Menemukan Keseimbangan Baru di Tengah Guncangan Teknologi
Dalam perjalanan sejarah, selalu ada guncangan di setiap penemuan teknologi, tetapi pada akhirnya akan terkoreksi dan menemukan keseimbangan baru.
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi baru kerap memicu guncangan bagi kehidupan manusia. Hal ini tidak bisa dihindari, tetapi harus diikuti dengan menemukan keseimbangan baru untuk meminimalkan dampak buruknya dan meningkatkan kontribusi positif bagi kemanusiaan.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Komaruddin Hidayat mengutarakan hal itu seusai menerima Anugerah Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2023 di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Rabu (28/6/2023).
Anugerah Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2023 juga diberikan kepada Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Prof Elizabeth Kristi Poerwandari. Kegiatan ini dirangkaikan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Ke-58 Harian Kompas.
Menurut Komaruddin, digitalisasi membuat perkembangan teknologi makin pesat. Teknologi tak lagi hanya menggantikan peran manusia secara fisik, tetapi juga inteligensi. Beragam produk kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) mulai banyak digunakan.
Secara individu, manusia bisa takluk oleh kemajuan teknologi. Sebab, berbagai produk teknologi kian canggih yang bisa mengerjakan pekerjaan manusia. Namun, secara kolektif, manusia mampu mengendalikan teknologi. Kekolektifan itu akan menghasilkan keteraturan dan mengoreksi penyimpangan pemanfaatan teknologi.
”Saya berpandangan optimistis terhadap semua temuan teknologi baru. Bahwa akan ada ombak dan guncangan, itu pasti. Namun, pada akhirnya, akan menemukan keseimbangan baru lagi,” ujar Komaruddin.
Komaruddin menuturkan, dalam spiritualitas, manusia disebut sebagai Imago Dei atau bayang-bayang Tuhan. Hal ini membuat manusia dengan kemampuan spiritualitasnya mencakup lebih luas dari semesta.
Sementara teknologi, termasuk AI, hanya bagian kecil dari realitas. Oleh karena itu, tidak perlu ada yang ditakutkan dari kemunculan kecerdasan buatan tersebut.
Baca juga : Beradaptasi dan Berkolaborasi Menghadapi Kemajuan Teknologi
”Teknologi tidak bisa mewakili semua kemampuan manusia, termasuk oleh AI. Dalam perjalanan sejarah, selalu ada guncangan dalam setiap penemuan. Namun, pada akhirnya akan terkoreksi,” katanya.
Akan tetapi, manusia perlu beradaptasi memanfaatkan perkembangan teknologi. Generasi penerus bangsa harus sigap di tengah kencangnya kemajuan teknologi, salah satunya dengan munculnya produk kecerdasan buatan yang semakin canggih.
Komaruddin mengibaratkan transformasi teknologi sebagai revolusi senyap. Meskipun dampaknya luar biasa dalam berbagai bidang, tetapi tidak banyak yang membicarakan dan membahasnya.
Oleh karena itu, dia mengapresiasi Kompas yang mengajak cendekiawan, intelektual, dan praktisi mendiskusikan hal itu. Harian Kompas edisi 28 Juni 2023 memuat liputan mengenai kecerdasan buatan serta tulisan dari sejumlah rektor terkait topik tersebut.
”Kompas sebagai muazin yang memberikan peringatan dan formulasi problem. Ini peran sangat mulia yang tidak diperankan lembaga lain. Kompas memfasilitasi para intelektual untuk sadar bahwa sekarang terjadi loncatan peradaban, salah satunya dipicu teknologi mutakhir,” jelasnya.
Sementara Prof Elizabeth Kristi Poerwandari mengatakan, internet dan AI sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Kontribusinya dalam berbagai hal tidak terbantahkan.
Namun, hal ini juga menimbulkan kecemasan, termasuk dalam psikologis. Ia mencontohkan, di era sekarang tidak jarang mahasiswa rutin datang ke psikiater dan psikolog karena mengalami gangguan psikologis.
Kemajuan teknologi mengubah banyak hal. Banyak aspek yang dulu dikerjakan secara langsung telah digantikan oleh internet. Saat ini, banyak generasi muda lebih sering berinteraksi di dunia maya dibandingkan dunia nyata.
Teknologi, termasuk AI, hanya bagian kecil dari realitas. Oleh karena itu, tidak perlu ada yang ditakutkan dari kemunculan kecerdasan buatan tersebut.
”Teknologi tidak bisa dicegah. Namun, kita bisa memastikan agar dampak negatifnya minimal dan memaksimalkan dampak baiknya,” kata Kristi.
Oleh karena itu, sangat penting memastikan kebutuhan psikologis dasar manusia terpenuhi. Hal ini tidak hanya untuk menekan risiko persoalan kesehatan mental, tetapi turut menguatkan kepedulian sosial dan empati.
”Banyak sekali sisi alamiah kita yang sudah hilang akibat teknologi. Itu harus dikembalikan. Manusia perlu hidup seimbang,” ujarnya.
Dalam pekerjaan dan pendidikan, misalnya, manusia terbiasa berkompetisi. Padahal, kompetisi juga memiliki sisi yang harus diwaspadai, seperti tekanan mental. ”Persoalan psikologis bukan lagi sesuatu yang hanya dilihat secara individual. Perlu masuk dalam kebijakan sistemik, misalnya dalam perusahaan,” ucapnya.
Kristi menambahkan, berdasarkan penelitian neuropsikologi, anak yang terpapar gawai akan memengaruhi konstelasi neurologisnya. Apalagi saat ini gawai tidak cuma untuk keperluan bermain, tetapi juga belajar sehingga penggunaannya makin intens.
”Jadi, sangat penting mendalami psikologi sebagai ilmu serta memanfaatkannya untuk membuat modul-modul penguatan dan ketangguhan kesehatan mental,” jelasnya.
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, sejak tahun 2008 Kompas konsisten memberikan Anugerah Cendekiawan Berdedikasi. Hal ini merupakan keinginan pendiri Kompas, Jakob Oetama (1931-2020), untuk memberikan penghargaan kepada cendekiawan yang bekerja dalam sunyi dan sepi.
Baca juga : Mempertahankan Sisi Alamiah Manusia dari Gempuran Teknologi
”Terus berkarya kepada cendekiawan berdedikasi untuk terus bersuara. Mudah-mudahan muncul muazin-muazin baru setelah wafatnya Mochtar Pabottingi, Prof Azyumardi Azra, dan Ahmad Syafii Maarif. Mereka adalah muazin bangsa yang selalu berseru tentang nasib bangsa,” jelasnya.
Jurnalisme mencerahkan
Dalam syukuran HUT Ke-58 Kompas, pemotongan tumpeng dilakukan oleh Pemimpin Umum Kompas Lilik Oetama. Potongan tumpeng kemudian diberikan kepada perwakilan karyawan Kompas. Menteri Sosial Tri Rismaharini turut hadir dalam syukuran ini.
Tri Rismaharini mengatakan, jurnalisme Kompas tidak sekadar berita, tetapi memberikan pencerahan sekaligus panduan. ”Ini yang diperlukan supaya kita tidak selalu berpikir instan. Dalam Kompas selalu ada narasi yang dikembangkan dan bisa menjadi panduan kehidupan,” katanya.
Menurut dia, untuk mendudukkan suatu persoalan, masyarakat memerlukan informasi yang tidak sepotong-sepotong. Hal ini sering kali luput dalam arus informasi di era digital karena hanya mementingkan kecepatan.
Tri Rismaharini mengaku pemberitaan Kompas membantunya dalam memotret persoalan di lapangan dan menjadikannya sebagai pertimbangan mengambil kebijakan.
”Tahun 2018 Kompas menulis tentang gizi buruk di Papua. Saya langsung mengirimkan bantuan ke sana. Itu (pemberitaan Kompas) saya gunakan untuk mengambil kebijakan, bahkan hingga sekarang,” ujarnya.
Dalam syukuran itu dilakukan peluncuran logo baru Kompas. Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, warna biru pada logo itu menyimbolkan kredibilitas dan selalu adaptif terhadap perkembangan teknologi. Sementara warna emas mencerminkan langkah menyongsong Indonesia Emas 2045.
”Hal ini sebagai spirit berkomitmen membuat jurnalisme mencerahkan. Komitmen profesional yang tidak cuma menyajikan informasi dan pengetahuan, tetapi juga pemahaman atau wisdom sehingga semua orang bisa mengambil keputusan,” ungkapnya.