”Prestasi” Indonesia di Mata Dunia
Indonesia adalah anomali. Di saat mayoritas negara di dunia sungguh-sungguh melindungi anak dari bahaya rokok, perokok anak di Indonesia justru meningkat.
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Indonesia Emas 2045 sebagai visi di saat 100 tahun Indonesia merdeka. Pemerintah ingin pada tahun 2045 nanti, kualitas manusia Indonesia unggul dan Indonesia menjadi negara maju sekaligus salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia pada 2045 sebanyak 318,9 juta jiwa. Mengandaikan pada 2045 struktur penduduk Indonesia didominasi usia produktif, maka menyiapkan anak-anak masa kini untuk menjadi generasi unggul pada 2045 adalah keniscayaan.
Dengan demikian, visi Indonesia Emas 2045 tersebut hanya akan terwujud jika anak-anak Indonesia saat ini mendapatkan haknya untuk hidup sehat dan memiliki akses pada pendidikan yang berkualitas. Segala hal yang menghalangi mereka untuk menjadi generasi penerus yang sehat dan produktif perlu disingkirkan.
Sayangnya, ambisi pemerintah untuk melahirkan generasi muda yang unggul tersebut terganggu oleh epidemi tembakau yang selama ini seolah berjalan normal-normal saja, bukan sebuah masalah yang besar.
Padahal, Riset Kesehatan Dasar memperlihatkan, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun yang pada 2013 sebanyak 7,2 persen, naik menjadi 9,1 persen pada 2018 atau sekitar 3,2 juta anak. Bappenas memperkirakan, jumlah ini terus naik hingga 16 persen atau setara dengan 6 juta anak pada 2030 jika tidak ada kebijakan pengendalian produk tembakau yang kuat.
Baca juga: Regulasi Pertembakauan Belum Optimal, Perokok Anak Meningkat
Baca juga: Anak-anak Indonesia Dikepung Asap Rokok
Baik dalam jangka pendek, terlebih dalam jangka panjang, fenomena itu berarti masalah besar. Anak perokok atau anak terpapar asap rokok akan memiliki risiko kesehatan serius yang tentunya akan membebani ekonomi dan mengganggu produktivitas.
Perlu kebijakan pengendalian tembakau yang kuat dan efektif untuk mencegah anak-anak menjadi perokok. Dalam hal ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan panduan untuk mengendalikan epidemi tembakau. Panduan yang biasa disingkat MPOWER ini, antara lain, berisi pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok; penerapan kawasan tanpa rokok (KTR); penerapan peringatan kesehatan bergambar (PHW) di bungkus rokok yang besar; serta pemberlakuan cukai rokok yang tinggi.
Tertinggal di kawasan
Soal peringatan kesehatan bergambar (PHW) pada bungkus rokok, di antara negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat pertama dari bawah. PHW di Indonesia seluas 40 persen dari bungkus rokok, baik di depan maupun belakang. Sementara luas PHW negara lain minimal 50 persen.
Jangankan dengan Thailand dan Singapura yang telah menerapkan kemasan rokok terstandar, dibandingkan dengan Malaysia saja Indonesia sudah kalah. Negeri jiran itu menerapkan PHW 50 persen di bagian depan bungkus rokok dan 60 persen di bagian belakang bungkus. Pemerintah Indonesia juga tidak cukup berani menerapkan PHW yang luas seperti Pemerintah Myanmar dan Laos yang menetapkan PHW seluas 75 persen.
Iklan, promosi, dan sponsor rokok mengganggu kesadaran publik untuk hidup sehat.
Peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok atau bahkan kemasan rokok terstandar menjadi penting untuk meminimalkan daya tarik rokok bagi anak-anak. Semakin luas gambar peringatannya, maka akan semakin efektif mencegah anak-anak mencoba rokok.
Survei Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) pada 2017 memperlihatkan, ukuran PHW yang besar menimbulkan rasa takut akan bahaya rokok lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran PHW yang kecil. PHW yang lebih besar juga lebih efektif memotivasi perokok untuk berhenti merokok.
Mesi demikian, penerapan PHW saja tidak cukup untuk menurunkan prevalensi perokok. Perlu kebijakan lain yang benar-benar memotong garis pertemuan antara industri rokok dan anak-anak yang disasarnya.
Larangan iklan rokok
Instrumen yang sangat strategis bagi industri rokok untuk menggaet anak-anak menjadi perokok masa depan adalah iklan. Sayangnya, lagi-lagi, Indonesia tidak melarang total iklan rokok seperti direkomendasikan WHO. Iklan rokok di media massa hanya dibatasi penayangannya.
Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani, Kamis (22/6/2023), menyatakan, iklan, promosi, dan sponsor rokok mengganggu kesadaran publik untuk hidup sehat. Melalui iklan, industri rokok menormalisasi perilaku merokok sehingga menarik anak-anak dan remaja untuk mulai merokok.
Baca juga: Iklan dan Promosi Rokok Masih Terus Membayangi Anak
Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (Seatca) 2019, komitmen Indonesia untuk melarang total iklan rokok paling rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang tidak melarang iklan rokok di semua bentuk media, baik langsung maupun tidak langsung. Media dimaksud meliputi, antara lain, media cetak, televisi dan radio, film, gim, komunikasi digital, serta pertunjukan langsung.
Cukai rokok
Dari tahun ke tahun pemerintah berkomitmen menaikkan tarif cukai rokok. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata tarif cukai rokok tidak sampai 13 persen kecuali pada 2020 saat rata-rata tarif cukai mencapai 23 persen. Padahal, menurut WHO, agar dapat menurunkan konsumsi rokok, cukai rokok minimal 75 persen.
Melalui laporan Curbing the Epidemic yang dirilis pada 1999, Bank Dunia juga mengakui bahwa cukai rokok merupakan instrumen yang efektif untuk menurunkan prevalensi merokok dan menyelamatkan nyawa penduduk. Cukai rokok yang sejak lama hanya dilihat sebagai sumber pendapatan bagi negara menjadi bukti kumulatif betapa berbahayanya rokok yang dikenai cukai.
Akan tetapi, yang terlupakan ialah bahwa cukai dikenakan untuk setiap bungkus rokok, sementara di lapangan rokok tidak selalu dijual per bungkus. Menjual rokok batangan justru sangat lumrah terjadi sehingga meski tarif cukainya naik, rokok tetap terjangkau oleh penduduk miskin, juga anak-anak. Tidak heran jika kemudian prevalensi merokok anak pun naik. Belum lagi jika melihat iklan, promosi, dan sponsor rokok yang menyasar anak muda nyaris tak terbendung.
Baca juga: Rokok Masih Mudah Diakses Anak
Dalam kertas kebijakan Tobacconomics, Evan Blecher dari University of Illinois in Chicago, Amerika Serikat, menggunakan data WHO tahun 2016 dan Global Epidemic 2017 untuk menghitung afordabilitas harga rokok di Indonesia. Hasilnya, harga sebungkus rokok isi 20 batang dari merek ”paling populer” di Indonesia sekitar 1,65 dollar AS, lebih rendah daripada rata-rata global yang 3,38 dollar AS dan lebih rendah daripada rata-rata harga di Asia Pasifik yang 4,67 dollar AS.
Harga rokok di Indonesia itu menempati peringkat ke-68 harga rokok termurah dari 187 negara dan peringkat ke-10 dari 30 negara di Asia Pasifik.
Blecher bersama Val Walbeek mengembangkan metode pengukuran afordabilitas harga rokok menggunakan Relatif Income Price (RIP), yakni persentase GDP per kapita yang dibutuhkan untuk membeli 100 bungkus rokok termurah.
Menggunakan metode RIP Rong Zheng dkk dari University of International Business and Economics menganalisis afordabilitas rokok di Indonesia. Hasil analisisnya yang dirilis 2018 memperlihatkan, keterjangkauan harga rokok naik 50 persen selama 2002-2016. Hasil ini juga mengindikasikan persentase GDP per kapita untuk membeli 100 bungkus rokok turun dari 6 persen pada 2002 menjadi 4 persen pada 2016.
Lemahnya kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia tidak terlepas dari, salah satunya, belum diaksesinya Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Kerangka kerja ini menjadi payung kebijakan yang kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok. Menyadari bahaya candu rokok bagi pembangunan manusia, maka mayoritas negara di dunia telah meratifikasinya.
Yang mengherankan, di saat 182 negara yang mencakup 90 persen populasi dunia telah meratifikasi FCTC, Indonesia justru menyejajarkan diri dengan Somalia, Sudan Selatan, Malawi, Monako, Liechtenstein, Eritrea, dan Republik Dominika sebagai negara yang belum mengaksesi FCTC.
Baca juga: Partisipasi Industri Tembakau dan Keberpihakan Pemerintah
Studi Abdillah Ahsan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dkk, seperti dipublikasikan di jurnal Globalization and Health, 5 Februari 2022, mengungkap bahwa aksesi FCTC tidak akan berpengaruh negatif terhadap PDB per kapita seperti selalu dilontarkan industri rokok.
Negara-negara yang telah meratifikasi atau aksesi FCTC, seperti Brasil, Pakistan, dan Bangladesh, justru menunjukkan penurunan prevalensi merokok yang signifikan. Pada periode 2007-2018, misalnya, prevalensi merokok di Pakistan turun 10,7 persen, di Bangladesh turun 6,4 persen, dan di Brasil turun 4,5 persen. Sementara prevalensi merokok di Indonesia hanya turun 1,4 persen.
Lemahnya regulasi pertembakauan di Indonesia menjadi keanehan di tengah sikap mayoritas negara di dunia. Ketika mayoritas negara bergerak menuju era akhir bagi rokok (end game), Pemerintah Indonesia menggelar karpet merah bagi industri rokok. Sumbangan cukai pada pendapatan negara selalu diglorifikasi tanpa mempertimbangkan dampak multidimensi rokok yang mematikan. Perilaku merokok juga dinormalisasi melalui iklan dan sponsor rokok yang bebas.
Pada titik ini kita perlu terus mengingatkan pemerintah dengan keras bahwa idealita Indonesia Emas 2045 hanya akan menguap begitu saja jika tidak ada kebijakan nyata untuk melindungi anak dari bahaya rokok.