Pelepasan Kawasan Hutan di Kaltim Ancam Lingkungan dan Masyarakat
Dari 736.000 hektar lahan yang akan masuk dalam usulan revisi RTRW Kalimantan Timur, seluas 612.355 hektar berupa pelepasan kawasan hutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelepasan kawasan hutan, khususnya di Kalimantan Timur, yang difasilitasi dalam revisi rencana tata ruang wilayah atau RTRW dapat mengancam lingkungan dan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Bahkan, pelepasan hutan ini juga dapat merenggut ruang masyarakat adat sehingga memicu peningkatan konflik agraria.
Ancaman lingkungan terhadap pelepasan kawasan hutan dalam revisi RTRW Kaltim ini terungkap dalam analisis yang dilakukan koalisi organisasi masyarakat sipil Indonesia Memantau. Organisasi yang tergabung dalam koalisi ini adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Auriga Nusantara, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Forest Watch Indonesia (FWI).
Juru Kampanye Auriga Nusantara Hilman Afif mengemukakan, saat ini terdapat 736.000 hektar lahan yang akan masuk dalam usulan revisi RTRW Kaltim. Sebanyak 83 persen dari jumlah tersebut atau 612.355 hektar berupa pelepasan kawasan hutan, kemudian 14 persen atau 101.788 hektar merupakan penurunan kawasan hutan, dan hanya 3 persen atau 19.858 hektar lahan direncanakan naik status kawasan hutan.
Pembukaan lahan dan hutan masih bisa dilakukan seiring dengan kebutuhan untuk pembangunan dan kegiatan lainnya.
”Jadi, bisa dilihat sebanyak 97 persen usulan revisi RTRW ini akan berdampak terhadap kawasan hutan. Selain itu, dari 736.000 hektar lahan tersebut, 56 persen juga masih berupa hutan alam. Kami menemukan di setiap lahan usulan terdapat beberapa pemegang izin,” ujarnya dalam diskusi media di Kantor Walhi Nasional, Jakarta, Jumat (7/7/2023).
Pelepasan kawasan hutan ini tidak hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Sebab, sebanyak 467.792 hektar dari total usulan RTRW tersebut merupakan habitat orangutan. Bahkan, seluas 78.712 hektar kawasan itu juga menjadi habitat satwa yang terancam punah, badak sumatera.
Hilman menduga revisi RTRW Kaltim ini tidak terlepas dari keterlibatan korporasi sehingga mengabaikan kepentingan publik atau masyarakat. Penyebabnya, di atas kawasan hutan yang akan dilepaskan telah dibebani oleh 156 izin konsesi perusahaandi sektor pertambangan, monokultur sawit skala besar, dan kebun kayu.
Seluas 138.021 hektar yang masuk dalam usulan pelepasan adalah lahan dengan izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI). Adapun total korporasi yang terdeteksi dalam kawasan tersebut sebanyak 39 perusahaan.
Luas pelepasan kawasan hutan untuk korporasi ini juga sangat jauh berbeda dibandingkan luasan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Dari total luas kawasan hutan yang dilepas, hanya 94.404 hektar yang ditujukan untuk program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS).
”Dari analisis citra satelit pada Februari 2023, kawasan yang akan dilepaskan tersebut masih berupa hutan. Kemudian citra satelit lainnya pada April 2023 saat proses revisi RTRW sedang berlangsung, ternyata sudah terjadi pembukaan kawasan hutan. Padahal, status kawasan ini dalam dokumen RTRW berupa pengelolaan oleh masyarakat,” kata Hilman.
Menurut Hilman, revisi RTRW Kaltim ini juga turut melibatkan pemerintah pusat. Dalam prosesnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah membentuk tim terpadu untuk meninjau revisi RTRW Kaltim ini. Akan tetapi, proses penilaian ini juga tidak mengedepankan transparansi terkait data ataupun partisipasi publik.
Ketimpangan penguasaan lahan
Koalisi menilai pelepasan kawasan hutan dalam revisi RTRW Kaltim yang hanya memfasilitasi kepentingan korporasi pada akhirnya akan merenggut ruang masyarakat lokal dan meningkatkan konflik agraria serta ketimpangan penguasaan lahan. Data KPA menunjukkan, selama lima tahun terakhir di Kaltim terjadi 40 konflik agraria.
Data Sensus Pertanian 2018 menunjukkan, penguasaan lahan dari petani kecil dengan luasan 0,5-2,9 hektarhanya berjumlah lebih kurang 180.000 hektar. Sementara penguasaan lahan dari korporasi 60 kali lebih besar dengan luasan mencapai 11,6 juta hektar.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian mengatakan, pemberian akses dan kontrol terhadap satu wilayah antara korporasi dan masyarakat di Indonesia masih sangat timpang. Hal ini bisa terjadi salah satunya karena ruang-ruang dalam berbagai kebijakan di Indonesia seperti revisi RTRW kerap dijadikan celah bagi korporasi untuk melegalisasi tindakan yang sebelumnya ilegal.
Atas dasar tersebut, koalisi pun mendesak agar Pemerintah Provinsi Kaltim dapat menghentikan sementara proses revisi RTRW dan membuka ruang keterbukaan serta partisipasi kepada masyarakat sipil. Di sisi lain, KLHK juga diminta untuk tidak menerbitkan izin usaha dan melakukan penegakan hukum pada perusahaan yang telah beroperasi secara ilegal.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugardiman dalam diskusi media, akhir Juni lalu, menekankan, kondisi tutupan lahan dan hutan Indonesia bersifat dinamis. Artinya, pembukaan lahan dan hutan masih bisa dilakukan seiring dengan kebutuhan untuk pembangunan dan kegiatan lainnya.
Menurut Ruandha, perubahan tutupan hutan terjadi dari waktu ke waktu. Perubahan ini di antaranya terjadi karena konversi hutan untuk pembangunan sektor nonkehutanan, perambahan dan kebakaran hutan, ataupun kegiatan rehabilitasi hutan.
Meski demikian, KLHK mencatat, apabila dilihat berdasarkan tren deforestasi, tahun ini penurunan hutan Indonesia relatif rendah dan cenderung stabil. Tercatat deforestasi Indonesia tahun 2021-2022 turun 8,4 persen dibandingkan hasil pemantauan tahun 2020-2021. Deforestasi neto Indonesia tahun 2021-2022 seluas 104.000 hektar, sementara deforestasi Indonesia tahun 2020-2021 mencapai 113.500 hektar.