Anak-anak Indonesia Terkepung Asap Rokok
Lemahnya pengendalian konsumsi rokok dan anggapan merokok adalah hal yang normal membuat hak anak Indonesia untuk hidup sehat terganggu.
JAKARTA, KOMPAS – Asap rokok semakin menjerat anak-anak. Ruang bebas asap rokok semakin sulit ditemukan. Perokok usia muda pun kian meningkat akibat mudahnya akses serta masifnya iklan rokok. Perlu disadari bersama, Indonesia sudah darurat rokok.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018 atau sekitar 3,2 juta anak. Tanpa upaya sistematis dan masif, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan prevalensi perokok anak akan menjadi 16 persen pada 2030 atau setara dengan enam juta anak.
Pendiri sekaligus Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari di Jakarta, Sabtu (1/7/2023) menuturkan, masalah dampak buruk zat adiktif pada anak di Indonesia terus meningkat. Hal itu tidak hanya terjadi akibat adiksi dari rokok konvensional, melainkan juga rokok elektronik.
“Target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang ingin menurunkan perokok anak menjadi 8,7 persen akan mustahil dicapai dengan kebijakan yang ada. Kebijakan saat ini tidak signifikan melindungi anak dan mencegah anak menjadi perokok,” tuturnya.
Menurut dia, pemerintah tidak konsisten melindungi anak dari dampak buruk produk tembakau. Dalam RPJMN 2020-2024 sudah diamanatkan pedoman untuk mengatasi persoalan perokok anak. Itu antara lain, meningkatkan cukai hasil tembakau secara bertahap, melarang total iklan dan promosi rokok, serta memperbesar ukuran peringatan kesehatan bergambar bahaya merokok.
Selain itu, aturan kawasan tanpa asap rokok (KTR) juga seharusnya bisa diterapkan secara optimal. Sekalipun aturan KTR sudah diterbitkan, implementasi serta pengawasannya di lapangan belum berjalan. Akibatnya, anak-anak tetap saja tidak terlindungi dari paparan asap rokok, bahkan di tempat yang dilarang merokok, seperti pelayanan kesehatan, sekolah, tempat bermain anak, transportasi publik, serta fasilitas publik lainnya.
Baca juga: Anak Kian Terperangkap Candu Rokok
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 40 persen anak di dunia menjadi perokok pasif. Sementara merujuk Riset Kesehatan Dasar 2010, sebanyak 43 juta anak yang 11,4 juta di antaranya berusia 0-4 tahun, terpapar asap rokok dari orang lain. Hasil survei Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan Indonesia Institut for Social Development pada 2022 menyebutkan, 78,43 pelajar SMP/SMA terpapar asap rokok. Mereka paling banyak terpapar asap rokok di tempat bermain, angkutan umum, dan rumah.
Masalah dampak buruk zat adiktif pada anak di Indonesia terus meningkat. Hal itu tidak hanya terjadi akibat adiksi dari rokok konvensional, melainkan juga rokok elektronik.
Paparan asap rokok pada anak ini patut menjadi keprihatinan semua pihak. Dengan menjadi second-hand smoker (terpapar asap langsung dari orang yang merokok) maupun third-hand smoker (paparan tidak langsung bisa melalui residu asap rokok yang menempel di pakaian), anak akan memiliki berbagai risiko kesehatan.
Dalam laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) disebutkan, anak yang menjadi perokok pasif lebih rentan mengalami batuk lama, menderita sakit radang paru (pneumonia), dan asma. Bahkan, sebanyak 165.000 orang anak di dunia meninggal setiap tahun karena penyakit paru terkait dengan paparan asap rokok.
Di samping itu, rokok juga berpengaruh terhadap kondisi tengkes atau stunting pada anak. Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mengungkap, kejadian stunting pada anak dari keluarga perokok 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan perokok.
Kondisi itu sejalan dengan data Badan Pusat Statistik 2022 yang memperlihatkan bahwa rokok menjadi komponen pengeluaran tertinggi kedua pada rumah tangga setelah beras, baik pada rumah tangga di perkotaan maupun perdesaan. Keluarga lebih memilih mengeluarkan biaya untuk membeli rokok dibandingkan membeli sumber protein hewani.
Perokok anak
Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (TCSC-IAKMI) Sumarjati Arjoso mengatakan, situasi perokok anak yang mengkhawatirkan saat ini menjadi ironi bagi komitmen Kementerian Kesehatan yang ingin memperkuat upaya preventif dan promotif dalam intervensi kesehatan. “Kami sungguh keberatan dengan komitmen Kementerian Kesehatan saat ini yang mengatakan pencegahan lebih baik. Kenyataannya, untuk pengendalian rokok saja tidak ada perwujudan yang benar-benar melindungi masyarakat, khususnya anak” katanya.
Aturan iklan, promosi, dan sponsor rokok juga dinilai lemah. Padahal, iklan sangat signifikan memengaruhi anak untuk mulai merokok. Studi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka pada 2007 menunjukkan, sekitar 70 persen remaja mulai merokok karena terpengaruh iklan. Sebanyak 46,3 persen responden bahkan menyatakan, iklan memiliki pengaruh yang besar untuk mulai merokok.
Hal itu diperburuk dengan akses rokok yang mudah pada anak. Data Outlook Perokok Pelajar Indonesia pada 2022, sebanyak 47,06 persen anak membeli rokok secara eceran dengan tempat membeli rokok terbanyak di kios dan minimarket. Ketika membeli pun sebagian besar anak tidak pernah ditanya kartu identitas atau usia. Akses yang lebih mudah terjadi ketika mendapatkan rokok elektronik yang bisa diperoleh secara daring.
Baca juga: Kenaikan Pengeluaran untuk Rokok Tingkatkan Risiko Anak ”Stunting”
Anak-anak yang sudah terpajan konsumsi rokok di usia dini semakin besar berisiko mengalami gangguan kesehatan, seperti penyakit paru, penyakit jantung, dan kanker. Adiksi yang terjadi pun semakin tinggi sehingga jeratan rokok semakin sulit dilepas di kemudian hari. Keterikatan dengan rokok membuat anak lebih rentan melakukan tindak kekerasan agar bisa mendapatkan rokok. Sekitar 70 persen anak pernah memalak demi membeli rokok.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyampaikan, pemerintah harus segera melakukan tindakan yang masif dan strategis untuk mengendalikan dampak buruk rokok pada anak. Ia berharap, Rancangan Undang-Undang Kesehatan bisa semakin memperkuat kebijakan pengendalian rokok. Ia mendesak agar aturan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok serta larangan penjualan rokok batangan dimasukkan dalam RUU Kesehatan.
“Jika aturan itu tetap tidak ada di RUU Kesehatan, itu artinya tidak ada komitmen pemerintah untuk memperkuat perlindungan pada anak terhadap bahaya rokok. Bonus demografi yang seharusnya bisa dicapai bisa berbalik menjadi bencana demografi karena beban biaya kesehatan yang tinggi,” tuturnya.
Mengutip riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), total biaya pengobatan penyakit terkait rokok pada 2019 mencapai Rp 27,6 triliun. Sebanyak Rp 15,5 triliun biaya kesehatan tersebut ditanggung melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sementara itu, alokasi penerimaan cukai rokok untuk pembiayaan JKN sekitar Rp 7,4 triliun.
Baca juga: Regulasi Pertembakauan Belum Optimal, Perokok Anak Meningkat
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah menetapkan tersedianya KTR dan tidak adanya iklan, promosi, dan sponsor rokok sebagai salah satu penilaian Kota/Kabupaten Layak Anak.
“Dengan adanya indikator tersebut, pemerintah daerah akan memberi perhatian jika ingin mendapatkan predikat Kota atau Kabupaten Layak Anak. Saat ini sudah 320 kota atau kabupaten yang telah mengikuti Kota Layak Anak,” ujar Pelaksana Tugas, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian PPPA, Rini Handayani, Minggu (2/7/2023).
Selain Kota Layak Anak, Kementerian PPPA juga mensosialisasikan Peraturan Presiden No. 18 tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 yang menargetkan pengendalian konsumsi rokok.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, pemerintah terus berupaya menekan jumlah perokok anak di Indonesia. Kampanye pencegahan telah dilakukan disertai dengan perluasan layanan upaya berhenti merokok yang bisa diakses di sejumlah puskesmas maupun melalui telepon bebas pulsa.
Kementerian Kesehatan juga terus mendorong aturan KTR di seluruh daerah. Pemerintah daerah diharapkan tidak hanya memiliki peraturan KTR namun juga memastikan implementasinya berjalan disertai sanksi bagi yang melanggar. Pemerintah juga telah berencana menaikkan cukai rokok pada 2023 dan 2024 agar harga rokok bisa semakin meningkat sehingga tidak terjangkau oleh anak.
“Penanganan rokok ini butuh kerjasama lintas sektor, tidak bisa jika hanya dari Kementerian Kesehatan saja. Semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, kementerian/ lembaga lain, sekolah, kantor, dan keluarga harus bersama-sama mengatasi persoalan rokok,” tutur Maxi.