Tersohor sebagai pujangga, Sapardi Djoko Damono (1940-2020) tak cuma berkarya lewat sajak indah dan esai memesona. Selebaran kritis ‘Tirani Demokrasi’ merekam keresahan penyair "Hujan Bulan Juni" itu “mendemo” demokrasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
"Tirani Demokrasi" mungkin menjadi salah satu warisan Sapardi yang paling tidak dikenal. Pamornya kalah mentereng ketimbang puisi-puisi monumental, seperti "Aku Ingin", "Hujan Bulan Juni", dan "Yang Fana Adalah Waktu".
Akan tetapi, selebaran yang diterbitkan berupa buku pada 2014 itu seperti memutar memori panjang Sapardi tentang demokrasi. Bahkan, keresahan itu telah ia rasakan ketika remaja saat pemilihan umum (pemilu) pertama kali digelar di Indonesia pada 1955.
Ia menganggap demokrasi sebagai entitas mandiri yang membuat ketentramannya sebagai remaja berusia 15 tahun terganggu. Ribut-ribut politik melalui berbagai medium berlangsung tanpa kesungkanan.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia Prof Zeffry Alkatiri mengatakan, buku tersebut menguraikan keresahan Sapardi terhadap demokrasi. “Keresahan itu memicu kritik dan gugatan. Mulai dari apa yang dirasakannya sejak masa kecil saat tidak tahu apa-apa tentang demokrasi, mendalaminya, hingga mempertanyakan kepantasan demokrasi itu dijalankan,” ujarnya dalam bedah buku ‘Tirani Demokrasi’ di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Selasa (27/6/2023).
Bedah buku ini merupakan rangkaian Dies Natalis ke-53 IKJ dan peringatan 1.000 hari kepergian Sapardi yang berpulang pada 19 Juli 2020. Acara ini turut dihadiri istri Sapardi, Sonya Sondakh.
Zeffry menyebutkan, dalam buku itu, Sapardi salah satunya mempertanyakan penerapan sistem pemilu terbuka di Tanah Air. Ia tak menghakimi kebijakan itu, tetapi mempertanyakannya dengan mengajukan sejumlah fakta sebagai dampak dari sistem pemilu tersebut.
“Eksesnya yang dirasakan sekarang. Sebelumnya relatif adem-adem saja. Itu kan persekutuan koalisi di parlemen dan sekarang dilempar keluar (publik). Akhirnya menjadi kegaduhan dan keributan. Apakah demokrasi seperti itu yang diinginkan?” katanya.
Catatan kritis terhadap demokrasi bukanlah anomali dalam sosok Sapardi. Hal itu justru memperteguh cara pandangnya yang mendalam saat mengamati suatu gejala atau fenomena di sekitarnya.
Zeffry menduga, ada berbagai pertimbangan yang membuat Sapardi tak mengekspresikan keresahannya itu dalam sajak atau esai. Salah satunya adalah kelugasan bahasa agar langsung mengenai sasaran kritik.
“Mungkin itu (selebaran) yang lebih tepat untuk menjelaskan ketimbang sajak. Ini kan semacam kritik langsung dan terang-terangan,” ucapnya.
Menurut Zeffry, gugatan Sapardi masih relevan hingga sekarang. Pertanyaannya tentang kepantasan demokrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia akan terus bergulir.
Sebab, demokrasi prosedural masih melahirkan banyak persoalan. Konsep demokrasi sejatinya memisahkan kekuasaan sehingga tidak ada pemegang kekuasaan absolut. Secara normatif, kekuasaan itu dipisahkan dalam lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam selebaran itu, Sapardi memperbincangkan demokrasi dalam perspektif rakyat. Ia seperti menanggalkan jubah akademiknya sebagai guru besar sastra dan lebih nyaman dengan mengatasnamakan orang biasa.
Pers kemudian diusung menjadi pilar keempat demokrasi. Namun, dalam perkembangannya, pers justru terbelenggu dalam bentuk kekuasaan lain, yaitu kepemilikan media.
“Pada masa tuanya Sapardi ingin memberikan pandangan menggeledah praktik demokrasi yang dibawa dari luar dan dipraktikkan di dalam negeri,” jelasnya.
Dalam menguraikan persoalan, Sapardi tidak langsung menyampaikan jawabannya. Ia justru mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk berefleksi terhadap perjalanan demokrasi di negeri ini.
Bahkan, tiga pertanyaan di sampul buku ‘Tirani Demokrasi’ tersebut “memprovokasi” pembaca sebelum menjelajah isinya. Tiga pertanyaan itu adalah, Demokrasi Itu Harga Mati?; Demokrasi Itu Kitab Suci?; Demokrasi itu Religi?.
Krisis
Rektor IKJ 2016-2020 Seno Gumira Ajidarma menyebutkan, pasca reformasi 1998, Sapardi yang telah mengikuti perjalanan demokrasi sejak Pemilu 1955 menganggap situasi negeri sudah mencapai suatu krisis. Hal itu membuatnya merasa harus menulis ‘Tirani Demokrasi’, bukan dalam sajak atau esai, tetapi selebaran. Hal ini menekankan urgensi.
Di masa saat selebaran itu ditulis, demokrasi ibarat sarapan setiap hari. Selain dipamerkan, dijunjung tinggi, diiklankan, dan ditawarkan, tidak jarang terkesan dipaksakan masuk ke dalam kesadaran.
Menurut Seno, dalam bentuk negatif, selebaran membawa misi menghasut. Namun, selebaran Sapardi mengusung nuansa positif untuk menyadarkan.
“Makanya banyak persuasi supaya kita bersetuju dengannya, tetapi tidak sampai memutarbalikkan logika. Itu bedanya selebaran Sapardi dengan selebaran propaganda partai yang terlalu percaya diri,” katanya.
Selebaran itu ibarat pamflet peringatan. Primordialisme, teritorialisme, dan sektarianisme bukan cuma ancaman bagi demokrasi, tetapi bangsa Indonesia.
Naluri menjunjung tinggi primordialisme dan teritorialisme disahihkan dengan berlakunya otonomi daerah. Menguatnya sektarianisme agama melengkapi kompleksitas krisis tersebut.
“Ini bukan krisis politik, tetapi krisis kebudayaan sebagaimana yang diingatkan Sapardi melalui selebarannya,” ujarnya.
Dalam selebaran itu, Sapardi memperbincangkan demokrasi dalam perspektif rakyat. Ia seperti menanggalkan jubah akademiknya sebagai guru besar sastra dan lebih nyaman dengan mengatasnamakan orang biasa.
“Penghayatannya sangat peka. Ia tidak mau terlalu banyak memaparkan argumen akademik, tapi tetap argumentatif,” ucapnya.
Sonya Sondakh menuturkan, belum banyak yang mengetahui buku itu telah diterbitkan sejak 2014. Peredarannya juga tidak terlalu luas.
“Mengapa bisa lolos, selama ini enggak ada yang membicarakannya. Padahal, penulisnya ingin sekali ini dibicarakan. Akhirnya, ketika peringatan 1.000 kepergiannya (Sapardi), buku ini dibicarakan. Saya sangat bahagia,” katanya.
Sebagai penyair, Sapardi tidak terlena dalam permainan kata-kata dan merangkai kalimat indah nan bermakna. Selebaran ‘Tirani Demokrasi’ menunjukkan dia bukan cuma begawan sastra, tetapi juga pemikir yang tak lalai untuk peduli terhadap masa depan bangsanya.