“Kalau kita semua sudah digantikan oleh AI ini, ya tugas kita adalah leyeh-leyeh, menikmati hidup sebagai manusia yang tercukupi semua kebutuhannya.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, MARGARETHA PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
Hampir seabad yang lalu, ekonom John Maynard Keynes telah memprediksi, suatu saat manusia akan dapat menyelesaikan persoalan ekonomi sehingga bisa hidup tanpa harus bekerja demi bertahan hidup. Keynes menulis esai berjudul “Economic Possibilities for our Grandchildren” pada tahun 1930.
“Untuk pertama kalinya sejak penciptaannya, manusia akan dihadapkan pada masalah nyata permanennya—bagaimana ia memanfaatkan kebebasannya dari tekanan persoalan ekonomi yang membelit, bagaimana memanfaatkan waktu luangnya yang telah didapatkan melalui ilmu pengetahuan dan bunga majemuk, yang memungkinkannya hidup dengan baik, bijaksana, dan menyenangkan.” Demikian kutipan esai Keynes.
Dalam esai yang dikumpulkan dalam buku Essays in Persuasion, bapak ekonomi makro ini mencoba memikirkan situasi dunia pada seratus tahun yang akan datang pada saat itu—tidak begitu jauh dari saat ini.
Keynes menyebut bahwa dalam satu abad kemudian dari saat ia menulis esai tersebut, persoalan ekonomi yang terkait upaya manusia bekerja untuk mendapat upah dan bertahan hidup akan telah musnah atau setidaknya telah ditemukan solusinya. Solusi itu, menurutnya, adalah buah dari kemajuan teknologi dan pertumbuhan kapital.
Meski tidak disebut secara eksplisit oleh Keynes, kecerdasan artifisial atau AI (artificial intelligence) bisa jadi adalah salah satu jalan yang diprediksi Keynes akan umat manusia lewati untuk mencapai kehidupan tanpa tekanan ekonomi.
Bahkan ia meramalkan dalam beberapa tahun setelah satu abad prediksinya, sejumlah pekerjaan akan hanya membutuhkan sedikit tenaga manusia. Ramalan Keynes seperti halnya kemampuan yang dapat dilakukan oleh AI saat ini.
“Artinya, dalam jangka waktu panjang, umat manusia akan dapat menyelesaikan persoalan ekonominya. Saya memprediksikan, dalam waktu seratus tahun ke depan, standar hidup di negara-negara maju akan meningkat empat hingga delapan kali lipat dibandingkan saat ini,” tulis Keynes dalam esainya.
Di sejumlah diskusi, AI memang sering dianggap sebagai ancaman. Goldman Sachs memprediksi ada 300 juta pekerjaan manusia dapat digantikan AI, misalnya.
Namun, dengan membaca esai Keynes, pemanfaatan AI yang tepat dan berkeadilan juga mampu memberikan hikmat yang sungguh besar bagi umat manusia. Bebas dari persoalan bertahan hidup. Bebas dari tekanan ekonomi.
Sejumlah pihak, menilai kebebasan ini dapat diraih melalui skema pendapatan dasar universal alias universal basic income (UBI) dan layanan dasar universal atau universal basic services (UBS) yang berbasis dari keuntungan pemanfaatan AI.
Saya memprediksikan, dalam waktu seratus tahun ke depan, standar hidup di negara-negara maju akan meningkat empat hingga delapan kali lipat dibandingkan saat ini.
Penulis filsafat dan pengajar Institut Kesenian Jakarta Martin Suryapraja menilai, masyarakat secara luas berhak atas hasil keuntungan pemanfaatan AI. Hal ini karena, segala karya manusialah yang digunakan untuk membentuk AI. Karena sumber datanya dari manusia, profit yang didapat dari eksploitasi data ini juga perlu mengalir ke masyarakat dalam bentuk universal basic income dan universal basic services.
“AI dibentuk dengan mempelajari data dan karya yang dihasilkan oleh manusia. Jadi konsep universal basic income ini masuk akal. Harusnya kita semua yang menerima, karena kita yang menghasilkan," kata Martin.
UBI adalah sebuah konsep di mana setiap penduduk menerima pendapatan reguler tanpa memandang status pekerjaan, keluarga atau kriteria apa pun. Besaran UBI juga harus pada taraf yang mampu memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari.
Di sisi lain, UBS menggambarkan konsep di mana, layanan publik yang luas dan komprehensif dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, tanpa harus membayar tarif sedikitpun.
Penulis dan jurnalis majalah The Atlantic Annie Lowrey juga sepakat. Bahkan baginya, sebetulnya bukanlah AI yang menjadi ancaman, namun ketiadaan kebijakan yang dapat menyokong pekerja di saat AI benar-benar menimbulkan job loss secara masif.
Skema UBI dinilai menjadi solusi yang tepat untuk kejadian semacam itu. “Pemerintah melalui pajak dapat meredistribusikan uang yang dihasilkan oleh AI kepada warga yang telah menghasilkan data yang digunakan untuk melatih AI,” tulis Lowrey dalam esainya berjudul “Before AI Takes Over, Make Plans to Give Everyone Money” yang diterbitkan pada pertengahan Mei lalu.
Martin juga sepakat bahwa kemunculan sorotan publik yang besar kepada AI perlu juga dibarengi dengan diskusi soal siapa yang harus mendapat keuntungan terhadap perkembangan AI yang pesat.
Teknologi AI menurutnya, memiliki kemungkinan yang besar untuk makin memperlebar kesenjangan ekonomi.
Pelatihan AI membutuhkan sumber daya kapital yang juga besar. Penyediaan dataset untuk pelatihan pun juga membutuhkan sumber daya yang besar. Makin besar dataset pelatihan, model AI akan semakin bagus. Ini hanya akan bisa dilakukan oleh orang yang memiliki modal besar, atau negara kaya.
Keunggulan mereka yang mampu mengeksplorasi AI ini akan sangat jauh dibandingkan negara-negara yang belum mampu. Padahal, menurut Martin, dasar kapabilitas AI adalah dataset yang dijadikan bahan latihan. Dan dataset ini dihasilkan oleh umat manusia.
“Tidaklah fair kalau gap ini semakin lebar dan perspektif AI ini hanya dilihat sebagai temuan jenius-jenius dari Silicon Valley. Kita yang menyuplai dataset ini malah dianggap bukan yang empunya. Harusnya kita semua yang mendapat manfaat,” kata Martin.
Milena Buchs, Professor of Sustainable Welfare University of Leeds Inggris berpendapat bahwa saat ini umat manusia membutuhkan serangkaian kebijakan yang dapat menanggulangi krisis iklim sekaligus membangun masyarakat yang lebih berkeadilan. Menurutnya, penerapan kombinasi UBI dan UBS adalah solusinya.
UBS dapat digunakan untuk memberikan layanan seragam yang dibutuhkan oleh orang banyak sekaligus seperti jaminan kesehatan dan transportasi umum.
Di sisi lain, UBI akan memberikan kepuasan kepada masyarakat untuk mendapatkan barang dan jasa yang terpersonalisasi, tulisnya di laman Inclusive Policy Lab milik Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Penghasilan yang terjamin melalui skema UBI akan memungkinkan masyarakat untuk melakukan aktivitas yang dapat berkontribusi pada kepuasan hidupnya atau pun hidup orang lain. Skema UBS juga dapat memberikan masyarakat jaminan untuk bisa bertahan hidup tanpa harus mengeksploitasi hidupnya untuk mendapatkan upah.
“Kalau kita semua sudah digantikan oleh AI ini, ya tugas kita adalah leyeh-leyeh, menikmati hidup sebagai manusia yang tercukupi semua kebutuhannya,” pungkas Martin dalam tulisannya.