Konservasi Alam di Indonesia Membutuhkan Independensi Ilmuwan
Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menghambat sejumlah peneliti konservasi internasional melakukan penelitian di Indonesia dinilai menjadi ancaman bagi independensi sains.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa depan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia membutuhkan ilmuwan dan sains independen untuk mengevaluasi secara kritis upaya yang telah dilakukan sebelumnya sebagai dasar kebijakan berbasis bukti. Namun, kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menghambat sejumlah peneliti konservasi internasional melakukan penelitian di Indonesia dinilai menjadi ancaman independensi ilmuwan.
Urgensi independensi sains dalam konservasi alam di Indonesia ini dipublikasikan dalam jurnal internasional Current Biology pada Senin (10/7/2023). William F Laurance, ilmuwan dari Centre for Tropical Environmental and Sustainability Science James Cook University, Australia, menjadi penulis pertama.
”Artikel kami baru saja terbit di jurnal Current Biology, merespons kebijakan antisains KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang melarang ilmuwan Erik Meijaard bersama koleganya melakukan penelitian di Indonesia,” kata Abdil Mughis Mudhoffir, anggota badan pekerja Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), yang juga pengajar Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta, Rabu (12/7/2023), yang menjadi penulis kedua paper ini.
Turut menulis artikel ini adalah Wulan Pusparini dari University of Oxford, Jayden E Engert dari James Cook University, dan Erik Meijaard dari Borneo Futures.
Artikel ini ditulis untuk merespons kebijakan KLHK yang dinilai menghambat independensi ilmuwan untuk melakukan penelitian atau pekerjaan konservasi di Indonesia. Melalui surat nomor S.1447/MENLHK-KSDAE/KKHSG/KSA.2 /9/2022 tertanggal 14 September 2022, Menteri LHK memerintahkan kepala balai besar/balai taman nasional dan kepala balai besar/balai KSDA untuk tidak memberikan pelayanan kepada lima ilmuwan, termasuk Erik Meijaard, dalam semua urusan perizinan/persetujuan terkait dengan kegiatan konservasi dalam kewenangan KLHK.
Surat ini dikeluarkan merespons artikel opini peneliti Erik Meijaard dan Julie Sherman berjudul ”Orangutan Conservation Needs Agreement on Data and Trends” di The Jakarta Post pada 15 September 2022. Disebutkan dalam surat edaran tersebut, tulisan Erik Meijaard dkk mengenai penurunan populasi orangutan sebagai temuan dengan ”indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah cq KLHK”.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nunu Anugrah yang dihubungi secara daring terkait gugatan ini tidak memberikan respons. Pesan pendek yang dikirim tidak dijawab.
Intervensi dalam sains
Dalam artikel ini, para peneliti menyebutkan, Indonesia memiliki hutan hujan tropis dan megabiodiversitas tropis terbesar di Asia Tenggara, yang menjadi rumah dari banyak spesies terancam punah. Indonesia belakangan dinilai berhasil menurunkan tingkat deforestasi dan kebakaran hutan. Namun, tren positif ini diganggu oleh kebijakan KLHK yang melarang Erik Meijaard dan tim untuk melakukan penelitian lebih lanjut atau pekerjaan konservasi di negara tersebut.
”Ini bukan kasus pertama campur tangan pemerintah dalam ilmu lingkungan. Pada tahun 2020, misalnya, ilmuwan lingkungan David Gaveau dideportasi dari Indonesia setelah menerbitkan perkiraan kebakaran tingkat yang secara substansial lebih besar dari yang dilaporkan oleh pemerintah,” tulis Laurance.
Beberapa peneliti merasa tertekan dan menarik diri dari publikasi karena topik risetnya dinilai sensitif oleh pemerintah.
Laurence dan tim juga menyoroti terhambatnya sejumlah studi yang dilakukan oleh ilmuwan Indonesia dan peneliti internasional pada subyek sensitif terkait konservasi. Hal ini karena studi-studi tersebut harus mendapatkan persetujuan pemerintah sebelum dipublikasikan. Bahkan, beberapa peneliti merasa tertekan dan menarik diri dari publikasi karena topik risetnya dinilai sensitif oleh pemerintah.
Para penulis menunjukkan beberapa contoh peneliti di Indonesia yang menolak menulis bersama tim internasional tentang konservasi hutan Sumatera karena dikhawatirkan akan berdampak buruk dan memengaruhi pendanaan mereka, izin penelitian, atau peluang untuk kontrak komersial di Indonesia. ”Bahkan, saat menulis artikel ini, kami harus sangat berhati-hati saat memilih contoh, untuk menghindari risiko pembalasan lebih lanjut terhadap rekan kerja dan kolaborator,” kata Laurance dan tim.
Menurut para peneliti, tekanan terhadap ekosistem ilmiah di Indonesia dinilai akan berdampak luas bagi upaya konservasi di Indonesia. Data tentang populasi orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang bertentangan dan memicu larangan bagi peneliti asing untuk melakukan penelitian, misalnya, dapat menyebabkan ketidakpastian dalam pendanaan dan intervensi konservasi internasional.
Adapun perbedaan data terkait luasan kebakaran hutan atau penggundulan hutan dan ketidakpastian dalam emisi karbon berpotensi mengikis kepercayaan antar-aktor dalam skema pengurangan emisi yang sedang berlangsung, seperti UNREDD+ (pengurangan emisi dari deforestasi dan hutan degradasi) atau program Norway’s International Climate and Forest Initiative. Perdagangan tentang komoditas bebas deforestasi Indonesia ke Uni Eropa juga dinilai akan terpengaruh.
”Dengan menghambat penelitian kritis dan menghambat kerja sama internasional, Pemerintah Indonesia berisiko merusak reputasi sainsnya, termasuk daya saing sivitas akademika dan institusi untuk penghargaan internasional serta skema pendanaan,” ujar Laurance dan tim.
Para peneliti juga menyebutkan, tekanan terhadap ilmuwan tidak hanya terjadi di Indonesia. Survei terbaru dari ahli ekologi di Australia menemukan sejumlah negara lain yang juga menghambat kemajuan sains dan upaya konservasi. Mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, misalnya, dilaporkan menghambat tata kelola lingkungan dengan memecat pejabat yang memiliki pandangan berlawanan tentang penggundulan hutan.
Dalam paper ini, para peneliti mengajak para ilmuwan di Indonesia ataupun di dunia internasional menolak upaya negara dan aktor swasta untuk memengaruhi hasil penelitian.
Sebelumnya, Tim Advokasi Kebebasan Akademik telah menggugat Menteri LHK Siti Nurbaya ke pengadilan karena dianggap melanggar kebebasan akademik dan mencederai independensi sains. Gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada Rabu (7/6/2023) siang. Namun, menurut Abdil Mughis Mudhoffir, salah satu anggota tim, gugatan itu ditolak hakim dengan alasan telah melewati tenggat 90 hari. ”Minggu lalu kami mengajukan gugatan perlawanan atas putusan tersebut. Sidangnya akan dilakukan Senin, 17 Juli 2023, mendatang,” katanya.