Kebijakan Energi Bersih Indonesia Mesti Lebih Berani
Upaya Indonesia mengurangi emisi karbon sebagai bentuk kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) pada Perjanjian Paris dinilai belum cukup. Emisi justru terus meningkat sehingga kebijakan mesti lebih berani.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia tengah berupaya mencapai emisi nol karbon pada tahun 2050 melalui sektor energi demi mencegah dampak buruk perubahan iklim. Terkait itu, Indonesia dinilai membutuhkan kebijakan yang lebih berani agar selaras dengan cita-cita tersebut, khususnya dalam transisi energi.
Agen Energi Internasional (International Energy Agency /IEA) dalam laporan berjudul Net Zero by 2050-A Roadmap for the Global Energy Sector yang dipublikasikan pada pertengahan Mei 2021 menyebutkan, sektor energi memiliki andil sekitar 75 persen terhadap emisi gas rumah kaca sekaligus berperan krusial dalam mencegah efek terburuk perubahan iklim.
Dalam strategi emisi nol karbon (net zero emissions) pada laporan tersebut, pada 2030 perekonomian dunia 40 persen lebih besar dibandingkan dengan saat ini. Namun, energi yang digunakan 7 persen lebih sedikit. Dorongan dunia untuk meningkatkan efisiensi energi menjadi kontributor kunci dalam pencapaian tersebut.
Sepanjang 2020-2050, IEA merekomendasikan sejumlah strategi untuk mencapai emisi nol karbon pada 2050 bagi pemangku kebijakan. Pada 2030, dalam sektor energi, terdapat tambahan 1.020 gigawatt (GW) per tahun dari energi angin dan matahari di tingkat global. Di sektor transportasi, proporsi penjualan kendaraan listrik dunia mencapai 60 persen.
Implementasi strategi itu membutuhkan investasi. Laporan yang sama memperkirakan, investasi total di skala dunia untuk energi baru terbarukan dalam sektor kelistrikan mencapai 1,3 triliun dollar AS per tahun pada 2030. Investasi untuk infrastruktur energi bersih, seperti jaringan listrik atau stasiun pengisian kendaraan listrik umum, dapat mencapai 880 miliar dollar AS per tahun. Penanaman modal untuk teknologi rendah karbon di tingkat pemakaian akhir (end-use), seperti industri, mencapai 1,7 triliun dollar AS per tahun.
Menanggapi laporan IEA itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, menyatakan, DEN tengah mengevaluasi langkah-langkah yang hendak ditempuh Indonesia untuk mencapai situasi karbon netral. ”Ini (evaluasi) bertujuan untuk menyempurnakan Rencana Umum Energi Nasional. Indonesia tengah fokus mengurangi intensitas (emisi) karbon,” katanya, saat dihubungi, Minggu (30/5/2021).
Akan tetapi, Koordinator Penelitian Spesialis Energi Terbarukan & Sistem Ketenagalistrikan Institute for Essential Services Reform (IESR) Pamela Simamora menilai, upaya Indonesia belum cukup dalam pengurangan emisi karbon sebagai bentuk kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) pada Perjanjian Paris. Berdasarkan penelitian, emisi Indonesia terus meningkat dan diperkirakan dapat mencapai 1 miliar ton karbon dioksida jika tidak ada perubahan kebijakan.
Oleh sebab itu, dia berpendapat, periode 2020-2030 menjadi dekade penting untuk proses dekarbonisasi Indonesia. ”Indonesia mesti lebih berani pada satu dekade ini, salah satunya dalam transformasi energi,” katanya saat peluncuran laporan berjudul Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System: A Pathway to Zero Emissions yang merupakan hasil kolaborasi IESR, Agora Energiewende, dan LUT University, Jumat.
Laporan itu menyarankan, Indonesia mesti meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan menjadi 140 GW pada tahun 2030 dengan 108 GW di antaranya berasal dari pembangkit listrik tenaga surya. Penjualan kendaraan listrik di Indonesia harus mencapai 100 juta unit, mayoritas berupa sepeda motor listrik.
Guna mewujudkan upaya-upaya tersebut, Indonesia membutuhkan investasi total 235 miliar dollar AS selama 10 tahun hingga 2030. Pamela mencontohkan, belanja modal selama 10 tahun untuk sel surya berkisar 45,6 miliar dollar AS.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, LN Puspa Dewi menyebutkan, PLTS bukan satu-satunya energi terbarukan yang dapat diandalkan, tetapi ada juga energi air dan geotermal. Selain itu, pemanfaatan energi di skala rumah tangga juga patut menjadi perhatian dalam pemodelan untuk mencapai karbon nol bersih.
Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan, gagasan dalam laporan kolaboratif IESR tersebut sejalan dengan rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang mendukung pemanfaatan energi hijau. Dia optimistis biaya energi baru terbarukan akan semakin rendah karena adanya inovasi.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menyoroti kebutuhan biaya yang besar dalam pemanfaatan energi baru terbarukan. Menurut dia, Indonesia membutuhkan upaya penggalangan dana khusus untuk energi baru terbarukan.
Asisten Deputi Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Ridha Yasser menyebutkan, sejumlah investor besar saat ini meminta pembangkit listrik dengan energi hijau. Permintaan ini dapat dimanfaatkan PLN untuk menguatkan sistem kelistrikannya.
Di sisi lain, dia menggarisbawahi, target Indonesia adalah mencapai karbon nol bersih (net-zero), bukan nol emisi (zero emission). ”Kami sadar, phasing out batubara (dalam transisi energi) itu dibutuhkan. Namun, selama net-zero tercapai, kenapa kita harus membuat investasi yang belum kembali dan berani menyebabkan aset telantar dari pembangkit yang umurnya belum selesai? Phasing out ini jangan sampai merugikan negara,” tuturnya.
Terkait dengan upaya pengurangan emisi, dia juga menyoroti, sistem komprehensif yang memuat informasi publik tentang kredit karbon yang terpantau akurat dan basis datanya dikelola dengan baik. Dia menilai sulit mengklaim jumlah emisi karbon yang harus dikurangi Indonesia selama sistem tersebut belum ada.