Jika seseorang makannya banyak, aktivitas fisiknya juga harus tinggi. Kalau kedua hal itu seimbang, tidak akan terjadi obesitas.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat perlu menghitung kebutuhan energi berdasarkan aktivitas untuk mencegah obesitas atau kelebihan berat badan. Penghitungan kebutuhan energi berdasarkan aktivitas harus disesuaikan dengan tinggi dan berat badan yang dimiliki saat ini.
Berdasarkan data epidemiologi obesitas, prevalensi penyakit diabetes di Indonesia mengalami peningkatan. Pada 2007, prevalensi obesitas mencapai 10,3 persen. Namun, pada 2018, angka prevalensi obesitas telah mencapai 21,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa selain mengobati, pencegahan obesitas juga harus digencarkan.
Dokter spesialis penyakit dalam (endokrin-metabolik-diabetes) di RSCM Kencana, Jakarta Pusat, Em Yunir, mengatakan, beberapa gejala obesitas ialah sesak napas saat aktivitas ringan, selalu merasa mengantuk, kelainan kulit, nyeri punggung bawah, dan pengapuran dini pada sendi lutut. Hal tersebut terjadi karena adanya pengeluaran dan pemasukan (kalori) yang tidak seimbang.
”Jika seseorang itu makannya banyak, aktivitas fisiknya juga harus tinggi. Kalau kedua hal itu seimbang, tidak akan terjadi kegemukan atau obesitas,” kata Yunir dalam konferensi pers secara daring, Senin (10/7/2023), di Jakarta.
Untuk mengetahui berat badan kurus, normal, atau gemuk, masyarakat dapat menghitung Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT). Caranya, berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter.
Jika BMI kurang dari 18,5, statusnya menunjukkan kekurangan berat badan (kurus). Sedangkan jika BMI 18,5 hingga 24,9 merupakan ideal dan jika BMI 25 hingga 29,9 merupakan kelebihan berat badan.
Yunir mengatakan, orang yang memiliki badan gemuk membutuhkan 20 hingga 25 kalori per kilogram berat badan jika dia menjalani aktivitas ringan. Sementara mereka membutuhkan 30 kalori per kilogram berat badan jika aktivitas sedang dan 35 kalori per kilogram berat badan jika aktivitas berat.
Selanjutnya, orang yang memiliki berat badan normal atau ideal membutuhkan 30 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas ringan, 35 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas sedang, dan 40 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas berat.
Obesitas menjadi faktor risiko terhadap penyakit-penyakit tidak menular, seperti diabetes, jantung, kanker, hipertensi, penyakit metabolik dan nonmetabolik lainnya, serta berkontribusi sebagai penyebab kematian tertinggi.
Sementara itu, orang dengan berat badan kurus membutuhkan 35 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas ringan, 40 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas sedang, dan 40-50 kalori per kilogram berat badan jika beraktivitas berat.
”Untuk menghitung kebutuhan energi, kalikan berat badan dengan kebutuhan kalori berdasarkan aktivitas dan kategori status berat badan. Contohnya, orang dengan tinggi badan 160 cm, berat badan idealnya 54 kilogram. Dengan demikian, untuk aktivitasnya dalam sehari-hari, ia cukup jika makan 1.700 kalori sehari (54x30=1.620 atau dibulatkan jadi 1.700),” ujar Yunir.
Menurut Yunir, penghitungan kebutuhan energi berdasarkan aktivitas bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara asupan energi yang masuk ke tubuh dan pengeluaran atau pembakaran energi. Jika asupan energi yang masuk ke tubuh berlebihan dan tidak seimbang, akan terjadi penumpukan lemak dalam tubuh yang pada akhirnya dapat menyebabkan obesitas.
Selain itu, Yunir juga menyarankan masyarakat untuk mulai mengubah pola hidup. Antara lain membatasi asupan makanan tidak sehat, seperti makanan cepat saji atau makanan dengan kandungan gula dan lemak yang tinggi, membatasi waktu menonton televisi, membatasi bermain gawai atau duduk lebih dari 30 menit, serta menciptakan suasana tidur berkualitas untuk mengurangi stres.
Untuk lebih menekan risiko obesitas, menurut Yunir, masyarakat juga bisa mengurangi konsumsi minum minuman bersoda dan rajin makan makanan bergizi tiga kali sehari. Sementara terkait dengan aktivitas fisik, penderita obesitas disarankan untuk rajin berolahraga secara rutin setidaknya tiga sampai lima kali per minggu, dengan durasi 30 hingga 45 menit. Jenis olahraga yang disarankan seperti jogging, sit-up, push-up, berenang, dan bersepeda.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, obesitas menjadi faktor risiko terhadap penyakit-penyakit tidak menular, seperti diabetes, jantung, kanker, hipertensi, penyakit metabolik dan nonmetabolik lainnya, serta berkontribusi sebagai penyebab kematian tertinggi.
Tidak hanya itu, penumpukan lemak yang sangat banyak dalam tubuh dapat memberikan respons peningkatan kerja dari hormon estrogen sehingga kesuburan dapat terganggu. Jumlah akumulasi lemak di dalam perut secara mekanik dapat menyebabkan tuba dalam rahim menyempit sehingga proses fertilisasinya terganggu.
”Selain memberikan dampak terhadap penyakit tidak menular, obesitas juga berdampak pada kerugian ekonomi karena biaya perawatan yang tinggi,” kata Maxi.
Untuk mengatasi obesitas dan menghindari komplikasi, pemerintah telah mengatur kandungan gula, garam, dan lemak pada produk makanan olahan ataupun makanan siap saji. Kebijakan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan.
Pemberlakuan cukai pada produk makanan dan minuman yang tinggi gula, garam, dan lemak diharapkan dapat menginisiasi terciptanya pangan yang lebih sehat dengan reformulasi makanan sehingga menurunkan risiko terjadinya penyakit tidak menular.
Selain itu, Maxi juga mengimbau masyarakat untuk lebih bijak dalam memperhatikan asupan makan serta menjaga asupan gula garam dan lemak sesuai dengan rekomendasi maksimum, yakni gula sebanyak 50 gram per hari (4 sendok makan/sdm), garam sebanyak 2 gram, dan lemak 67 gram (5 sdm).