Mempertahankan Sisi Alamiah Manusia dari Gempuran Teknologi
Teknologi ibarat pisau bermata dua, memudahkan tetapi juga bisa menyengsarakan manusia. Di tengah masifnya penggunaan internet, sisi alamiah perlu terus dijaga agar manusia tidak kehilangan kemanusiaannya.
Kehadiran internet secara masif dua dekade terakhir telah mengubah manusia menjadi makhluk yang sangat kompetitif. Manusia dipaksa bersaing tanpa henti dengan manusia lain, bahkan dengan mesin. Tingginya intensitas penggunaan teknologi pun mulai mengikis sisi-sisi alamiah manusia hingga membuat mereka dalam kerentanan terhadap berbagai masalah kesehatan mental.
"Teknologi telah mengubah semua kebutuhan dasar psikologi manusia manusia," kata Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sekaligus peraih penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2023, Elizabeth Kristi Poerwandari di Depok, Rabu (14/6/2023). Kemudahan menemukan informasi dan referensi mendorong manusia terus bekerja, berkarya, dan berinovasi secara kreatif agar tidak tertinggal dengan yang lain atau 'mati'.
Tuntutan untuk terus bersaing dan memenangkan setiap kompetisi, sikap yang banyak diagungkan di dunia kerja atau pendidikan, membuat manusia makin tidak manusiawi. Mereka dipaksa untuk bekerja terus menerus hingga memiliki waktu istirahat dan tidur yang terbatas. Hidup mereka pun menjadi senantiasa diliputi ketegangan, stres, hingga cemas berlebih.
"Kasihan melihatnya," tambahnya.
Baca juga : Manusia dalam Jaringan
Situasi itu, setidaknya diamati Kristi dari lonjakan jumlah mahasiswa yang berkonsultasi di Klinik Satelit Makara UI, lembaga konseling psikologi UI untuk sivitas akademika UI secara percuma. Dibanding generasi sebelumnya, kasus psikologis yang dialami mahasiswa sekarang cukup berat, mulai dari serangan panik (panick attack), menyakiti diri sendiri (self harm), hingga percobaan bunuh diri (suicide attempt).
Besarnya tekanan untuk terus berkompetisi sebagai imbas teknologi justru membuat manusia makin sulit lepas dari teknologi. Mereka makin terkungkung gawai hingga makin sulit menjalin relasi nyata dan mendalam.
Relasi
Pascapandemi Covid-19, banyak anak muda yang selama pandemi akrab dengan teman-teman di dunia maya, tiba-tiba sulit mengobrol saat bertemu langsung. Mereka yang sebelumnya memiliki jaringan pertemanan luas di media sosial, nyatanya tetap kesepian dan sulit menjalin dan mempertahankan pertemanan di dunia nyata.
Manusia membutuhkan koneksi langsung dengan orang lain agar bisa merasakan empati, kepedulian, hingga sentuhan. Kepedulian itu tidak cukup ditunjukkan hanya dengan memencet tombol like, tanda hati atau tanda jempol yang ada di media sosial. Lemahnya empati dalam komunikasi di dunia maya itulah yang membuat orang bisa dengan mudah memaki, merundung, hingga melakukan kejahatan siber terhadap yang lain.
Pola pertemanan dan berjejaring di internet itu membuat kebutuhan dasar psikologis manusia akan relasi menjadi tidak terbangun. "Padahal, seseorang dengan kepribadian introvert pun tetap membutuhkan teman meski tidak sebanyak yang dimiliki orang ekstrovert," ucap Kristi.
Sebagai makhluk sosial, tidak terpenuhinya kebutuhan akan relasi akan membuat manusia mudah merasa kesepian atau melampiaskan kebutuhannya itu dalam bentuk lain, seperti seks bebas (casual sex). Sebagian anak muda menggunakan aplikasi kencan (dating apps) karena kesepian. Saat melihat teman-temannya di aplikasi itu bisa menjalin hubungan seksual tanpa komitmen dan tidak ada dampak apa pun, mereka pun ingin mencobanya. Namun, ketika mereka sudah terjebak dalam perilaku seks berisiko itu, nyatanya justru menambah kesepian yang dialami.
"Situasi ini memberikan tekanan yang lebih kompleks pada perempuan," tambah Kristi yang sejak lama meneliti isu-isu psikologi jender. Tak jarang, pola relasi friends with benefits (FWB) alias teman tapi mesra (TTM) itu justru menimbulkan rasa penyesalan pada perempuan dan ketakutan akan ketahuan dan mengecewakan orangtua mereka.
Laki-laki dan perempuan memang memiliki cara pandang berbeda. Laki-laki lebih mudah melakukan FWB atau seks bebas karena sedari awal sudah memandang hubungan itu hanya "permainan" semata. Namun, perempuan yang meski menyadari hubungan itu tanpa komitmen, umumnya tetap berharap bahwa partner seksualnya itu suatu saat akan berubah, bisa menjadi pasangan yang sesungguhnya, hingga akhirnya menghapus kesepiannya.
Otonomi dan kompetensi
Jika internet membuat manusia sulit memenuhi kebutuhannya akan relasi, teknologi digital ini justru menjadi tempat yang nyaman bagi sebagian orang yang kebutuhan dasar psikologis akan otonomi dan kompetensinya tidak terpenuhi di dunia nyata.
Orangtua Indonesia, menurut Kristi, cenderung kurang memberikan otonomi pada anaknya. Memilih sekolah, jurusan kuliah, bahkan teman bermain pun banyak ditentukan oleh orangtua. Akibatnya, anak muda yang kesulitan memperoleh otonomi itu menjadikan internet, khususnya gim, sebagai pelarian. Di dalam gim itulah mereka bisa menggunakan kapasitasnya secara penuh tanpa gangguan dan gugatan pihak lain.
Permainan gim dengan berbagai tingkat kesulitan itu juga membantu manusia memenuhi kebutuhannya akan kompetensi yang membuatnya merasa mampu menghadapi tantangan dan kesulitan yang dihadapi. Kompetensi itu membuat mereka merasa dihargai dan dihormati sebagai manusia seutuhnya.
Meski kebutuhan akan kompetensi itu bermakna luas, bukan hanya soal nilai, kemampuan, atau gaji, namun banyak anak muda memahami kompetensi itu sebagai cara berkompetisi dan harus menang. Repotnya, kompetisi itu sering kali diarahkan pada kebutuhan manusia yang bersifat dangkal dan dan materialistik.
Padahal, tidak semua orang mampu berkompetisi, memiliki kompetensi untuk berkompetisi, dan mampu memenangkan setiap kompetisi. Akibatnya, mereka akan masuk kembali ke internet, bermain gim lagi, hingga akhirnya menimbulkan ketergantungan pada teknologi. Semakin nyaman mereka di dunia maya, semakin sulit pula bagi mereka mengembangkan kehidupan di dunia nyata.
"Keasyikan anak muda dengan dunia maya dibanding kehidupan yang nyata itulah yang menimbulkan berbagai dampak psikis," tambah Kristi yang merupakan penulis tetap rubrik Psikologi di Harian Kompas.
Karena itulah, Kristi mengingatkan pentingnya manusia untuk terus mempertahankan sisi-sisi alamiah kehidupannya. Semakin teknologi menguasai, semakin jauh pula manusia dari kondisi alami seperti saat mereka baru lahir.
Keasyikan anak muda dengan dunia maya dibanding kehidupan yang nyata itulah yang menimbulkan berbagai dampak psikis.
Manusia harus mampu menyeimbangkan kehidupannya secara daring maupun luring. Istirahat cukup dan tidur malam sesuai jam biologis tubuh, banyak beraktivitas fisik dan menghirup udara segar di alam bebas, serta jangan lupa menjalin interaksi dan komunikasi secara langsung.
Dulu, berkomunikasi langsung dengan orang di dekat kita meski tidak saling kenal, merupakan hal yang alamiah terjadi. Mengobrol dengan orang asing saat duduk berhadapan di kursi kereta api, mengantre dokter, atau menghadiri forum tertentu adalah hal yang lumrah. Kini, momen itu bagi sebagian orang justru menimbulkan suasana canggung hingga mereka memilih sibuk dengan gawainya. Karena itu, keterampilan sosial ini perlu dilatih kembali.
Di tengah situasi masyarakat yang berubah akibat pengaruh teknologi itu, perguruan tinggi, industri, hingga komunitas masyarakat perlu turut hadir menjaga keseimbangan hidup itu. Proses pendidikan atau bekerja tidak bisa semuanya mengandalkan sistem daring. Empati kepada siswa maupun pekerja diperlukan karena tidak semua orang selalu berada dalam kondisi terbaiknya. Kepedulian terhadap sesama itu akan mencegah munculnya individu yang hidup penuh ketegangan dan tidak acuh dengan yang lain.
Proses pengasuhan (parenting) pun perlu penyesuaian. Dukungan dan kepedulian penuh orangtua tetap penting. Kemudahan komunikasi dengan gawai tidak bisa menghilangkan hangatnya sapaan langsung, pelukan, dan perhatian orangtua terhadap anak atau sebaliknya. Pola pengasuhan transaksional yang sering ditemukan pada mahasiswa karena orangtua sudah merasa capai membiayai anak perlu disampaikan secara bijak.
Baca juga : Penggunaan Teknologi Memengaruhi Kesehatan Mental
Lebih jauh dari itu, ilmu psikologi perlu memperbanyak riset tentang dampak teknologi terhadap manusia. Meski teknologi telah membuat manusia masa kini makin pintar secara kognitif, tetapi kematangan otak dan emosinya justru mengalami kemunduran. Di sisi lain, manusia juga merupakan makhluk yang adaptif. Kondisi itu membuat Kristi belum bisa memprediksi pasti bagaimana manusia masa depan sebagai buah dari kemajuan teknologi.
Namun yang pasti, dampak negatif teknologi sudah terlihat. Masalah kesehatan mental menjadi semakin umum dan mudah ditemukan. Dibanding beberapa dekade lalu, intensitasnya pun makin kuat yang tidak cukup diselesaikan dengan mengobrol atau curhat kepada teman atau orangtua. Karena itu, kehadiran dan jangkauan tenaga kesehatan mental profesional perlu terus diperluas.
"Psikologi perlu menyadari serius persoalan ini. Penelitian-penelitian berdampak perlu dilakukan. Demikian pula intervensinya perlu disiapkan psikolog agar manusia memiliki keseimbangan dalam hidup," pungkasnya.
Data diri
Nama: Elizabeth Kristi Poerwandari
Tempat, tanggal lahir: Purwokerto, 2 Juli 1963
Pendidikan:
S1 Psikologi Universitas Indonesia (1988)
Magister Kajian Perempuan dan Gender, Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1993)
Doktor Filsafat, Fakultas Ilmu-ilmu Budaya, Universitas Indonesia (2002)
Karier:
Mendirikan Yayasan Pulih, lembaga psikologi untuk penanganan trauma dan penguatan psikososial (Juli 2002, bersama Livia Iskandar, Ali Aulia, Saparinah Sadli, Irwanto, dan Karina Supelli
Ketua Program Studi Kajian Gender, Program Pascasarjana Universitas Indonesia (2003-2014)
Wakil Ketua Program Pascasarjana untuk urusan Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan (2014-2016)
Ketua Program Studi Doktor, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (2018-2022)
Anggota Dewan Pembina LBH APIK Jakarta (2018-2022)
Mendirikan LBH APIK Jawa Barat (2020, bersama Ratna Batara Munti, Nur Amalia, Asni Damanik, Beauty Irawati, Ii Rahmatin, Dini Anitasari, Ema Mukhamarah)
Co-president Asian Association of Women's Studies (AAWS) (2020-Mei 2023)
Ketua Komite Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (2021-saat ini)
Bidang Minat:
Kesehatan mental, psikologi perempuan, kajian jender, penanganan kekerasan dan trauma, psikologi masyarakat jaringan, penelitian kualitatif
Penghargaan:
The Denmark-Grunewald Award for Feminist Research and Service, Outstanding Contributions to the field of Feminist Psychology 2013 dari The International Council of Psychologists
Frans Seda Foundation Fellows (sejak september 2021)
Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2023