Pengesahan UU Kesehatan Menuai Kritik dari Masyarakat Sipil
Pengesahan Undang-Undang Kesehatan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menuai kritik dari sejumlah kalangan.
JAKARTA, KOMPAS - Pengesahan Undang-Undang Keseharan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada Selasa (11/7/2023) menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil. Penyusunan undang-undang ini dinilai terburu-buru, tidak transparan, dan mengabaikan rekomendasi masyarakat sipil terkait aspek formil dan materiil.
”Pengesahan RUU (Rancangan Undang-Undang) Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti,” kata Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih.
Sebagaimana diberitakan Kompas, persetujuan DPR atas Undang Undang Omnibus Law tentang Kesehatan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (11/7/2023). Dalam rapat itu, enam fraksi di Komisi IX DPR menyetujui pengesahan UU Kesehatan. Satu fraksi, yakni Partai Nasdem setuju dengan catatan, sedangkan dua fraksi lainnya yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera menolak UU tersebut.
Undang Undang Kesehatan yang disahkan tersebut terdiri dari 20 bab dengan 458 pasal. Substansi yang termuat antara lain penguatan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan kesehatan, penguatan pelayanan kesehatan primer, pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan, serta transparansi proses registrasi dan perizinan tenaga medis.
Saat menyampaikan pendapat akhir Presiden Joko Widodo atas RUU Kesehatan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, UU Kesehatan menjadi tonggak transformasi kesehatan nasional yang mandiri dan inklusif. Dengan UU ini, orientasi kesehatan di Indonesia tak lagi pada pengobatan tetapi pada pencegahan. "Pandemi (Covid-19) membuka mata bahwa masyarakat membutuhkan akses dan layanan kesehatan lebih baik," ujarnya.
Naskah final
Menurut Diah, proses penyusunan RUU Kesehatan dinilai tertutup. Hal ini ditandai dengan absennya informasi kepada publik mengenai naskah final rancangan yang disahkan jadi undang-undang. Setelah Komisi IX DPR menggelar rapat kerja pengambilan keputusan RUU Kesehatan bersama pemerintah di Gedung DPR, Senin (19/6/2023), naskah terbaru tak jelas keberadaannya.
Pengesahan RUU (Rancangan Undang-Undang) Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) mengabaikan aspirasi masyarakat sipil.
Selain itu publik belum mendapat penjelasan terkait diterima atau tidaknya masukan dalam penyusunan RUU ini. ”Proses tidak transparan dan inklusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, konsultasi publik singkat, minim, dan tertutup. Ini menyulitkan semua masukan masyarakat sipil terefleksi dalam UU tersebut,” kata Diah.
Padahal, berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2020 tentang partisipasi publik bermakna, disebutkan tiga prasyarat pelibatan masyarakat secara bermakna, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Baca Juga: Presiden Harap UU Kesehatan Dapat Mengatasi Kekurangan Tenaga Kesehatan
”Platform yang dibuat pemerintah dan DPR RI hanya bersifat satu arah dan sementara, tidak pernah ada platform menetap yang memungkinkan masyarakat sipil memantau masukan dan mendapat umpan balik dari masukan yang mereka berikan selama proses penyusunan RUU Kesehatan ini. Situasi ini mencederai prinsip partisipasi publik yang bermakna sesuai Putusan MK,” kata Diah.
Selain persoalan formil terkait perumusan naskah RUU Kesehatan, CISDI mencatat isu substansi yang belum terselesaikan hingga rancangan ini disahkan menjadi undang-undang.
Anggaran kesehatan
Pertama, RUU Kesehatan terbaru menghapuskan alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Padahal, ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021, dengan distribusi alokasi timpang.
”Realitas di lapangan memprihatinkan. Prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah dengan dalih keterbatasan anggaran. Sektor kesehatan juga kerap tidak jadi prioritas penyusunan rencana pembangunan daerah,” ujarnya.
”Hilangnya mandatory spending (belanja wajib) anggaran kesehatan membuat tidak ada jaminan atau komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah,” ujar Diah.
Kedua, RUU Kesehatan belum jelas menguatkan kader kesehatan melalui pemberian insentif upah dan non upah secara layak. RUU yang disahkan ini juga belum melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan, tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Terakhir, komitmen pemerintah dan DPR terkait kesehatan masyarakat masih belum tegas karena belum ada penegasan regulasi iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau. Tanpa regulasi yang jelas, anak-anak di Indonesia akan mudah terpapar dan terdorong untuk merokok.
Baca Juga: Guru Besar Lintas Profesi Ajukan Petisi ke Presiden dan DPR Terkait RUU Kesehatan
Berdasarkan catatan tersebut, CISDI mendesak Presiden untuk meninjau dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan DPR RI.
Penolakan terhadap UU Kesehatan juga disampaikan antara lain oleh Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Wahana Keluarga Cerebral Palsy, Yayasan Revolusi dan Edukasi untuk Inklusi Sosial Indonesia, Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, serta Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB).
Mereka telah melakukan survei cepat tentang pemahaman dan persepsi penyandang disabilitas, pengasuh penyandang disabilitas, dan aktivis disabilitas yang hasilnya menolak RUU Kesehatan.
Sebelumnya, Forum Guru Besar Lintas Profesi telah mengajukan petisi kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani, agar menunda pengesahan RUU Kesehatan. Sebab, substansinya dinilai bisa mengancam ketahanan kesehatan bangsa.
Sementara itu, tenaga medis dan tenaga kesehatan yang tergabung dalam lima organisasi profesi berencana mengajukan permohonan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika RUU ini tetap disahkan. Selain itu, mereka berencana mogok kerja.
Menanggapi kritik dari organisasi profesi dan masyarakat sipil, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan tetap menghargai upaya advokasi yang akan dilakukan. Namun dia berharap agar penyampaian kritik dan advokasi dilakukan dalam asas demokrasi yang tidak merugikan masyarakat.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, di Jakarta, Senin (3/4/2023), mengatakan, terdapat lebih dari 5.000 masukan yang diterima, dari laman web yang terbuka untuk publik maupun konsultasi publik dan sosialisasi terkait pembahasan RUU Kesehatan. Masukan itu berasal dari individu serta organisasi atau kelompok.
"Dari seluruh masukan itu, ada yang diterima, juga ada yang dipertimbangkan untuk masuk ke dalam DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), serta ada yang akan masuk menjadi aturan turunan atau aturan teknis," tuturnya. (Kompas.id, 4 April 2023).