Koalisi Masyarakat Sipil Gugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke Pengadilan
Tim Advokasi Kebebasan Akademik menggugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Siti Nurbaya Bakar ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Advokasi Kebebasan Akademik menggugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Siti Nurbaya Bakar ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Siti Nurbaya dinilai melanggar kebebasan akademik dan mencederai independensi sains terkait dengan penolakan memberi pelayanan dalam semua urusan perizinan kepada peneliti orangutan, Erik Meijaard, dan tim.
”Gugatan itu kami daftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada Rabu (7/6/2023) siang. Bertindak selaku penggugat adalah SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia),” kata Abdil Mughis Mudhoffir, anggota badan pekerja Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), selaku perwakilan Tim Advokasi.
Selain KIKA, SAFEnet, dan YLBHI, anggota koalisi Tim Advokasi terdiri dari Constitutional and Administrative Law Society, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, Greenpeace Indonesia, IndoPROGRESS Institute for Social Research and Education, Jaringan Advokasi Tambang, Kantor Hukum AMARTA, dan sejumlah lembaga lain.
Menurut Abdil, gugatan ini dilakukan karena Menteri LHK dinilai melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan Surat Nomor S.1447/MENLHK-KSDAE/KKHSG/KSA.2 /9/2022 tertanggal 14 September 2022 yang merespons artikel opini peneliti Erik Meijaard dan Julie Sherman berjudul ”Orangutan Conservation Needs Agreement on Data and Trends” di the Jakarta Post pada 15 September 2022.
Surat LHK tersebut menyatakan bahwa tulisan Erik Meijaard dkk mengenai penurunan populasi orangutan sebagai temuan dengan ”indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah cq KLHK” dan atas dasar itu memerintahkan Kepala Balai Besar/Balai Taman Nasional dan Kepala Balai Besar/Balai KSDA untuk tidak memberikan pelayanan kepada mereka dalam semua urusan perizinan/persetujuan terkait dengan kegiatan konservasi dalam kewenangan Kementerian LHK.
Tindakan mengeluarkan SK tersebut juga dinilai sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Erik merupakan Direktur Pelaksana Borneo Futures, organisasi yang menekuni riset dan konservasi orangutan, termasuk Indonesia. Dia juga profesor di Durell Institute of Conservationand Ecology University of Kent, Inggris.
Sementara itu, Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nunu Anugrah yang dihubungi secara daring terkait gugatan tersebut tidak memberikan respons.
Selaku salah satu penggugat, Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur menyatakan, ada empat alasan mengapa gugatan ini diajukan. Pertama, Menteri LHK telah melanggar hukum secara prosedural, kewenangan, dan substansial. Sebagai contoh, pernyataan dalam surat KLHK bahwa temuan Erik Meijaard dkk adalah temuan dengan ”indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah cq KLHK” telah melampaui wewenang sebagaimana diatur pada Pasal 17 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kedua, surat KLHK tersebut telah bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), yaitu asas kemanfaatan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, serta kepentingan umum. Tindakan mengeluarkan SK tersebut juga dinilai sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hal ini dinilai membatasi ruang kebebasan akademik yang melanggar prinsip kelima Surabaya Principle of Academic Freedom, yaitu melakukan pembatasan dan penggunaan otoritas di luar lingkup kewenangan yang dapat merugikan kepentingan umum dan menghambat ruang partisipasi.
Mengingat bahwa ilmu bersifat relatif, perbedaan dalam kerangka keilmuan adalah usaha untuk menemukan kebenaran yang baru lewat diskursus ataupun dialektika. Maka, perbedaan pemikiran seharusnya ditanggapi dengan diskusi, perdebatan, dan upaya saling mengkritik dalam kerangka keilmuan, bukan menyerang pribadi-pribadi karena tidak suka.
Alasan ketiga, menurut Isnur, tindakan penerbitan surat tersebut telah menimbulkan dampak luas, kerugian, dan masalah struktural lainnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (1) UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi serta Komentar Umum the Committee on Economic, Social, and Cultural Rights Nomor 13 tentang Hak atas Pendidikan. Adapun terbitnya surat tersebut telah bertentangan dengan prinsip independensi sains yang merupakan fondasi pencarian kebenaran ilmiah yang obyektif.
Lebih lanjut, penerbitan tersebut juga telah menghalangi dan berpotensi menghalangi produksi pengetahuan yang bermanfaat bagi publik, terutama dalam hal ini yang berkaitan dengan konservasi satwa terancam punah yang penting bagi keseimbangan ekologi.
Alasan keempat, surat KLHK tersebut mengakibatkan efek ketakutan dan kekhawatiran yang meluas bagi kalangan peneliti, di antaranya telah menghasilkan tindakan self censorship yang dapat merugikan kepentingan sains. Beberapa peneliti lokal dan lembaga penelitian di Indonesia, misalnya, yang sebelumnya bekerja sama dengan Erik Meijaard dkk dalam melakukan penelitian, telah membatalkan kerja sama penelitian karena kekhawatiran akan terjadinya dampak yang sama dengan yang telah dialami Meijaard dkk.
”Berdasarkan keempat alasan tersebut, Tim Advokasi Kebebasan Akademik bersama para penggugat berpandangan bahwa gugatan ini menjadi penting sebagai sarana koreksi bagi kekuasaan pemerintah yang membatasi kebebasan akademik warga negaranya,” tutur Abdil.
Dalam gugatan ini, para penggugat meminta pengadilan untuk dapat menyatakan bahwa tindakan penerbitan surat KLHK yang telah melanggar kebebasan akademik, mencederai independensi, dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai tindakan melawan hukum. Tidak hanya itu, gugatan ini juga meminta PTUN memerintahkan Menteri LHK mencabut surat KLHK tersebut dan mewajibkan yang bersangkutan tidak melakukan tindakan pemerintahan, berupa penghalang-halangan ataupun pembatasan hak publik dalam bentuk kebijakan anti-sains yang membatasi kebebasan akademik yang melanggar hukum serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.