Bank Dunia melaporkan bahwa siswa Indonesia mengalami ”learning loss” di bidang matematika yang setara dengan 11,2 bulan pembelajaran, sementara bahasa 10,8 bulan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia melaporkan bahwa siswa sekolah dasar di Indonesia mengalami learning loss atau kehilangan hasil capaian belajar rata-rata 11 bulan akibat pandemi Covid-19. Artinya, siswa dianggap kehilangan pembelajaran atau tidak belajar apa-apa selama rentang waktu tersebut. Jika dibiarkan, siswa tidak hanya akan kesulitan di sekolah, tetapi juga berpotensi sulit masuk dunia kerja.
Hal ini sesuai dengan asesmen pembelajaran yang dilakukan Bank Dunia terhadap siswa kelas IV SD di Indonesia pada Maret 2019. Asesmen yang sama dilakukan lagi pada Maret 2023, kemudian dianalisis. Hasil asesmen ada di laporan Indonesia Economic Prospect yang diluncurkan di Jakarta, Senin (26/6/2023).
Hasilnya, siswa kehilangan keterampilan matematika yang setara dengan 11,2 bulan pembelajaran dan keterampilan bahasa 10,8 bulan. Penyebabnya, antara lain, penutupan sekolah selama pandemi Covid-19.
Selama pandemi, sekolah di Indonesia tutup selama 644 hari atau 21 bulan sejak ditutup pada Maret 2020. Indonesia termasuk salah satu negara yang sekolahnya tutup paling lama di dunia setelah India (649 hari). Sekolah di Singapura tutup selama 115 hari, Vietnam 321 hari, dan Filipina 532 hari.
”Menurut pola global, satu bulan penutupan sekolah biasanya diasosiasikan dengan satu bulan learning loss,” kata Ekonom Senior Bank Dunia Shinsaku Nomura. ”Meski memiliki masa penutupan sekolah terlama, learning loss (di Indonesia) tidak sebesar tren global,” ujarnya.
Laporan tersebut juga menyebut bahwa siswa dari keluarga miskin mengalami learning loss lebih parah dari siswa umumnya. Mereka kehilangan keterampilan matematika setara 18 bulan pembelajaran dan keterampilan bahasa 27 bulan.
Siswa yang tidak memiliki akses internet juga mengalami hal sama. Mereka kehilangan keterampilan matematika setara 35 bulan pembelajaran dan keterampilan bahasa 57 bulan.
Learning loss membuat siswa tak paham apa yang dipelajari. Kondisi ini bisa berlangsung hingga siswa naik kelas. Siswa bisa saja ada di kelas tinggi, tetapi tak paham materi kelas rendah.
Tak bisa dikembalikan
Learning loss mesti segera diatasi karena kondisi ini tak bisa dikembalikan. Bank Dunia merekomendasikan agar ketertinggalan para siswa segera diatasi. Salah satu caranya adalah dengan mengajari siswa sesuai kompetensinya. Hasil belajar siswa juga mesti dipantau berkala.
Ini penting karena para siswa akan jadi tenaga kerja dalam 10-20 tahun ke depan. Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa learning loss menyebabkan earning loss atau kehilangan pendapatan saat siswa dewasa. Laki-laki berpotensi kehilangan 31 persen pendapatan, sementara perempuan 39 persen.
”Ada kerugian tak kasatmata yang disebabkan pandemi terhadap kompetensi siswa. Ini akan memengaruhi pendapatan mereka di masa depan serta produktivitas ekonomi,” ucap Nomura.
Indonesia mengalami learning loss selama 20 tahun terakhir.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, Indonesia mengalami learning loss selama 20 tahun terakhir. Penyebabnya beragam, antara lain kurikulum yang kaku dan akses pendidikan yang tidak setara. Hal ini makin tampak saat pandemi.
Pemerintah lantas membuat kurikulum darurat untuk menekan learning loss. Kurikulum itu memotong 30-40 persen materi pelajaran agar bisa fokus ke konten inti.
Kini ada pula Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini lebih fleksibel dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, memungkinkan guru mengajar sesuai kompetensi dan minat siswa, serta fokus ke materi esensial. Kurikulum Merdeka lantas diadopsi secara sukarela oleh ribuan satuan pendidikan. Siswa diharapkan bisa mengatasi ketertinggalan dengan ini.
”Yang penting bukan seberapa banyak informasi yang bisa dijejalkan ke otak siswa. Namun, proses belajar untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dan untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat,” ucap Nadiem.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama M Ali Ramdhani mengatakan, pihaknya mengembangkan model pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran ini didesain agar menyenangkan serta sesuai dengan minat, kebutuhan, dan kesiapan siswa.
Edukator dan pendiri Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Najelaa Shihab menambahkan, teknologi digital mesti diintegrasikan dengan pendidikan. Namun, belum semua institusi pendidikan, pengajar, ataupun siswa siap dengan ini. Padahal, teknologi tidak hanya soal konektivitas, tapi juga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
”Teknologi jadi pengalaman traumatik (bagi sebagian orang). Zoom fatigue (kelelahan karena pertemuan daring) itu nyata ke anak kecil dan guru yang ’dipaksa’ melakukannya. Sekarang bagaimana agar ini jadi pengalaman yang lebih baik sesudah pandemi,” ucapnya.