Melalui kartun, kartunis Non-O mengajak masyarakat melihat sisi humor dari suatu problem yang serius dan berat. Kemudian, menjadikan cara pandang yang lebih ringan, lucu, dan solutif.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Kartun bisa mengundang amarah dan suka dalam seketika. Mengkritik sekaligus menggelitik. Menjelang Pemilu 2024, kartunis Non-O (Sudi Purwono) memamerkan ratusan karyanya untuk membawa pesan rukun di tengah suhu pengap politik yang penuh intrik.
Ratusan kartun, karikatur, dan lukisan pada pameran ”Kartun Agawe Rukun” di Balai Budaya Jakarta menunjukkan kepekaan Non-O dalam proses kreatifnya. Ia jeli dan tajam mengamati fenomena zaman serta isu-isu mengemuka.
Salah satu kartun yang mencuri perhatian menggambarkan sosok calon anggota legislatif yang sedang mengamen. Namun, si ”pengamen” bukan mengharapkan diberi uang, melainkan suara rakyat dalam pemilu.
”Mereka mengemis suara saat pemilu, tetapi setelah terpilih (menjadi anggota legislatif) melupakan rakyat,” ujarnya di Balai Budaya Jakarta, Jumat (14/7/2023). Pameran berlangsung hingga 19 Juli mendatang.
Kritik terhadap pemberantasan korupsi juga tidak luput dari perhatiannya. Sebuah kartun menggambarkan pertandingan tinju antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mafia. KPK yang direpresentasikan oleh sosok bertubuh kurus roboh dipukul mafia yang digambarkan oleh sosok berbadan tinggi besar.
Non-O mengatakan, kartun itu berupaya menangkap fenomena pemberantasan korupsi di Tanah Air. Sebab, kasus korupsi masih merajalela meskipun operasi tangkap tangan terhadap koruptor berulang kali dilakukan.
Menurut dia, terdapat kekuatan mafia yang melanggengkan praktik korupsi. Kondisi ini menjadi lecutan bagi penegak hukum untuk mengungkapnya.
Dalam tema urban, Non-O membuat sejumlah karya tentang kesemrawutan Ibu Kota. Salah satunya menggambarkan masalah galian yang tak kunjung beres, seperti galian untuk kabel listrik, saluran gas, kabel optik, dan telekomunikasi.
Sebuah kartun menggambarkan pertandingan tinju antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mafia. KPK yang direpresentasikan oleh sosok bertubuh kurus roboh dipukul mafia yang digambarkan oleh sosok berbadan tinggi besar.
Meskipun mengusung kritik yang serius, kartun membuat penyampaiannya cair, bahkan dengan lelucon. Harapannya mengatrol daya tawa masyarakat sembari menekan stres akibat beban hidup yang semakin kompleks.
Kartunis kelahiran Bandung, 27 Mei 1954, itu mengatakan, pemilu selalu menjadi panggung politik yang gegap gempita. Pemilu berimplikasi luas pada masyarakat, salah satunya polarisasi sehingga rentan memicu konflik antarwarga.
Adu opini, gagasan, propaganda, dan perang urat saraf akan mencapai eskalasi tinggi. Hiruk-pikuk media sosial pun berpotensi memanaskan suasana. Apalagi, hoaks atau kabar bohong dan ujaran kebencian akan menjadi santapan informasi sehari-hari.
Kartun diharapkan hadir sebagai media penengah yang menghibur, mendinginkan suasana, dan mendudukkan persoalan. Persatuan, gotong royong, serta menjaga keutuhan bangsa jauh lebih penting ketimbang euforia untuk kepentingan politik sesaat.
Akan tetapi, harapan Non-O tak muluk-muluk. Ia menyadari, kartun tidak lantas menyelesaikan masalah. Senyum kecil pengunjung yang melihat karyanya sudah cukup membuatnya bahagia.
”Kartun tidak harus membuat perubahan besar pada orang lain. Saya mengajak orang lain untuk menyukai humornya, bukan kartunnya. Kartun itu sesaat, tetapi humor itu lebih panjang,” katanya.
Karakter
Karakter kartun karya Non-O tidak terlepas dari pengaruh kartunis-kartunis yang pernah berinteraksi dengannya. Ia pernah bekerja sebagai kartunis lepas di beberapa majalah dan surat kabar di Jakarta.
Di koran sore Sinar Harapan, Non-O dibimbing oleh kartunis Pramono R Pramoedjo. Ia juga pernah dipercaya oleh kartunis legendaris GM Sudarta di harian Kompas untuk membuat karikatur di halaman depan Kompas edisi Minggu pada rubrik ”Bintang Pekan Ini”.
”Kedua tokoh inilah yang sangat memengaruhi watak kartun dan kehidupan saya. Kegemaran membaca dan mengoleksi buku membuka wawasan. Dari buku, saya mengenal kartunis-kartunis dunia,” ucapnya.
Kartunis Gatot Eko Cahyono menyebutkan, dengan membuat kartun, Non-O merasa bisa berbagi pesan, kritik, dan humor kepada orang lain. Humor merupakan sarana paling baik untuk memelihara pikiran dan tetap waras.
”Humor diperlukan sebagai katup pelepas stres dari tekanan-tekanan masalah sehari-hari sehingga beban hidup yang tak tertanggungkan menjadi tertanggungkan. Humor bisa memupuk dan mengembangkan energi positif. Dalam kartun, seni dan humor adalah dua hal yang dekat dengan kegembiraan,” ujarnya.
Novelis dan penulis skenario film, Harry Tjahjono, menyampaikan, karikatur atau kartun selalu menguji daya nalar untuk mengenali metafora, kritik, satire, dan tentu saja humor. Oleh karena itu, menonton dan menyimak karikatur sama dengan melatih pikiran memahami realitas yang terkadang aneh, semrawut, absurd, tetapi juga menggelikan.
Harry terkesan dengan karya Non-O yang bisa membuatnya tersenyum atau tertawa. ”Saya senang karena dengan menyimaknya, saya bisa merawat empati terhadap sesama, dapat tertawa meskipun diperihkan tragedi atau hal-hal memalukan, semisal korupsi dan sejenisnya,” katanya.
Lewat tangan kreatifnya, Non-O ingin terus berkarya melalui kartun-kartun penuh makna. Mengutip ”bapak” kartun politik Amerika Serikat, Thomas Nast (1840-1902), ia meyakini, ”Kartun tidak bisa mengubah dunia, tetapi dengan kartun bisa menginspirasi manusia untuk mengubah dunia”.