Peran Esensial Komunitas dalam Pelestarian Warisan Budaya Belum Dioptimalkan
Komunitas peduli cagar budaya berperan penting dalam melestarikan warisan budaya bangsa. Sayangnya, peran mereka belum terlalu dioptimalkan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai komunitas peduli warisan budaya, baik benda maupun tak benda, muncul di sejumlah daerah dalam beberapa tahun terakhir. Kehadiran komunitas ini perlu dioptimalkan karena berperan esensial dalam melestarikan warisan budaya Indonesia.
Peran komunitas semakin dibutuhkan di tengah terbatasnya sumber daya manusia di lembaga pemerintah. Sebagai gambaran, belum semua provinsi dan kabupaten/kota mempunyai tim ahli cagar budaya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid mengungkapkan, peran komunitas penting dalam pelestarian warisan budaya. Bahkan, tak jarang ia menerima laporan perusakan cagar budaya dari komunitas-komunitas di daerah.
Peran komunitas seharusnya juga dimaksimalkan sebagai garda terdepan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Kita belum benar-benar memanfaatkan itu, masih berjalan sendiri-sendiri.
”Bagaimanapun, staf di kementerian terbatas. Peran dan kerja sama dengan komunitas sangat esensial. Mereka betul-betul seperti mata dan telinga dari upaya pelestarian warisan budaya,” ujarnya dalam peringatan ke-110 Hari Purbakala di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Komunitas tersebut tidak hanya diikuti para arkeolog, tetapi juga masyarakat dari beragam latar belakang. Bahkan, sejumlah anak muda juga tidak ketinggalan memberikan perhatian khusus terhadap kondisi cagar budaya dan warisan budaya lainnya.
Oleh sebab itu, Hilmar mendorong tim cagar budaya di daerah bekerja sama dengan komunitas-komunitas lokal. Ia pun berharap pada November mendatang digelar pertemuan secara nasional antara ahli arkeologi serta organisasi profesi dengan komunitas pemerhati dan peduli arkeologi di Tanah Air.
”Senang melihat energi yang sedang tumbuh di masyarakat. Tentu sangat berharap adanya kolaborasi dalam melestarikan warisan budaya kita,” katanya.
Ketua Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia Marsis Sutopo menuturkan, saat ini sudah banyak komunitas yang peduli terhadap cagar budaya. Menurut dia, kemunculan komunitas itu tidak terlepas dari perkembangan teknologi informasi dalam beberapa waktu terakhir.
Aksi mereka semakin nyata ketika bertemu secara fisik dan merencanakan sesuatu untuk melestarikan cagar budaya. ”Sarana yang mereka pakai modern (teknologi informasi), tetapi yang diomongkan bukan masa depan, melainkan masa lalu. Sepertinya mereka berusaha untuk mengetahui asal-usul di sekitarnya,” ucapnya.
Menurut Marsis, komunitas bisa berperan dalam mencatat fakta dan data serta mendokumentasikan cagar budaya. Temuan itu menjadi data awal untuk diberikan kepada dinas kebudayaan setempat agar bisa dikembangkan.
”Peran komunitas seharusnya juga dimaksimalkan sebagai garda terdepan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Kita belum benar-benar memanfaatkan itu, masih berjalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Repatriasi benda cagar budaya
Mengenai pemulangan benda cagar budaya yang ada di luar negeri, Hilmar menuturkan, pemerintah telah memiliki program repatriasi. Program ini fokus pada benda-benda sejarah Indonesia yang menjadi koleksi museum di Belanda.
Sebab, di masa kolonial, negara ”Kincir Angin” tersebut banyak mengumpulkan benda-benda bersejarah dari berbagai daerah di Indonesia. Modusnya beragam, di antaranya untuk penelitian, koleksi pribadi, hingga perampasan.
”Sudah ada pembentukan tim (repatriasi) dengan melibatkan arkeolog. Mudah-mudahan tahun ini akan ada pengembalian sebagian koleksi (museum di Belanda). Rencananya nanti (ditempatkan) di Museum Nasional,” ujarnya.
Hilmar menambahkan, arkeologi, antropologi, dan ilmu humaniora lainnya diperlukan dalam pendekatan pembangunan. Pembangunan semestinya tidak semata-mata memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya, seperti potensi kerusakan lingkungan.
”Bukan cuma dampaknya, tetapi bagaimana caranya membangun menggunakan kearifan lokal. Hal ini sebenarnya sumber daya luar biasa. Sayangnya belum kita manfaatkan secara optimal,” ucapnya.
Hari Purbakala Nasional
Terkait Hari Purbakala Nasional, Marsis Sutopo menyebutkan, selama ini peringatan pada 14 Juni tersebut hanya diperingati di lingkungan arkeologi dan kebudayaan. Ia berharap tanggal tersebut dapat dijadikan Hari Purbakala Nasional.
Tanggal 14 Juni diambil dari tanggal berdirinya Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie (Dinas Kepurbakalaan di Hindia Belanda) pada 1913. Sejak saat itu, perjalanan lembaga kepurbakalaan mengalami dinamika konsep, kebijakan, dan strategi dalam menjaga warisan budaya bangsa.
”Ketika itu ditetapkan (Hari Purbakala Nasional), pelestarian warisan budaya akan menjadi komitmen bangsa, tidak lagi hanya di kalangan arkeologi dan kebudayaan. Apalagi, bangsa Indonesia melalui perjalanan panjang yang peristiwanya melekat pada peninggalan purbakala,” tuturnya.