perempuan di pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan desa. Di sisi lain, kapasitas perempuan perlu terus ditingkatkan.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Bintang Ayu Darmawati, pelibatan perempuan pada pengambilan keputusan desa dapat bermuara ke berbagai praktik baik dan inovasi. Itu sebabnya, para pemimpin perlu memberi ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi.
Ia menambahkan, perempuan perlu jadi subyek pembangunan, bukan sekadar obyek. Itu berarti, perempuan mesti dilibatkan secara bermakna dalam pembangunan, baik di tingkat desa, hingga nasional.