Intervensi Sedini Mungkin Percepat Penurunan Tengkes
Prevalensi tengkes di Indonesia pada 2024 ditargetkan sebesar 14 persen. Penurunan prevalensi ini mesti dilakukan melalui intervensi sedini mungkin.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus mendorong penurunan prevalensi tengkes atau stunting untuk mengejar target 14 persen pada 2024. Pencegahan tersebut lewat intervensi sejak dini pemerintah terhadap keluarga berpotensi tengkes. Dengan demikian, kondisi gagal tumbuh kembang pada anak akibat kurang gizi kronis tersebut bisa semakin ditekan.
Jika merujuk hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, pada 2022 angka tengkes sebesar 21,6 persen, turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 24,4 persen. Angka pada 2022 juga turun cukup jauh dari kondisi tahun 2019, yakni 27,7 persen. Apabila dirata-rata pada kurun 2019-2022, angka tengkesdi Indonesia menurun 2,03 persen per tahun.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai Ketua Pelaksana Program Percepatan Penurunan Stunting terus mengupayakan mencapai target prevalensi tengkes14 persen yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Salah satu upaya yang dilakukan dengan pendampingan pada keluarga berpotensi tengkes.
”Bukan saja yang sudah stunting, tetapi yang perlu dikoreksi dengan baik adalah calon stunting. Sasaran calon stunting tersebut meliputi calon pengantin, ibu hamil, serta ibu pascamelahirkan,” kata Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan, dan Informasi BKKBN Sukaryo Teguh Santoso saat acara peringatan Hari Keluarga Nasional yang digelar secara hibrida, Senin (26/6/2023).
Dia mengungkapkan, dalam upaya intervensi tersebut, satgas percepatan penurunan tengkes memaksimalkan 200.000 tim pendamping di daerah. Tim tersebut akan mendampingi keluarga yang memiliki risiko tengkesatau gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis.
Bagi calon pasangan yang akan berumah tangga, pemerintah mengintervensi dengan memastikan kesehatan sebelum menikah, terutama bagi perempuan. ”Bagi ibu hamil, pendampingan dilakukan dengan menganjurkan melakukan pemeriksaan rutin minimal enam kali sebelum kelahiran,” ucap Sukaryo.
Adapun pascapersalinan, satgas juga memberikan edukasi bagi ibu memberikan ASI eksklusif kepada anaknya. Menurut Sukaryo, pemberian ASI eksklusif bagi ibu di Indonesia masih relatif rendah. Jika merujuk data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan tahun 2021, persentase bayi dengan ASI eksklusif pada 2018 sekitar 68,7 persen. Angka itu lalu menurun pada 2019 (65,8 persen) serta kembali turun pada 2020 (53,9 persen).
Bukan saja yang sudah stunting, tetapi yang perlu dikoreksi dengan baik adalah calon stunting. Sasaran calon stunting ini meliputi calon pengantin, ibu hamil, serta ibu pascamelahirkan.
”Selain itu, pendampingan lainnya, penting untuk mengingatkan keluarga mengatur rentang waktu kelahiran anak,” katanya.
Sukaryo menyebut, upaya pemaksimalan ini terus didorong ke sejumlah daerah dengan tingkat prevalensi yang masih tinggi. Saat ini, ada 12 daerah yang masih menjadi fokus pemerintah berdasarkan SSGI, yakni tujuh daerah dengan prevalensi tinggi serta lima provinsi dengan populasi besar.
Provinsi dengan prevalensi tinggi adalah Nusa Tenggara Timur (37,8 persen), Sulawesi Barat (33,8), Aceh (33,2), Aceh (31,4), Sulawesi Tenggara (30,2), Kalimantan Selatan (30), serta Kalimantan Barat (29,8). Adapun lima provinsi dengan populasi besar adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan Sumatera Utara yang juga memiliki persentase angka tengkes tinggi.
”Upaya seperti yang dilakukan Pemkot Surabaya berhasil (melalui upaya pencegahan sejak dini) bisa menjadi contoh baik daerah lain,” ujar Sukaryo.
Menurut SSGI, prevalensi tengkes di Surabaya terendah dengan 4,8 persen. Pada 2020, di Surabaya tercatat 12.788 kasus anak balita tengkes. Kemudian, jumlahnya turun drastis menjadi 6.722 kasus pada 2022. Sampai akhir 2022, tercatat 923 kasus anak balita tengkes.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengungkapkan, pencegahan dan penanganan tengkesdimulai dari pemantauan dan pencatatan kesehatan calon pengantin, ibu hamil, serta ibu pascakelahiran. Kota Surabaya menerapkan aturan pendampingan pranikah, bekerja sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan, kantor urusan agama (KUA) serta Gereja.
”Jika ingin menikah di Gereja atau KUA, tidak bisa jika tidak ada surat keterangan rekomendasi sehat dari puskesmas. Pendampingan terus dilakukan hingga fase-fase berkeluarga selanjutnya,” kata Eri.
Selain itu, upaya pendampingan kepada keluarga berpotensi melibatkan perguruan tinggi. Pemkot Surabaya meminta perguruan tinggi menjadikan pendampingan keluarga memiliki bobot satuan kredit semester (SKS). ”Upaya intervensi ini untuk mencapai target, Kota Surabaya bebas stunting pada akhir 2023,” ucap Eri.
Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan Dante S Harbuwono mengatakan, regulasi dan modul penurunan tengkessudah ada di setiap daerah. Upaya percepatan penurunan tengkes bukan saja target jangka pendek semata, melainkan juga sebagai ikhtiar untuk menyiapkan generasi menghadapi bonus demografi.
”Jangan sampai pada saat bonus demografi nanti, 2030 atau 2040, kita justru memiliki generasi yang tidak produktif. Makanya, ini perlu kita kejar dari sekarang,” tuturnya.