Penyakit terkait bedah saraf anak di Indonesia belum banyak dikenal oleh tenaga kesehatan di fasilitas layanan kesehatan terdepan. Pengenalan bedah saraf anak akan meningkatkan kualitas layanan kepada pasien.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengenalan penyakit terkait dengan bedah saraf anak perlu diperkuat, mulai dari garis depan layanan kesehatan. Dokter umum, dokter anak, dokter bedah, dokter radiologi, dan dokter spesialis lainnya perlu memahami bedah saraf anak guna meningkatkan kualitas layanan kesehatan pada anak.
Saat ini, di Indonesia, baru ada 21 konsultan subspesialis bedah saraf anak dan 9 fellow dari sekitar 450 dokter bedah saraf. Pendidikan subspesialis bedah saraf akan terus dikembangkan sehingga dapat menghasilkan lebih banyak lagi tenaga subspesialis dari dalam negeri.
”Kerja sama bedah saraf anak di lapangan dengan mitra lain, seperti dokter anak, dokter rehab medik, dokter bedah, dokter saraf, dan profesi lain yang erat kaitannya dengan bedah saraf anak, akan lebih sinergis,” kata Ketua Komite Neuropediatrik Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia (Perspebsi) Mirna Sobana yang juga dosen di FK Universitas Padjadjaran, Minggu (18/6/2023).
Komite Neuropediatrik Perspebsi menggelar International Society for Pediatric Neurosurgery (ISPN) Educational Course 2023 pada Jumat hingga Minggu (18/6/2023) di Rumah Sakit Yarsi dan Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi di Jakarta. ISPN Educational Course 2023 yang merupakan keempat kalinya digelar Indonesia ini dihadiri delapan pembicara dari Brasil, Amerika Serikat, Singapura, India, Israel, Italia, Australia, dan Filipina.
Rangkaian acara dimulai dengan kuliah dan intraventricular workshop di RS Yarsi Jakarta yang diikuti 25 dokter bedah saraf, 4 pemantau (observer), 5 instruktur lokal, dan 5 instruktur international. Adapun kegiatan simposium digelar pada 17- 18 Juni, diikuti oleh 100 orang peserta yang terdiri dari 40 dokter bedah saraf, 35 dokter umum, 6 mahasiswa kedokteran, 10 dokter spesialis lain, serta 4 perawat.
“Ini adalah educational course yang berbeda dengan educational course yang pernah ada karena terdapat kegiatan workshop. Patut disyukuri karena bedah saraf muda di Indonesia dapat mengikuti kegiatan workshop dasar ini tanpa harus pergi ke luar negeri dan tentunya dengan instruktur kelas dunia. Workshop ini menggunakan dry workshop dengan simulator bayi yang khusus didatangkan dari Brazil yang secara anatomis mirip dengan keadaan sebenarnya,” jelas Astri Avianti, Koordinator Kursus ISPN Educational Course 2023 Jakarta.
Mirna mengatakan, Indonesia memiliki populasi anak-anak (di bawah usia 18 tahun) cukup banyak. Di Jawa Barat, misalnya, dari 43 juta penduduk, sekitar 15 juta di antaranya adalah anak-anak.
”Kasus bedah saraf anak belum dikenal. Kita belum tahu jumlahnya karena data belum terkumpul dengan baik. Ada yang datang sudah dengan kelainan, seperti ginjal, retardasi mental, hingga gagal tumbuh kembang. Jadi, kami ingin mengenalkan pada layanan pertama anak, seperti dokter umum atau dokter anak agar kenal dengan kasus-kasus yang butuh bedah saraf anak. Jadi, ini tidak hanya untuk dokter bedah anak,” tutur Mirna.
Apabila lini pertama pelayanan kesehatan anak memahami dan mengenali bedah saraf anak, pasien diharapkan bisa ditangani dengan cepat dan tepat. Sebab, jika terlambat ditangani, dampaknya dapat mengancam fungsi tumbuh kembang. Bahkan, dapat mengancam saraf dan otak yang berakibat terancam kematian.
”Ada pusat pendidikan FK yang tidak ada bedah saraf, apalagi bedah saraf anak. Kalaupun ada bedah saraf anak, dokternya kurang kasus. Yang penting pengenalan, lalu untuk ilmu lanjutan bagi dokter bedah saraf bagaimana mengenali dengan baik dan menata laksana secara cepat dan tepat,” kata Mirna.
Saat ini, kasus terkait bedah saraf anak yang cukup menonjol adalah spina bifida atau kelainan pada tulang belakang/benjolan di bokong. Tidak semua ahli bedah mengaitkannya dengan bedah saraf anak. Ada yang menganggap sebagai benjolan saja, lalu dioperasi. Padahal, lokasi itu mengandung saraf dan selaput selubung otak sehingga memotongnya tidak sesuai. ”Kalau sudah tahu, ini tidak bisa sembarangan dipotong karena bisa lumpuh,” jelas Mirna.
Jadi, kami ingin mengenalkan pada layanan pertama anak, seperti dokter umum atau dokter anak agar kenal dengan kasus-kasus yang butuh bedah saraf anak.
Gangguan kesehatan pada anak seperti cerebal palsy, hidrosefalus, epilepsi, trauma karena kecelakaan, hingga spina bifida bisa terkait dengan masalah saraf. Jika kasus-kasus seperti itu ditangani dengan tepat, pembiayaan kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga bisa efisien. Materi terkait trauma, hidrosefalus, tumor, epilepsi, dan spina bifida dibahas dalam workshop bedah saraf anak.
”Tindakan untuk mencegah bedah saraf anak tidak hanya sejak lahir, tetapi dalam kandungan. Tadinya berharap dari Kementerian Kesehatan bisa hadir di acara ini. Sebab, ada kampanye global untuk mencegah spina bifida dengan pemberian asam folat. Jadi, spina bifida karena kekurangan asam folat dengan fortifikasi asam folat dalam tepung,” kata Mirna.
Mirna menambahkan, kasus terkait bedah saraf anak terjadi karena bawaan atau peristiwa. Kasus hidrosefalus, misalnya, terjadi karena bawaan dari lahir atau infeksi. Sementara kasus trauma pada anak seperti anak jatuh juga sering terjadi. ”Kalau anak jatuh, jangan langsung dianggap tidak ada masalah. Dokter layanan utama seperti dokter umum atau dokter UGD bisa memberikan arahan untuk penanganan selama 24 jam dan pulang dengan apa yang harus dilakukan dan diperhatikan. Jadi, ini pekerjaan tim,” katanya.
Melalui kursus bedah saraf anak, dokter bedah saraf mengenalkan penggunaan endoskopi pada kasus bedah saraf anak. Hal ini dapat dimaksimalkan untuk mengatasi bayi hidrosefalus. Harus dipastikan juga apakah ada infeksi atau tidak untuk menghindari kontraindikasi.