Kebebasan akademik dan otonomi kampus atau institusi akademik masih mendapat tekanan dari berbagai pihak. Tekanan dilakukan karena mereka kerap kritis terhadap kebijakan dari pemerintah dan institusi mereka.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan akademik peneliti dan otonomi lembaga penelitian sangat penting untuk menjamin hasil penelitian tidak disusupi aspek politis. Namun, dalam implementasinya di Indonesia, kebebasan akademik dan otonomi kampus atau institusi akademik masih mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) yang juga pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Wiratraman, menyampaikan, kebebasan akademik merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM). Hal ini tertuang dalam sejumlah dasar hukum, seperti Deklarasi Universal HAM 1948 dan Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966.
”Universitas sebagai bagian dari komunitas menjelaskan bahwa setiap kenikmatan kebebasan akademik memerlukan otonomi institusi dalam perguruan tinggi. Ini bisa diinterpretasikan bahwa semua institusi akademik berhak atas otonomi atau bebas dari campur tangan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Pentingnya Kebebasan Akademik Peneliti dan Otonomi Lembaga Penelitian”, Rabu (12/1/2022).
Meski demikian, realita kebebasan dan otonomi institusi akademik di Indonesia sampai saat ini masih kerap mendapat tekanan dari berbagai pihak. Dari kompilasi yang dilakukan Herlambang, sejak 2015-2018 terdapat 65 kasus tekanan terhadap tokoh akademik berupa pemecatan, skors, pemidanaan, gugatan, pemberangusan, dan ancaman pembunuhan.
Bahkan, Herlambang mencatat, tekanan atau serangan terhadap tokoh akademik terus meningkat sejak 2018-2020. Serangan tersebut juga mulai mengarah kepada ranah digital, seperti peretasan hingga persekusi atau penyebaran informasi pribadi (doxing) dengan tujuan intimidasi.
Tekanan atau serangan tersebut dilakukan karena akademisi kerap kritis terhadap kebijakan dari pemerintah maupun institusi mereka sendiri. Salah satu contoh kasus serangan tersebut adalah penghentian diskusi dan peretasan terhadap akademisi saat aksi penolakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019.
”Kami baru membuat riset terkait tentara siber yang menyerang akademisi atau pendapat ahli terutama dalam kasus kritik terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. Lebih dari 1.000 akademisi tiba-tiba dibungkam dan diretas serta tidak ada pertanggungjawaban,” katanya.
Herlambang mengatakan, sampai saat ini juga banyak akademisi dan peneliti yang mendapat tekanan dan serangan karena mengkritik kebijakan dalam penanganan pandemi. Pada masa ini, muncul juga kontra narasi tentang Covid-19 di media sosial untuk menandingi hasil penelitian dan tanggapan dari para peneliti.
Selain itu, Herlambang mengkhawatirkan perkembangan kebebasan akademik saat ini, khususnya peleburan sejumlah lembaga penelitian ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sejumlah aspek yang dikhawatirkan merusak ekosistem penelitian dan kelembagaan riset dari peleburan ini adalah adanya sentralisasi dan kendali atau kontrol.
Herlambang menekankan, setiap lembaga riset memiliki karakter dan strategi inovasi yang berbeda-beda sehingga tidak bisa dipaksa agar disamakan cara kerjanya. Beberapa peneliti juga pasti ada yang menginginkan untuk tidak menjadi aparatur sipil negara.
Menurut Herlambang, perlu strategi mitigasi agar akademisi atau peneliti bisa mempertahankan kebebasan akademik sekaligus integritas lembaga risetnya. Salah satu strategi yang bisa dilakukan yaitu terus meningkatkan komunikasi atau berserikat dengan semua pihak yang terlibat. Hal ini diperlukan saat proses peleburan lembaga riset ke BRIN.
”Pemerintah seharusnya memberikan ruang untuk mengembangkan riset yang sesuai dengan kebijakan. Hal yang tidak boleh dilakukan adalah mematikan daya ekosistem riset dan memasung ketika hasil riset kontradiktif dengan arah kebijakan pemerintah,” ucapnya.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menegaskan, peleburan sejumlah lembaga riset ke BRIN tidak akan mengganggu independensi peneliti. Setelah melebur, para peneliti masih terus melanjutkan kegiatan risetnya, contohnya pengembangan vaksin Merah Putih yang melibatkan Lembaga Eijkman dan pihak lain.
Sebelumnya, anggota Dewan Pengarah BRIN, Marsudi Wahyu Kisworo, juga menjamin para peneliti BRIN masih memiliki independensi dan bebas meneliti selama dalam koridor Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek). Dalam UU tersebut, tujuan riset di antaranya untuk mencapai pembangunan nasional berkelanjutan, meningkatkan kemandirian, daya saing, dan daya tarik bangsa. (Kompas, 7/1/2022)
Sampaikan petisi
Banyaknya sorotan terhadap BRIN, beberapa waktu terakhir, juga turut menyita perhatian sejumlah guru besar dan akademisi lainnya yang tergabung dalam Aliansi Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa. Mereka di antaranya Azyumardi Arza, Didin S Damanhuri, Agus Pakpahan, Satryo Soemantri Brodjonegoro, Sofian Effendi, dan Franz Magnis-Suseno.
Sebanyak 8.219 tokoh akademisi dan masyarakat kemudian menandatangani petisi yang meminta Presiden dan Dewan Pengarah BRIN untuk memperhatikan dan mendengarkan aspirasi dari masyarakat terkait peleburan sejumlah lembaga riset ke BRIN.
Inisiator petisi berpendapat, BRIN seharusnya hanya berfungsi sebagai lembaga pendana riset dan pusat koordinasi inovasi ilmu pengetahuan dengan kemampuan mengintegrasikan lembaga-lembaga iptek, riset, dan penelitian di seluruh Indonesia.
Para tokoh akademisi menilai, proses reorganisasi yang terjadi di BRIN tanpa persiapan dan tanpa proses evolusi bertahap sesuai prioritas riset yang telah terjadi dipastikan akan membawa malapetaka bagi dunia riset dan penelitian Indonesia. Bahkan, banyak tenaga kontrak dan honorer merupakan asisten peneliti dan tenaga riset yang dibutuhkan dalam riset diputuskerjakan dengan sepihak dan tanpa pemberitahuan.
Petisi tersebut juga dinilai semakin relevan dan memiliki substansi serupa dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa dasar hukum Peraturan Presiden tentang BRIN masih problematik. Sebab, dasar hukum BRIN adalah Undang-Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Oleh karena itu, aturan tentang BRIN harus diperbaiki dan ditunda pelaksanaannya.
Aliansi Peduli Riset dan Kemajuan Bangsa juga merekomendasikan pemerintah dan Dewan Pengarah BRIN serta tim independen untuk kembali merumuskan formulasi yang tepat bagi BRIN dan fungsi kelembagaannya. Di samping itu, para tenaga asisten riset dan honorer perlu dikembalikan posisi kerja beserta hak-haknya.