Dasawarsa 1980-an, KH Husein Muhammad berhaji dari Mesir naik kapal laut. Kini, mahasiswa Indonesia di Mesir menjadi pemandu wisata di Mekkah untuk menambah tabungan.
Oleh
ADI PRINANTYO dari Mekkah, Arab Saudi
·4 menit baca
Wajah Masjidil Haram saat ini tak terbayangkan sebelumnya oleh KH Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar at-Tauhid, Cirebon, Jawa Barat. ”Kemegahan Masjidil Haram yang dikelilingi mal dan hotel-hotel mewah juga megah ibarat bumi dan langit dibanding waktu 1980-an saya sering ke sini,” ujar Buya Husein, panggilan akrabnya, dalam perbincangan baru-baru ini di Mekkah, Arab Saudi.
Ia mengisahkan mulai 1980 mempelajari ilmu tafsir Al Quran di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, setelah menamatkan pendidikan di Institut Ilmu Al Quran, Jakarta. ”Ada kebiasaan di kalangan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Mesir, kalau pas bulan Ramadhan sampai musim haji, itu kami pergi. Cari duit, buat biaya sekolah,” kata Buya Husein, penerima gelar doktor honoris causa dari UIN Walisongo, Semarang, itu.
Negara tujuan para mahasiswa itu salah satunya Arab Saudi. Wajar kiranya, karena mereka bisa sekalian menunaikan umrah atau haji. ”Saya waktu itu dari Mesir menuju Mekkah naik kapal laut. Dari Terusan Suez sampai ke Jeddah itu perlu waktu dua malam. Sesampai di Jeddah, naik bus ke Mekkah,” ujar Buya Husein sembari menambahkan, gaya dia berkelana kala itu layak disebut umrah atau haji backpacker.
Selama naik bus ke Mekkah, dia dan kawan-kawan juga sering bekerja serabutan dengan menawarkan jasa membawakan barang penumpang. Kadang-kadang, tuturnya, ada penumpang berduit yang memberi persenan cukup banyak untuk ukuran mahasiswa seperti dia kala itu.
”Di Mekkah, saya tidak punya penginapan, jadi numpang ke orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Arab Saudi, para mukimin itu. Waktu itu, penginapan-penginapan di sekitar Kabah dan Masjidil Haram juga dimiliki pribadi-pribadi para syekh, belum ada AC, terlihat sederhana,” kata Buya.
Beberapa penginapan di sekitar Masjidil Haram ketika itu berada di Jabal Qubais, gunung di atasnya, yang diyakini sebagai bukit pertama di Bumi.
Jika seseorang berdiri di atas Jabal Qubais, kata Buya, dia akan dengan mudah melihat Kabah. Mau ke Kabah? Tinggal turun saja.
”Waktu itu masih kosong, sangat terasa kosong, sehingga saya bisa berkali-kali mencium Hajar Aswad, juga bisa shalat di Hijir Ismail. Kalau sekarang, waduh... saya tawaf mengelilingi Kabah tujuh kali saja perlu waktu setengah jam karena saking banyaknya jemaah,” ucap Buya lagi.
Banyak mal dan hotel kini ibarat melingkupi Masjidil Haram. Terbesar, tentu saja mal Zamzam Tower yang kini jadi ikon di kawasan Masjidil Haram. Setidaknya, itu tergambar dari seringnya Zamzam Tower menjadi latar belakang foto jemaah haji dan umrah di media sosial.
Harus diakui, nuansa sederhana yang dulu dikisahkan Buya Husein kini sudah berganti dengan beragam kemegahan. Jika mengecek harga kamar di sejumlah hotel di kawasan Masjidil Haram, harganya lebih dari Rp 4 juta per malam. Harga kamar di beberapa hotel di pusat kota Mekkah juga jutaan rupiah per malam.
Pembangunan dan perluasan Masjidil Haram, yang menurut sejumlah referensi dimulai sekitar 2008, mengubah suasana Masjidil Haram yang sebelumnya bernuansa tradisional. Salah satunya menggusur Pasar Seng, pasar tradisional yang menjual berbagai suvenir khas Arab Saudi.
Yang menarik, kebiasaan bepergian di saat liburan kuliah masih berlangsung. Ibnu Al Hafizh (27), alumnus S-2 Jurusan Hadis Universitas Al Azhar, Mesir, pada musim haji 2023 tinggal di Mekkah untuk menjadi petugas haji. Dia menjadi anggota tim Bimbingan Ibadah Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi 2023, setelah lolos proses seleksi di Kairo.
”Memang, kalau musim panas agak lama, kami ke Mekkah untuk umrah. Jadi, kebiasaan pergi ke luar dari negara tempat kuliah masih berlangsung sampai sekarang. Cari tiket pesawat atau kereta yang agak murah, nanti di Mekkah juga berusaha cari kerja sampingan,” ujar Ibnu, yang bersyukur tahun ini bisa berhaji sekaligus mengabdi sebagai petugas haji.
Pekerjaan sampingan itu, katanyaa, salah satunya menjadi pemandu wisata di beberapa biro perjalanan di Arab Saudi. Kemampuan berbahasa Arab, dan tentunya bahasa Indonesia, menjadi penentu terbukanya pekerjaan ini bagi mereka. Saat ditanya honornya, Ibnu menyebut 200 riyal hingga 250 riyal Arab Saudi per hari (Rp 800.000-Rp 1 juta).
Inria A Zahra (26) juga menunaikan umrah di tengah liburan kuliahnya di Ilmu Kesehatan Masyarakat King College, London, Inggris. Dengan bermodal Rp 8 juta-Rp 10 juta, dia menyelesaikan umrah di Mekkah, plus singgah di Madinah. Dari total biaya itu, Rp 6,5 juta untuk tiket pesawat. Sisanya untuk penginapan dan makan.
”Saya naik pesawat dari London menuju Athena (Yunani) dulu. Setelah itu dari Athena berlanjut ke Jeddah, baru perjalanan darat ke Mekkah, lalu Madinah. Pulangnya, dari Jeddah transit di Italia dulu, baru kemudian menuju London. Total untuk tiket pesawat Rp 6,5 juta,” ucap Inria, yang hanya membawa satu tas punggung, tanpa koper.
Ungkapan ”seribu jalan menuju Roma” sudah begitu tersohor. Dari kisah Buya Husein, Ibnu, dan Inria, kita makin memahami, ada seribu jalan pula untuk menunaikan ibadah umrah dan haji.