Kewaspadaan pada Diabetes sejak Usia Muda Masih Kurang
Penyakit diabetes melitus tipe 2 pada umumnya diderita oleh seseorang berusia di atas 40 tahun. Namun, saat ini terjadi peningkatan secara global 56 persen pada usia muda.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·5 menit baca
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan dokter spesialis penyakit dalam Dyah Purnamasari Sulistianingsih memaparkan materi di Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Jumat (7/7/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Perhatian dan kewaspadaan masyarakat ataupun tenaga kesehatan dalam mendeteksi diabetes melitus tipe 2 usia muda masih kurang. Padahal, diabetes melitus tipe 2 pada usia muda bersifat lebih progresif dan menyebabkan komplikasi kronik lebih dini serta dapat menurunkan produktivitas.
Penyakit diabetes melitus tipe 2 (DMT2) pada umumnya diderita oleh seseorang yang berusia di atas 40 tahun. Namun, saat ini terjadi peningkatan 56 persen secara global kasus DMT2 pada usia kurang dari 40 tahun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, jumlah penderita DMT2 meningkat hingga dua kali lipat, mulai dari 7,4 persen pada tahun 2007 menjadi 14,7 persen pada tahun 2018.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan dokter spesialis penyakit dalam Dyah Purnamasari Sulistianingsih menyampaikan, apabila terkena diabetes pada usia dini atau kurang dari 40 tahun, seseorang akan lebih mudah terkena komplikasi kronik seperti penyakit jantung dan dapat meningkat empat kali lebih tinggi. Begitu ia terkena komplikasi kronik, biaya kesehatannya naik 130 persen dan harus sering berobat.
”Penyakit DMT2 pada usia muda bersifat lebih progresif dan dapat menurunkan produktivitas pada usia kerja, serta meningkatkan beban kesehatan jangka panjang. Tren peningkatan pasien diabetes dapat dicegah melalui kerja sama semua pihak, mulai dari masyarakat, tenaga pendidik, tenaga kesehatan, pemangku kebijakan, dan stakeholder (pemangku kepentingan) lainnya,” ujar Dyah dalam presentasi berjudul ”Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Usia Muda sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia: Masa Depan Penelitian pada Populasi Kerabat Dekat Penyandang Diabetes Melitus Tipe 2” di FKUI, Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023).
Saat ini terjadi tren peningkatan jumlah penderita DMT2 pada masyarakat dengan usia kurang dari 40 tahun di Indonesia. Jumlah DMT2 di Indonesia saat ini adalah 19,5 juta penderita dan dalam dua dekade ke depan jumlahnya diperkirakan sebesar 150 persen.
Angka tersebut belum termasuk orang yang tidak tahu bahwa dirinya menderita diabetes (undiagnosed diabetes). Pada usia kurang dari 40 tahun, proporsi undiagnoseddiabetes terjadi sebesar enam kali lipat lebih besar dibandingkan dengan yang sudah mengetahui bahwa dirinya terkena penyakit diabetes.
Menurut Dyah, penyebab terbanyak seseorang menderita DMT2 adalah obesitas. Data Riskesdas pada 2018 menunjukkan, 3 dari 10 populasi Indonesia sudah mengalami obesitas. Populasi Indonesia atau Asia memiliki lingkar pinggang dan lemak tubuh lebih tinggi 3-5 persen dibandingkan dengan Eropa dan Amerika sehingga berisiko terkena penyakit metabolik.
Selain itu, anak kandung dan saudara kandung pasien DMT2 memiliki risiko delapan kali lebih besar terkena DMT2. Pada populasi anak kandung, penebalan pembuluh darah sudah hampir 50 persen terjadi meskipun masih awal.
Dyah mengatakan, tren peningkatan pasien diabetes dapat dicegah oleh semua pihak dengan dimulai dari peraturan pemerintah. Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi mengenai perdagangan makanan, ketersediaan makanan sehat di sekolah-sekolah, serta infrastruktur untuk melakukan kegiatan aktivitas fisik.
Dia juga menyarankan kepada semua orangtua agar mengetahui nutrisi anak yang sehat sejak bayi serta membiasakan pola kehidupan yang sehat dalam keluarga agar anak terbiasa untuk hidup sehat. Keluarga harus benar-benar menjaga kebiasaan makanan dan aktivitasnya.
”Dan yang terpenting adalah persepsi mengenai berat badan dan body image di lingkungan sosial,” ujar Dyah.
Dampak minuman manis
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, mengonsumsi gula berlebih, baik dari makanan maupun minuman, berisiko tinggi menyebabkan masalah kesehatan seperti obesitas dan diabetes melitus.
Data Kemenkes juga menunjukkan bahwa 28,7 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi gula garam lemak (GGL) melebihi batas yang dianjurkan. Sementara itu, berdasarkan data Riskesdas 2018, sebanyak 61,27 persen penduduk usia tiga tahun ke atas di Indonesia mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari dan 30,22 persen orang mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu. Hanya 8,51 persen orang mengonsumsi minuman manis kurang dari tiga kali per bulan.
Maxi menyampaikan, pemerintah melakukan berbagai upaya dan strategi dalam mengendalikan GGL yang mencakup aspek regulasi, reformulasi pangan, penetapan pajak/cukai, studi/riset, dan edukasi. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 30 Tahun 2013 yang diperbarui dengan Permenkes No 63/2015 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji.
”Salah satu aspek pengaturannya dalam hal nilai gizi ialah kandungan lemak hingga gula harus tertera pada iklan dan promosi media, seperti brosur, buku menu, dan lainnya,” kata Maxi.
Sementara itu, kebijakan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan. Diharapkan, pemberlakuan cukai pada produk makanan dan minuman yang tinggi gula, garam, dan lemak dapat menginisiasi terciptanya pangan yang lebih sehat dengan reformulasi makanan sehingga menurunkan risiko terjadinya penyakit tidak menular.
Maxi juga mengimbau masyarakat untuk menjaga kesehatan dimulai dari diri sendiri. Masyarakat harus lebih bijak dalam memperhatikan asupan makan serta menjaga asupan gula garam dan lemak sesuai dengan rekomendasi maksimum, yaitu gula sebanyak 50 gram per hari (4 sendok makan/sdm), garam sebanyak 2 gram, dan lemak sebanyak 67 gram (5 sdm).