Arab Saudi berupaya menggenjot wisata non-religi demi perwujudan Visi 2030. Tersisa tujuh tahun untuk terus membenahi keramahan warga dan semangat melayani.
Oleh
ADI PRINANTYO dari Mekkah, Arab Saudi
·4 menit baca
MEKKAH, KOMPAS — Selain tetap berfokus pada penerimaan dan pengelolaan jemaah haji dan umrah, Arab Saudi menggarap wisatawan non-religi. Berbagai promosi wisata dilancarkan demi obsesi Pangeran Mohammed Bin Salman yang menargetkan kunjungan 100 juta turis per tahun pada 2030.Situs visitsaudi.com sebagai portal promosi wisata Arab Saudi memuat informasi beberapa agenda wisata non-religi. Ada naik kuda di Al Jazeera Equestrian Center seharga 40 riyal Saudi (sekitar Rp 160.000), arung jeram dan menyelam dari Jeddah ke Kepulauan Bayada dengan banderol mulai 390 riyal (Rp 1,5 juta), juga ajakan mencoba kafe-kafe kekinian di Jeddah. Atau yang sudah eksis saat ini, menyaksikan balap mobil F1 di Sirkuit Corniche, Jeddah. Yang menarik, tidak semua foto di web itu menampilkan perempuan berhijab. Salah satu yang tanpa hijab, perempuan dengan blus hijau tua yang memegang seloki berisi buah-buahan, dalam salindia berjudul ”Authentically Saudi”. Yang berminat langsung klik, dan akan mendapati tawaran-tawaran makanan dan minuman khas Saudi.
Di luar umrah dan haji, wisata non-religi Arab Saudi belum banyak dikenal. Dalam artikel ”Saudi Arabia enlists influencers to tempt tourists” karya Richard Spencer di The Times pada September 2019 disebutkan bahwa turis bisa datang ke Arab Saudi tanpa visa, untuk kali pertama. Selain itu, perempuan asing juga tak lagi wajib berhijab atau baju panjang abaya khas Saudi sebagai bagian dari reformasi sosial negara kerajaan tersebut.
Berbagai upaya promosi wisata ini bagian dari program besar dan ambisius pangeran Mohammed bin Salman. Pemerintah Arab Saudi berobsesi kunjungan wisatawan ke Arab Saudi mencapai lebih dari 100 juta per tahun, mulai 2030. Sejauh ini 12 juta visa umrah dan haji diterbitkan per tahun, selain sekitar empat juta visa bisnis. Program wisata itu tetap dikampanyekan di tengah berbagai polemik seputar isu konservatisme pemerintahan Arab Saudi, dan sejumlah pembatasan terhadap turis perempuan. Sebelumnya, juga di The Times edisi Januari 2009, Cart Urquhart menulis: ”Arab Saudi ingin berbagi potensi wisatanya, tetapi dengan diantar polisi dan beberapa pembatasan untuk turis perempuan”. Pembatasan itu, misalnya, memakai gaun abaya.
Masih dalam artikel itu, Urquhart mengutip pernyataan Abdullah al-Jehani, pejabat senior pemasaran pariwisata Saudi. ”Arab Saudi dulunya tertutup bagi dunia luar. Publik tahunya Arab Saudi seperti yang mereka lihat di televisi: kekerasan dan masalah dengan pemerintah. Tetapi sekarang kami punya 20 tahun program pariwisata, dan segera setelah ini kami akan terbitkan visa turis,” ucap al-Jehani.
Di Mekkah sendiri, hari-hari ini banyak terpasang spanduk atau baliho ”2030”, sejalan dengan program Pangeran Mohammed bin Salman terkait target kunjungan turis 100 juta per tahun mulai 2030. Di kawasan Mina, misalnya, titik terakhir puncak ibadah haji setelah Arafah dan Muzdalifah, spanduk ”2030” terlihat di berbagai sudut.
Bagaimana sebenarnya keramahan warga Arab Saudi terhadap pendatang, dalam hal ini jemaah haji dari berbagai negara? Sejauh mana semangat melayani ”tamu-tamu Allah”, sebutan bagi jemaah haji?
Pembimbing Ibadah Kloter JKG 21, Saprudin, menilai pelayanan di hotel Kiswah Tower 2, tempat mereka menginap selama musim haji 2023, tergolong bagus. ”Pelayanan akomodasi di hotel alhamdulillah baik. Manajemen hotel sangat responsif. Kebersihan lantai, kamar mandi, kamar tidur termasuk penggantian sprei, sangat baik. Alat-alat rusak, seperti keran air, lampu mati juga segera diganti,” ujarnya, Jumat (7/7/2023).
Sejumlah hotel di Mekkah juga menyambut jemaah Indonesia secara khusus, saat mereka baru tiba dari Tanah Air. Dalam penyambutan spesial itu, sesampai di hotel anggota jemaah dikalungi rangkaian bunga, diberi minuman dan makanan pembuka, antara lain kurma dan cokelat.Namun, itu bukan representasi sepenuhnya dari keramahan warga Arab Saudi. Di Masjidil Haram, misalnya, sebagai salah satu pusat kegiatan ibadah umat Muslim selama ibadah haji, tergolong minim papan informasi. Padahal, sebagai masjid terpenting di dunia yang menjadi tujuan ibadah jutaan umat Muslim sedunia, ketersediaan papan informasi krusial.Menurut Savic Ali, pendiri situs Islami.co, selain papan informasi, selayaknya Masjidil Haram juga menyiagakan petugas layanan informasi yang siap menjawab pertanyaan jemaah. ”Dari pengalaman sekian pekan bertugas di Masjidil Haram, pertanyaan jemaah bermacam-macam. Mulai dari posisi terminal, jalan masuk untuk tawaf, sampai posisi WC,” kata Savic, yang juga anggota Media Center Haji (MCH) 2023.
Akan lebih baik, lanjut dia, jika petugas-petugas itu bisa berkomunikasi dalam beberapa bahasa. Jika jemaah Indonesia dinilai salah satu yang jumlahnya besar, Savic menyebut perlunya petugas Masjidil Haram yang mampu berbahasa Indonesia. ”Keberadaan petugas Masjidil Haram yang bisa berbahasa Indonesia akan memperingan kerja petugas haji Indonesia, yang secara rasio tidak imbang dengan jemaahnya,” ujarnya.
Ia menyayangkan Arab Saudi terkesan masih nyaman dengan kunjungan jemaah haji dan umrah, yang tanpa promosi pun orang akan datang sehingga atmosfer keramahan belum sepenuhnya tampak. Standar pelayanan hotel di Mekkah, menurut Savic, juga masih sangat beragam. Ada yang sangat baik, tetapi harus diakui, ada juga yang masih seadanya.”Noda” di saat puncak ibadah haji 2023, serta sejumlah masalah di Arafah-Muzdalifah-Mina, juga perlu menjadi perhatian untuk dibenahi. Masih tersisa tujuh tahun bagi Arab Saudi untuk berbenah menggenjot semangat keramahan dan pelayanan agar obsesi Pangeran Mohammed bin Salman benar-benar terwujud.