Tingkatkan Keterlibatan Perempuan di Agenda Perdamaian
Perempuan memiliki perspektif dan keterampilan unik dalam mengatasi konflik. Peran mereka di agenda keamanan dan perdamaian pun dibutuhkan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Partisipasi perempuan sebagai penjaga perdamaian dinilai meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan perdamaian. Namun, tingkat partisipasi perempuan masih rendah. Negara-negara anggota ASEAN berkomitmen menggenjot partisipasi perempuan di agenda perdamaian dan keamanan.
Hal ini mengemuka pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan ASEAN kedua yang diadakan di Yogyakarta, Kamis (6/7/2023). Konferensi ini berlangsung selama dua hari atau hingga 7 Juli 2023. Pertemuan dihadiri oleh perwakilan negara-negara anggota ASEAN serta perwakilan negara mitra, seperti Australia, Korea Selatan, Kanada, Amerika Serikat, dan Inggris.
KTT ini membahas tindak lanjut Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan. Resolusi ini diadopsi Dewan Keamanan PBB sejak tahun 2000.
Resolusi tersebut mendorong semua pihak untuk meningkatkan partisipasi perempuan dan perspektif jender di agenda keamanan dan perdamaian PBB. Adapun resolusi itu menegaskan kembali peran penting perempuan, antara lain, dalam pencegahan dan resolusi konflik, serta negosiasi perdamaian.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, perempuan adalah aktivis perdamaian dan negosiator yang mumpuni. Kepekaan alami perempuan dinilai mampu membangun inklusivitas dan rasa saling hormat antarkelompok.
”Perempuan membawa perspektif, pengalaman, dan keterampilan unik, serta sering kali fokus pada penyembuhan dan rekonsiliasi komunitas. Karena itu, partisipasi mereka yang bermakna dalam proses perdamaian meningkatkan keefektifan, legitimasi, dan keberlanjutan perdamaian,” ucap Bintang.
Kepekaan alami perempuan dinilai mampu membangun inklusivitas dan rasa saling hormat antarkelompok.
Walakin, Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang Sosial Budaya Siti Nugraha Maulidiah mengatakan, keterwakilan perempuan di agenda perdamaian dan keamanan masih rendah. Pengarusutamaan jender pun diperlukan agar perempuan dapat berpartisipasi.
”Peran perempuan di proses perdamaian itu tidak sekadar merangkul kesetaraan jender, tetapi juga transformatif untuk memperkuat upaya mencapai keberlanjutan,” ujar Siti.
Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian Tentara Nasional Indonesia (PMPP TNI) mencatat, saat ini ada 2.516 penjaga keamanan Indonesia. Sebanyak 64 orang di antaranya adalah perempuan. Mereka ditempatkan di delapan negara untuk misi perdamaian dunia, antara lain Lebanon, Kongo, Sudan, dan Amerika Serikat.
Komandan PMPP TNI Laksamana Muda TNI Retiono Kunto menyebut, perempuan terlibat di operasi penjagaan perdamaian sejak 2007. Adapun Indonesia menjadi bagian dari pasukan perdamaian PBB sejak 1957. Pada 1957, Kontingen Garuda (Konga) I ditugaskan ke Sinai, Mesir.
Menurut dia, setiap penjaga perdamaian ditugaskan sesuai dengan kompetensi. Sebelumnya, mereka mesti lolos tes kesehatan fisik dan psikologi. Mereka juga harus memiliki keterampilan dasar, seperti di bidang teknologi. Mereka akan diberi pelatihan setelah lolos tes. Adapun perempuan penjaga perdamaian akan diberi pembekalan awal sebelum menjalani pelatihan gabungan.
Jumlah perempuan penjaga perdamaian diharapkan bertambah agar sesuai dengan target PBB. Retiono mengatakan, peningkatan kuantitas itu mesti diikuti dengan peningkatan kualitas. Pihaknya pun berkomitmen mewujudkannya.
Pada 2028, PBB menargetkan agar persentase perempuan yang bertugas di kontingen militer sebanyak 15 persen dan pengawas militer 25 persen. Adapun persentase perempuan yang bertugas di unit kepolisian diharapkan mencapai 20 persen dan petugas polisi individu 30 persen.
Sementara itu, menurut perwakilan Kantor Penasihat Presiden untuk Perdamaian, Rekonsiliasi, dan Persatuan Filipina (OPARRU) Susana Guadalupe H Marcaida, negaranya mengupayakan pelibatan perempuan di agenda perdamaian dan keamanan. Ini dilakukan melalui Rencana Aksi Nasional tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan. Ia menambahkan, negaranya mengalokasikan minimal 5 persen anggaran nasional untuk kegiatan dan program terkait jender.
Deputi Direktur Jenderal Departemen Perempuan dan Keluarga Thailand Rungtiwa Suddan menambahkan, negaranya memprioritaskan partisipasi perempuan di pencegahan konflik dan krisis di tingkat lokal ataupun nasional.
”Thailand sedang bersiap mengembangkan draf Rencana Aksi Nasional tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan. Ini perlu diimplementasikan ke empat pilar, yaitu partisipasi, pencegahan, perlindungan, dan pemulihan,” ucap Suddan.