Calon Pemimpin Indonesia Perlu Prioritaskan Mengatasi Krisis Iklim
Isu perubahan iklim belum menjadi topik utama di Tanah Air. Untuk itu, calon pemimpin Indonesia perlu memprioritaskan isu perubahan iklim untuk mempercepat target emisi nol bersih.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi pemimpin negara sangat diperlukan menuju Indonesia bebas emisi. Karena itu, menjelang pemilu tahun 2024, calon pemimpin Indonesia ataupun daerah harus berkomitmen mengatasi isu perubahan iklim agar Indonesia dapat mewujudkan emisi nol bersih pada 2050.
Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) mendorong pemerintah untuk mewujudkan target emisi nol bersih 10 tahun lebih cepat, yaitu dari tahun 2060 menjadi 2050. Apalagi, negara-negara lain juga menargetkan emisi nol bersih terwujud pada tahun 2050.
Menurut Pendiri dan Ketua FPCI Dino Patti Djalal, isu perubahan iklim kerap menjadi wacana yang terpinggirkan dalam diskusi antara para calon presiden. Padahal, isu dampak perubahan iklim merupakan wacana mendesak yang mestinya menjadi topik utama di Tanah Air.
”Kita hidup di Indonesia dengan suhu 3-4 derajat celsius lebih panas,” kata Dino pada media briefing menuju acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2023, Rabu (21/6/2023), di Menteng, Jakarta Pusat. FIPC akan menyelenggarakan INZS 2023 pada Sabtu (24/6/2023) di Jakarta Theatre XXI.
”Jika komitmen mempercepat emisi nol bersih tak segera dilakukan, peningkatan suhu akan berdampak pada semua sektor, baik industrialisasi, pertanian, maupun kesehatan,” tuturnya. Sebagai negara maritim, kenaikan suhu global 2 derajat celsius akan berdampak negatif pada ekosistem biota laut, termasuk habitat terumbu karang.
Dino menambahkan, negara lain, seperti Korea Selatan dan Denmark, saat ini mengembangkan industri energi baru terbarukan (EBT) guna mencapai target emisi nol bersih pada 2050. Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar asalkan ada komitmen serius dari pemerintah.
Namun, kebijakan Pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim masih kurang dibandingkan negara-negara lain yang telah melibatkan climate goals dalam aturan hukum. Untuk bisa menjaga kenaikan suhu global di 1,5 derajat celsius, target nol emisi bersih Indonesia harus dicapai pada tahun 2050, bukan 2060.
Jika komitmen mempercepat emisi nol bersih tak segera dilakukan, peningkatan suhu akan berdampak pada semua sektor, baik industrialisasi, pertanian, maupun kesehatan.
”Pengurangan kecil tidak akan membawa kita ke pencapaian yang kita inginkan, yakni batas 1,5 derajat untuk kenaikan suhu global,” tutur Dino.
Pihaknya pun berkomitmen untuk turut serta mengamati perkembangan isu iklim di Indonesia. Hal itu dilakukan, antara lain, dengan mengadvokasi aksi perjuangan iklim lebih nyata melalui berbagai program dan inisiatif, serta berkontribusi untuk tujuan bersama agar Indonesia mampu mencapai target netralitas karbon.
Direktur Unit Iklim Esther Tamara menambahkan, bila mengacu sains, ada jatah emisi karbon yang membatasi kenaikan suhu maksimum 1,5 derajat celsius. Jatah emisi karbon tersebut akan habis tahun 2030 atau bahkan sebelum tahun 2030.
Menurut Esther, jika jatah itu terlampaui karena emisi terus keluar, bisa berdampak buruk pada aspek lingkungan, kesehatan, sosial, hingga ekonomi. Oleh karena itu, calon pemimpin harus punya visi dan misi jelas terhadap perubahan iklim.
Sementara Manajer Komunikasi Digital Greenpeace Indonesia Afif Saputra menilai, aksi individu penting untuk menekan emisi. Namun, itu hal itu tidak cukup untuk mengatasi situasi krisis iklim saat ini. Jadi, perlu perubahan skala besar yang harus dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan yang dibuat.
Pemerintah dalam upaya nyata juga harus melindungi kerusakan lingkungan. Sebab, Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan energi bersih dan terbarukan, seperti tenaga surya, angin, ataupun air, sebagai energi pengganti berbahan fosil, seperti batu bara.
Puteri Indonesia 2022 Laksmi Shari De-Neefe Suardana menuturkan, momen INZS 2023 merupakan wadah tepat untuk mencari solusi iklim. Isu perubahan iklim sudah lama terjadi. Sebagai masyarakat yang turut merasakan dampaknya, ia harus turut mengakselerasi masalah tersebut.
”Perubahan iklim bisa memengaruhi banyak hal. Kesadaran dan kontribusi generasi muda dapat pula menjadi faktor penentu keberhasilan dalam pengendalian perubahan iklim,” ucap Laksmi.