Stres kronis dapat mendorong seseorang untuk lebih banyak mengonsumsi makanan manis dan makan dalam jumlah besar. Hal itu bisa menyebabkan obesitas atau kelebihan berat badan.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Para ilmuwan menemukan bahwa kombinasi stres kronis dan makanan yang menenangkan dapat memicu serangkaian perubahan pada otak. Perubahan ini mendorong seseorang untuk makan dalam porsi besar serta banyak mengonsumsi makanan manis yang mengakibatkan kelebihan berat badan atau obesitas.
Mengutip situs internet Sciencedaily pada Selasa (4/7/2023), riset dari Garvan Institute of Medical Research menunjukkan bagaimana stres kronis memiliki kekuatan untuk mengganggu respons alami otak terhadap rasa kenyang. Para ilmuwan menunjukkan adanya perubahan dalam wilayah otak yang dikenal sebagai habenula lateral. Biasanya, saat diaktifkan, habenula lateral bertindak untuk menekan sinyal hadiah yang terkait dengan makanan.
”Temuan kami menunjukkan bahwa stres kronis yang dikombinasikan dengan makanan tinggi kalori dapat mendorong lebih banyak asupan makanan serta preferensi untuk memakan makanan yang manis dan enak sehingga meningkatkan berat badan dan obesitas. Penelitian ini menyoroti betapa pentingnya pola makan yang sehat selama masa stres,” kata penulis senior sekaligus peneliti di Garvan Institute of Medical Research, Herbert Herzog. Garvan Institute of Medical Research adalah lembaga penelitian biomedis Australia.
Jika Anda menghadapi stres jangka panjang, cobalah makan makanan yang sehat dan menyingkirkan junk food.
Walaupun peneliti mendapati kebanyakan orang cenderung makan lebih banyak dan memilih makanan padat kalori saat stres, beberapa orang lainnya justru mengalami penurunan nafsu makan. Untuk membedah kebiasaan makan yang berbeda ini, para ilmuwan mempelajari bagaimana berbagai area pada otak bereaksi terhadap stres kronis di bawah berbagai rezim diet dengan menggunakan model tikus.
”Kami menemukan bahwa area yang dikenal sebagai habenula lateral, yang biasanya terlibat dalam mematikan respons otak, aktif pada tikus dengan diet tinggi lemak jangka pendek untuk melindungi hewan dari makan berlebihan. Namun, ketika tikus mengalami stres kronis, bagian otak ini tetap diam dan membiarkan sinyal hadiah tetap aktif. Hal tersebut dapat mendorong makan untuk kesenangan, tidak lagi merespons sinyal pengatur rasa kenyang,” tutur penulis pertama Kenny Chi Kin Ip dari Garvan Institute of Medical Research.
Hasilnya, Kenny mengungkapkan bahwa tikus yang terpapar stres kronis saat menjalani diet tinggi lemak mengalami kenaikan berat badan dua kali lipat dibandingkan dengan tikus yang menjalani diet yang sama, tetapi tidak mengalami stres.
Kenny melanjutkan, inti dari kenaikan berat badan ini adalah molekul neuropeptide Y (NPY) yang dihasilkan otak secara alami sebagai respons terhadap stres. Ketika para peneliti memblokir NPY dari pengaktifan sel-sel otak di habenula lateral tikus yang stres dengan diet tinggi lemak, tikus tersebut menunjukkan pengurangan asupan makanan yang menenangkan dan akibatnya penambahan berat badan yang lebih sedikit.
Selanjutnya, para peneliti mengungkap hubungan kompleks antara stres dan preferensi diet menggunakan ”tes preferensi sucralose”. Hal ini termasuk memberi tikus pilihan untuk minum air atau air yang dimaniskan secara artifisial.
”Tikus yang stres dengan diet tinggi lemak mengonsumsi sukralosa tiga kali lebih banyak daripada tikus yang hanya diet tinggi lemak. Ini menunjukkan bahwa stres tidak hanya mengaktifkan lebih banyak hadiah saat makan, tetapi secara khusus mendorong keinginan untuk makanan manis dan enak,” kata Herzog.
Herzog menyebutkan, temuan ini menunjukkan stres adalah modulator kunci dari kebiasaan makan, yang mampu mengalahkan kapasitas inheren otak untuk menjaga keseimbangan energi. Intinya, penelitian menunjukkan kondisi stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan kebiasaan makan yang tidak sehat dan komplikasi metabolisme.
Pentingnya pola hidup sehat
Untuk itu, Herzog menekankan pentingnya memperkuat gaya hidup dan pola makan yang sehat, terutama di bawah kondisi stres yang terus-menerus. ”Penelitian ini menekankan seberapa banyak stres dapat mengganggu metabolisme energi yang sehat. Ini adalah pengingat untuk menghindari gaya hidup yang penuh tekanan. Jika Anda menghadapi stres jangka panjang, cobalah makan makanan yang sehat dan menyingkirkan junk food,” ujar Herzog.
Dokter umum di Broadgate General Practice, London, Johannes Uys, juga sependapat. Menurut dia, saat seseorang mengalami stres, tubuh akan melepaskan hormon stres seperti kortisol. Kortisol dapat meningkatkan nafsu makan dan mendorong keinginan untuk makan makanan ”nyaman” padat kalori, terutama yang tinggi gula dan lemak.
Uys melanjutkan, makan saat stres dapat menciptakan pergaulan yang tidak sehat. Dengan kata lain, jika stres seseorang berkurang setelah makan makanan tertentu, ia cenderung akan melanjutkan perilaku tersebut pada masa mendatang.
”Selain memberikan kelegaan dan kesenangan sementara, mengonsumsi makanan jenis ini juga menciptakan hubungan antara stres dan konsumsi makanan yang tidak sehat sehingga kebiasaan mengonsumsi makanan tersebut dilanjutkan melalui pergaulan,” kata Uys.