Kepulan Asap yang Merenggut Napas ”Malaikat-malaikat Kecil”
Sekitar 40 persen anak di dunia terpapar asap rokok yang bisa berbahaya bagi kesehatan. Perlu kebijakan ketat untuk mengendalikan konsumsi rokok agar anak-anak terlindungi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA, Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
Tidak ada tempat yang aman bagi anak dari ancaman paparan asap rokok. Di jalanan, di transportasi publik, di sekitar tempat ibadah, bahkan di taman dan tempat bermain anak, asap rokok tidak terhindarkan. Merokok seakan menjadi hal lumrah, sekalipun di kawasan yang seharusnya ramah anak.
Setidaknya gambaran tidak amannya anak dari asap rokok ditemui di Taman Menteng, Bintaro, Tangerang Selatan. Pada Minggu (2/7/2023), taman tersebut ramai oleh keluarga yang membawa anak-anak. Di salah satu sudut taman terlihat banyak anak yang bermain di wahana yang disediakan.
Namun, pemandangan yang miris tampak dengan adanya seorang bapak yang menggendong anaknya sambil mengisap rokok. Tidak hanya satu atau dua orang, melainkan ada beberapa yang melakukan hal serupa. Ada yang merokok sambil menggandeng anaknya, ada pula bapak yang merokok sambil memangku anaknya.
Jangankan di taman bermain, rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak juga nyatanya tidak bebas dari asap rokok. Bukan tidak tahu bahaya asap rokok yang bisa terhirup oleh anak, sebagian perokok lebih memilih untuk abai.
Tidak sekali Desti Puspita Sari (26), warga Bekasi, Jawa Barat, memperingatkan suami, kakak, dan adiknya untuk tidak merokok di sekitar rumah. Namun, ketika peringatan itu disampaikan, keluarganya yang perokok justru mengabaikan. ”Percuma dibilangin, malah suka jadi ribut akhirnya,” katanya.
Kegeraman yang dirasakan Desti semakin memuncak setelah anak ketiganya meninggal karena pneumonia. Di usia tujuh bulan, putranya, Gibran, meninggal karena pneumonia yang disebabkan oleh paparan asap rokok.
”Sebelum meninggal, anak saya mengalami kejang dan dari hasil rontgen ternyata paru-paru sebelah kanan sudah berwarna putih,” kata Desti. Setelah dirawat sekitar satu bulan, anaknya tidak tertolong. Gibran meninggal pada pertengahan Mei lalu.
Hal yang membuat Desti semakin berkarut, yaitu kebiasaan merokok keluarganya tetap tidak berubah setelah Gibran meninggal, sedangkan masih ada dua anak yang tinggal bersama mereka. Anak pertamanya yang berusia enam tahun dan anak keduanya yang berusia empat tahun sudah sering mengeluhkan sesak napas. Keluarganya juga sudah tahu penyakit yang dialami Gibran akibat paparan asap rokok.
Kisah yang tidak jauh berbeda juga diceritakan oleh Ayuningtyas Diaztira Hasan (31), ibu rumah tangga di Sulawesi Tengah. Putranya, FES yang kini berusia 11 bulan sering mengalami batuk, bahkan sejak usianya masih dua minggu.
Bukan tidak tahu bahaya asap rokok yang bisa terhirup oleh anak, sebagian perokok lebih memilih untuk abai.
Karena batuk yang dialami anaknya semakin parah, Ayuningtyas akhirnya membawa anaknya ke dokter untuk diperiksa. Dari hasil pemeriksaan, anaknya didiagnonis mengalami infeksi saluran napas. Paparan asap rokok diduga menjadi penyebab utama penyakit anaknya. Ayah FES memang perokok aktif.
Sekalipun ayahnya tidak pernah merokok di dalam rumah, paparan asap rokok pada FES bisa terjadi karena ayahnya sering menggendong FES ketika baru datang ke rumah tanpa mengganti baju. Residu yang menempel di baju ataupun tubuh seorang perokok tetap bisa memapar dan berbahaya bagi anak.
Ironisnya, meski sudah tahu FES sering sesak napas dan batuk, ayahnya tetap tidak mengurangi kebiasaan merokoknya. Ayah FES telah terbelenggu candu rokok. Dalam sehari, ia bisa menghabiskan dua bungkus rokok.
”Jika ditotal, sehari uang rokok bisa habis Rp 80.000 (sekitar Rp 2,4 juta per bulan). Itu lebih besar dari kebutuhan anak saya yang hanya Rp 300.000 per bulan,” kata Ayuningtyas. Pada akhirnya, kebutuhan untuk anaknya sering tidak terpenuhi karena besarnya uang rokok untuk ayah FES. Sementara sebagai kuli angkat, pendapatan ayah FES tidak tetap.
Gibran dan FES hanya contoh kecil dari ribuan anak di Indonesia yang menjadi korban paparan asap rokok. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 40 persen anak di dunia terpapar asap rokok sebagai perokok pasif. Di Indonesia, pada 2010 disebutkan ada 43 juta anak terpapar asap rokok dari orang lain dan 11,4 juta di antaranya berusia 0-4 tahun.
Rokok sungguh merenggut masa depan anak-anak. Anak yang terpapar asap rokok lebih rentan mengalami batuk, asma, dan pneumonia. Diketahui ada 165.000 anak di dunia yang meninggal karena penyakit paru akibat paparan asap rokok. Tidak hanya itu, rokok juga turut berkontribusi pada kondisi kurang gizi anak.
Rokok menjadi komponen pengeluaran terbesar kedua di rumah tangga Indonesia setelah beras. Belanja rokok tiga kali lipat lebih besar dibandingkan untuk belanja pangan sumber protein. Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mengungkap, kejadian tengkes (stunting) pada anak dari keluarga perokok 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan perokok.
Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani menyebutkan, fenomena normalisasi merokok terjadi di berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Merokok menjadi hal biasa yang dilakukan di rumah serta di tempat umum. Masyarakat tidak lagi malu merokok di depan umum. Kesadaran akan bahaya merokok pun menurun di masyarakat. ”Perlu upaya yang kuat untuk mendenormalisasi rokok. Kebijakan harus kuat, terutama untuk melindungi anak kita dari bahaya rokok,” tuturnya.
Mengendalikan asap rokok di Indonesia butuh langkah yang sistematis dan menyeluruh. Anak-anak merupakan aset bangsa yang harus dilindungi. Biarlah anak-anak bisa menghirup udara yang sehat yang bebas dari asap rokok.