Krisis Kesehatan Mental Menghantui Generasi Z Indonesia
Krisis kesehatan mental dialami kaum muda di sejumlah daerah di Tanah Air. Namun, akses mereka terhadap layanan kesehatan jiwa masih amat terbatas.
Generasi Z merupakan tumpuan masa depan dan digadang-gadang bakal memimpin Indonesia Emas 1945. Namun, banyak anak kelahiran tahun 2000-2010 ini mengalami masalah kesehatan mental, yang bisa berdampak sosial dan ekonomi berkepanjangan serta merugikan kehidupan mereka di masa depan jika tidak ditangani dengan baik sejak dini.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan prevalensi rumah tangga dengan anggota menderita gangguan jiwa skizofrenia meningkat dari 1,7 permil pada 2013 menjadi 7 permil di tahun 2018.
Gangguan mental emosional pada penduduk usia di bawah 15 tahun, juga naik dari 6,1 persen atau sekitar 12 juta penduduk (Riskesdas 2013) menjadi 9,8 persen atau sekitar 20 juta penduduk. Kondisi ini diperburuk dengan adanya Covid-19. Sejumlah laporan menunjukkan adanya tren peningkatan masalah gangguan kesehatan jiwa sebagai dampak dari pandemi.
Survei terbaru I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 menemukan, sekitar 1 dari 20 atau 5,5 persen remaja usia 10-17 tahun didiagnosis memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir, biasa disebut orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sementara, sekitar sepertiga atau 34,9 persen memiliki setidaknya satu masalah kesehatan mental atau tergolong orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Mengacu pada data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk Indonesia per 31 Desember 2022 mencapai 277,75 juta jiwa dan didominasi remaja. Paling banyak adalah penduduk berusia 10-14 tahun, yakni 24,5 juta jiwa, sedangkan penduduk di rentang usia 15-19 tahun sebanyak 21,7 juta jiwa.
Baca juga: Mengatasi Gangguan Kesehatan Jiwa pada Dewasa Muda
Jika ditotal, jumlah remaja berusia 10-19 tahun mencapai 46,2 juta jiwa. Maka, dengan persentase survei di atas jumlah remaja yang tergolong ODGJ sebanyak 2,54 juta orang dan 16,1 juta remaja tergolong ODMK. Angka ini tergolong sangat besar.
Amirah Ellyza Wahdi, peneliti dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK-UGM) yang terlibat dalam I-NAMHS mengatakan, ”Survei ini pertama kali dilakukan, sebagai bagian dari penelitian internasional.”
Survei ini merupakan kerja sama para peneliti FKKMK-UGM dengan The University of Queensland, Australia, dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Amerika Serikat. Para peneliti dari Indonesia, Australia, dan Amerika Serikat (AS).
Hasil survei menemukan, gangguan cemas merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja, mencapai 26,7 persen. Berikutnya, masalah terkait pemusatan perhatian dan/atau hiperaktivitas mencapai 10,6 persen, depresi 5,3 persen, masalah perilaku 2,4 persen, dan stres pascatrauma 1,8 persen.
Beberapa remaja juga melaporkan kecenderungan perilaku bunuh diri dalam 12 bulan terakhir. Di antara keseluruhan sampel, 1,4 persen melaporkan bahwa mereka memiliki ide bunuh diri, 0,5 persen telah membuat rencana untuk bunuh diri, dan 0,2 persen melaporkan bahwa mereka telah mencoba melakukan percobaan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir.
Baca juga: Mengelola Anak Muda, Menjaga Bangsa
Sebanyak 0,4 persen remaja melaporkan bahwa mereka pernah mencoba bunuh diri selama hidupnya. Namun, lebih dari 80 persen dari remaja yang melaporkan perilaku bunuh diri (yang memikirkan, merencanakan, dan/atau melakukan percobaan) dalam 12 bulan terakhir mengalami suatu masalah gangguan mental.
Terkait dengan perilaku menyakiti diri sendiri, tim peneliti juga menemukan, sebagian kecil (4,4 persen) dari remaja melaporkan pernah menyakiti diri sendiri secara sengaja, sementara 1 persen melaporkan bahwa mereka pernah melakukan perilaku menyakiti diri sendiri dalam 12 bulan terakhir. Sama dengan perilaku bunuh diri, kebanyakan remaja yang melaporkan perilaku menyakiti diri sendiri dalam 12 bulan terakhir mengalami suatu masalah kesehatan mental (88,3 persen).
Layanan kesehatan mental
Selain menunjukkan besarnya masalah kesehatan mental di kalangan remaja di Indonesia, survei juga menemukan hanya 2,6 persen remaja dengan masalah kesehatan mental tersebut yang mengakses layanan bantuan dan konseling. ”Temuan ini menambah urgensi peningkatan kesadaran, akses, dan kualitas layanan kesehatan mental di Indonesia. Apalagi belakangan marak berbagai kasus bunuh diri di kalangan remaja,” tuturnya.
Menurut Amirah, sedikitnya remaja yang bisa mengakses layanan bantuan dan konseling ini disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, ketersediaan fasilitas konseling di Indonesia yang memang terbatas.
Temuan ini menambah urgensi peningkatan kesadaran, akses, dan kualitas layanan kesehatan mental di Indonesia. Apalagi belakangan marak berbagai kasus bunuh diri di kalangan remaja.
Susy K Sebayang, peneliti Kesehatan Masyarakat dari Universitas Airlangga dan tim, dalam artikelnya di The Conversation (2018) menyebutkan, Indonesia memiliki populasi 260 juta, tetapi hanya 773 psikiater dan 451 psikolog klinis. Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia mengakui psikolog sebagai tenaga kesehatan. Namun, penempatan psikolog di puskesmas di Indonesia masih sangat terbatas.
Sejauh ini hanya Kota Yogyakarta, yang berhasil menempatkan seorang psikolog di seluruh 18 puskesmasnya sejak tahun 2010. Namun, tidak ada kota atau kabupaten lain yang memiliki kebijakan serupa.
Amira menambahkan, sekitar 75 persen tenaga psikiater dan psikolog klinis ini berada di Pulau Jawa. ”Walaupun Jawa paling padat, bukan berarti orang di luar Jawa tidak memiliki kebutuhan terhadap layanan konseling,” katanya.
Selain keterbatasan tenaga psikiater dan psikolog klinis, masalah sosial budaya menghambat anak-anak untuk mendapat layanan terkait masalah kejiwaan. Sebagian besar orangtua cenderung tidak menyadari atau bahkan menyangkal masalah kesehatan mental anak-anak mereka.
Survei I-NAMHS menunjukkan, hanya 4,3 persen dari orangtua atau pengasuh yang mengatakan bahwa anak remaja mereka membutuhkan bantuan terkait masalah kesehatan mental. Dari mereka yang merasa anaknya butuh dukungan, hanya 16,7 persen (atau 1 dari 6) orangtua atau pengasuh yang mengaku bahwa kebutuhan anak remaja mereka telah terpenuhi.
Baca juga: Perjuangan Tak Mudah Merawat Kesehatan Mental
Namun, hampir setengahnya (43,8 persen) melaporkan bahwa mereka tidak mengakses layanan atau bantuan karena merasa bahwa mereka ingin menangani masalah tersebut sendiri atau bersama keluarga dan sahabat.
Banyak dari mereka juga tidak mengetahui tempat mencari layanan bantuan (19,2 persen ), menganggap anak remaja mereka bisa membaik dengan sendirinya (15,4 persen), dan merasa kesulitan membayar biaya layanan (13,6 persen).
Masa remaja merupakan fase hidup yang sangat menentukan, terutama karena kondisi kejiwaan yang labil sementara tekanan semakin kompleks. Selain di lingkungan rumah, anak-anak ini juga rentan mendapat tekanan dan perundungan di sekolah yang bisa berdampak sangat serius.
Kasus terbaru, misalnya, dialami siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, yang membakar sekolahnya pada Selasa (27/6/2023), karena kerap mengalami perundungan.
Pembakaran sekolah juga pernah dilakukan siswi sekolah madrasah ibtidaiyah (MI) atau setingkat sekolah dasar (SD) di Polokarto, Sukoharjo pada Mei 2016. Seperti R, siswi berinisial V (11) ini membakar sekolah tempatnya belajar karena sakit hati akibat sering dirundung oleh teman-temannya.
Tekanan mental juga bisa berakibat sangat fatal bagi anak-anak. Sebagai pengingat, medio 2022 seorang siswa sekolah dasar berusia 11 tahun di Tasikmalaya, Jawa Barat, mengalami depresi dan akhirnya meninggal dunia karena mengalami kekerasan psikis dan fisik dari teman-temannya.
Kasus-kasus tersebut tentu hanya puncak gunung es dari deretan banyak kasus perundungan yang bisa berakibat sangat fatal, baik psikis maupun fisik bagi anak.
Padahal, studi PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional) pada 2018 melaporkan, sebanyak 41 persen pelajar Indonesia berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia di posisi kelima tertinggi dari 78 negara.
Data jelas menunjukkan bahwa anak-anak kita membutuhkan dukungan terkait kesehatan mental. Perlu ada penyediaan layanan dengan akses yang mudah, seperti jaringan telepon atau layanan percakapan secara daring, untuk mendukung besarnya kebutuhan layanan kesehatan mental di kalangan remaja.
”Minimal yang bisa dilakukan, menghilangkan barier. Kalau mereka (remaja) butuh ke psikolog, keluarga harus mendukung. Jangan mengabaikan. Kalau mau mengakses layanan, jangan sampai ditunda,” kata Amira.
Tanpa ada dukungan yang memadai untuk kesehatan mental, gangguan kecemasan yang banyak dialami generasi Z itu bakal membuyarkan impian Indonesia Emas 2045.