Belum semua perempuan terlibat secara bermakna dalam proses pembangunan. Salah satu alasannya karena budaya patriarki.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Upaya untuk menjadikan perempuan sebagai subyek pembangunan di Indonesia terus dilakukan. Menjadikan perempuan subyek berarti melibatkan mereka secara bermakna dalam pembangunan, baik dalam proses perencanaan program, penyusunan anggaran dan regulasi, hingga pelaksanaannya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Bintang Darmawati mengatakan, hal ini pelibatan perempuan kerap terkendala oleh budaya patriarki. Budaya ini umumnya menempatkan perempuan hanya di urusan domestik, seperti mengasuh anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga.
Adapun sebagian perempuan yang berkarya di luar rumah mendapat stigma negatif karena dianggap tidak mengurus rumah dan keluarga. Padahal, urusan rumah tangga mestinya ditanggung semua anggota keluarga.
Perempuan juga kerap dianggap tidak punya hak yang sama dengan laki-laki untuk mengurus isu-isu strategis. Akibatnya, kompetensi perempuan kerap diragukan saat mereka terlibat di isu strategis, termasuk saat menjadi pemimpin. Bintang mengatakan, perempuan perlu diberi kesempatan untuk menunjukkan potensi dirinya.
“Ada 74.900 lebih kepala desa (di Indonesia) dan 3.900 di antaranya perempuan. Dari 3.900 (kepala desa) itu, saya lihat banyak praktik baik yang dihasilkan. (Ini bisa terjadi) jika perempuan diberi kesempatan,” ucapnya di Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (5/7/2023).
Ia menambahkan, kesempatan tersebut akan tersedia jika pemimpin pusat maupun daerah berkomitmen untuk melibatkan perempuan. Menurutnya, perempuan maupun anak mesti jadi subyek pembangunan, tak sekadar obyek. Ini karena jumlah perempuan dan anak setara dengan dua per tiga total penduduk Indonesia.
Adapun Desa Wedomartani melibatkan perempuan dalam tata kelola desa. Desa ini merupakan satu dari 138 desa ramah perempuan dan peduli anak (RPPA), yakni program desa yang digagas Kementerian PPPA serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Kepala Desa Wedomartani Teguh Budiyanto mengatakan, keterwakilan perempuan di pemerintahan desa sekitar 20 persen. Mereka berperan antara lain sebagai kepala dukuh, staf, dan anggota badan desa.
Desa juga memiliki anggaran untuk memberdayakan perempuan. Anggaran untuk program Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) pada 2023, misalnya, sebesar Rp 31,7 juta, serta program penyuluhan dan pemberdayaan perempuan Rp 45 juta.
Anggota Badan Permusyawaratan Desa Wedomartani, Wahyuni Widyastuti menambahkan, perempuan dilibatkan secara bermakna di desa. “Perempuan terlibat di musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan), menyusun anggaran, dan kegiatan-kegiatan ekonomi,” katanya.
Pemberdayaan perempuan
Upaya pemberdayaan perempuan juga dilakukan di Desa Sinduharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Desa Sinduharjo merupakan satu dari puluhan Desa Damai yang tersebar di Jawa dan Kalimantan. Desa Damai adalah program yang digagas Wahid Foundation sejak 2012, lalu mendapat dukungan dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women) pada 2017.
Ekonomi warga baru bisa berjalan jika ada perdamaian dan konflik bisa dicegah.
Salah satu fokus Desa Damai adalah memberdayakan perempuan di sektor ekonomi. Para perempuan diberi kemudahan akses pinjaman ke koperasi. Data yang dibutuhkan hanya kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Hingga kini, ada 1.700-an anggota koperasi yang semuanya adalah perempuan.
“Ada penelitian bahwa jika kita menguatkan peran perempuan, dampaknya ke keluarga dan komunitas bisa berlipat-lipat,” tutur Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid.
Sebelumnya, McKinsey Global Institute memperkirakan produk domestik bruto (PDB) nasional bisa naik 135 miliar dollar AS pada 2024 jika tiga kondisi terpenuhi. Pertama, bila partisipasi perempuan dalam angkatan kerja meningkat. Kedua, bila lebih banyak perempuan bekerja penuh waktu. Ketiga, bila lebih banyak perempuan bekerja di sektor dengan produktivitas tinggi.
Walau demikian, ia mengakui bahwa mengubah pandangan bahwa perempuan dapat berdaya tidak mudah. Untuk itu, pihaknya mendekati warga dengan menggunakan bahasa lokal, serta melibatkan keluarga, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
“Kita berkomunikasi dengan nilai-nilai yang selama ini diyakini, tapi diubah perlahan dan disempurnakan, bahwa ini tidak bertentangan dengan agama, adat, dan kebutuhan keluarga,” kata Yenny.
Selain diberi akses permodalan untuk membuka usaha, para perempuan juga diajak memahami dan mempraktikkan toleransi. Yenny mengatakan, ekonomi warga baru bisa berjalan jika ada perdamaian dan konflik bisa dicegah.