Kerja sama dan program terpadu menjadikan Surabaya, Jawa Timur, sukses menekan kasus tengkes atau ”stunting” sehingga prevalensi yang 4,8 persen menjadi yang terendah.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO, AGNES SWETTA PANDIA
·5 menit baca
Poskeskel Wonokromo Siaga di Jalan Karangrejo VI, Surabaya, Jawa Timur, ramai dengan kehadiran ibu-ibu yang membawa anak-anak balita, Sabtu (8/4/2023) pagi. Di sini, tim Puskesmas Wonokromo mengukur tinggi badan dan menimbang bobot anak-anak itu. Seusai pencatatan, anak-anak diberi susu cair dalam kemasan kaleng dan mainan.
Ibu-ibu kemudian mengikuti pengarahan program Posyandu Ayuktinting alias AYo UKur dan TINGkatkan pencegahan stunTING. Selain itu, sosialisasi RSU Bhakti Rahayu. Dalam pengarahan, ibu-ibu lebih ”dikenalkan” lagi dengan tengkes atau stunting yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ialah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak adekuat.
Pengarahan bertujuan meningkatkan kesadaran orangtua atau keluarga agar tumbuh kembang anak-anak berlangsung secara ideal terutama terhindar dari situasi tengkes. Ciri paling umum anak tengkes terlihat dari tinggi badan yang kerdil daripada rerata anak-anak seusia. Tengkes juga mengindikasikan keterlambatan pertumbuhan badan secara kronis misalnya dalam pertumbuhan gigi, bobot, dan pubertas. Jika tidak ditangani, masa depan anak-anak yang tengkes suram.
Materi pengarahan sederhana yakni mendorong ibu-ibu memperhatikan asupan atau makanan minuman bagi anak-anak agar selalu bernutrisi, bergizi, bervitamin. Selain itu, menjaga kebersihan lingkungan termasuk menekan konsumsi tak sehat, yakni rokok. Ibu-ibu diharapkan rajin memantau perkembangan fisik anak-anak dan rutin mengikuti kegiatan kesehatan. Jika mendapati masalah sosial, ekonomi, dan kesehatan, ibu-ibu jangan sungkan melapor ke aparatur Pemerintah Kota Surabaya di kelurahan agar mendapat perhatian dan intervensi program.
Situasi serupa juga terjadi di seluruh kelurahan di ibu kota Jatim yang berpopulasi 3 juta jiwa ini. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, merasa amat malu jika masih mendapati banyaknya kasus tengkes di metropolitan yang dipimpinnya sejak 26 Februari 2021. ”Penanganan stunting menjadi superprioritas untuk menyelamatkan masa depan anak-anak,” ujar pemimpin Surabaya penerus pendahulunya, Tri Rismaharini, yang kini menjadi Menteri Sosial.
Untuk itu, Surabaya dianggap berhasil mengentaskan tengkes secara wigati (signifikan). Pada 2020, di Surabaya tercatat 12.788 kasus balita tengkes. Setahun kemudian atau 2021, jumlahnya turun drastis menjadi 6.722 kasus. Sampai akhir 2022, tercatat 923 kasus anak balita tengkes. Di awal 2023, jumlah kasus turun lagi menjadi 889 anak balita tengkes. Menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi tengkes di Surabaya terendah dengan 4,8 persen. Adapun angka prevalensi Indonesia 21,6 persen, sedangkan Jatim 19,2 persen.
Dilihat dari statistik penurunan kasus itu, Eri menjadi berani dan cukup yakin bahwa kasus tengkes dapat diatasi. Bahkan, dicanangkan program zero stunting dapat diwujudkan pada akhir tahun ini. ”Membangun Surabaya dengan hati dan gotong royong. Setiap camat dan lurah harus tahu berapa jumlah warga yang stunting, risiko ibu hamil, anak putus sekolah, atau gizi buruk untuk segera ditangani dengan program terpadu,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Nanik Sukristina menambahkan, keterpaduan dan kerja sama menjadi penting dalam penanganan tengkes di ”Bumi Pahlawan”. Peran akademisi kampus, Kader Surabaya Hebat, bidan, aparatur lainnya, organisasi massa, tokoh masyarakat juga penting dalam keberhasilan penanganan tengkes.
Nanik menguraikan, pencegahan dan penanganan tengkes dimulai dari pemantauan dan pencatatan kesehatan calon pengantin lalu ibu hamil, anak balita, dan anak-anak. Pengawasan bertujuan mencegah perempuan anak berisiko tengkes. Jika diperlukan intervensi terhadap ibu hamil yang berisiko, maka diberikan bantuan yakni susu dan vitamin sehingga bayi yang dilahirkan memiliki panjang dan bobot ideal.
”Bayi yang terlahir dengan panjang dan bobot tidak ideal segera masuk dalam pengawasan,” kata Nanik. Ibu-ibu didorong menjaga pola makan dan memberikan nutrisi kepada bayi untuk menekan potensi tengkes. Jika dalam perkembangan terutama 1.000 hari masa pertumbuhan seorang anak masih tidak ideal, puskesmas melalui kader akan memberikan bantuan permakanan, yakni tiga kali sehari dengan susu untuk anak dan ibu menyusui.
Nanik melanjutkan, perhatian lebih khusus diberikan kepada anak-anak yang tengkes dan berpenyakit bawaan atau komorbid. Di Surabaya, ada 97 anak tengkes dengan komorbid. Perhatian lebih khusus berupa penanganan di fasilitas kesehatan agar penyakit dapat tertangani seiring dengan penanganan tengkesnya.
Penurunan drastis kasus tengkes di Surabaya juga buah positif dari pembentukan tim percepatan penurunan stunting (TPPS). Di dalamnya ada tim pendamping keluarga (TPK) yang bertugas terus mendampingi pasangan calon pengantin hingga proses memiliki momongan. Pasangan terus didampingi dan ”diintervensi” agar yang ingin masuk dalam program kehamilan tidak berisiko melahirkan anak stunting.
Camat Semampir Muhammad Yunus menambahkan, menerapkan program bantingan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk penurunan kasus tengkes. Bantingan dimulai pada Oktober 2022 ketika dirinya menjabat Camat Semampir dengan kenyataan terdapat 77 anak balita tengkes. Jumlah itu dapat diturunkan menjadi 63 anak balita tengkes dan belum ada catatan kasus baru.
”Bantingan ini berupa urunan swadaya aparatur di Semampir setiap bulan untuk kemudian diwujudkan pembelian makanan, susu, vitamin untuk menambah kebutuhan gizi anak balita stunting,” kata Yunus.
Dari program bantingan bisa terkumpul uang setidaknya Rp 4 juta. Selanjutnya, kecamatan berkoordinasi dengan puskesmas untuk menentukan kebutuhan dan sasaran prioritas penerima bantuan tambahan.
Sejak remaja perlu memastikan bebas dari anemia sehingga ketika hamil tidak mengganggu kebutuhan gizi janin.
Secara terpisah, Irwanto, Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Universitas Airlangga, mengatakan, pencegahan tengkes harus dimulai sejak dini. Gangguan gizi kronis bisa terjadi sejak sebelum kehamilan, dalam masa hamil, dan bayi lahir.
Irwanto melanjutkan, perempuan yang akan menjadi ibu perlu berpengetahuan yang cukup dalam kesehatan diri dan anak. Bahkan sejak remaja, perempuan perlu mengatasi potensi gangguan kesehatan, yakni anemia. Gangguan itu harus dapat teratasi terutama ketika mengandung agar janin tetap mendapat gizi yang baik.
”Sejak remaja perlu memastikan bebas dari anemia sehingga ketika hamil tidak mengganggu kebutuhan gizi janin,” ujarnya.
Menurut Irwanto, ibu yang telah melahirkan harus tetap telaten untuk memberikan asupan yang tepat. Bayi sampai usia 6 bulan perlu mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif. Makanan dan minuman bergizi dan bervitamin harus diberikan tepat waktu, terjadwal, dan dengan cara yang tepat untuk menjamin tumbuh kembang anak secara ideal. Anak balita juga perlu dibiasakan mengonsumsi sayur dan buah yang kaya mikronutrien untuk pertumbuhan dan perkembangan.