Anomali Suhu Samudra Pasifik di Atas Nol, El Nino Sudah Tiba
Anomali suhu permukaan laut di zona khatulistiwa Samudra Pasifik sudah di atas nol dan diperkirakan bakal terus meningkat, yang menandakan El Nino sudah terjadi.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anomali suhu permukaan laut di zona khatulistiwa Samudera Pasifik sudah di atas nol dan diperkirakan bakal terus meningkat yang menandakan El Nino sudah terjadi. Namun, masih belum bisa dipastikan seberapa kuat El Nino ini nantinya.
Laporan mengenai penguatan El Nino ini diumumkan European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF), Selasa (13/6/2023). Laporan ini didasarkan pada pemantauan Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa.
Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA) pekan sebelumnya juga telah melaporkan kondisi El Niño yang lemah muncul saat suhu permukaan laut di atas rata-rata menguat di sepanjang zona khatulistiwa Samudra Pasifik.
Menurut data NOAA, semua indeks Niño mingguan terbaru lebih dari +0,5 derajat celsius. Zona Nino-3,4 memiliki suhu +0,8 derajat celsius, Niño-3 adalah +1,1 derajat celsius, dan Nino1+2 adalah +2,3 derajat celsius. Sementara itu, anomali suhu bawah permukaan rata-rata area tetap positif, mencerminkan kelanjutan dari kehangatan anomali yang meluas di bawah permukaan zona khatulistiwa Samudra Pasifik.
El Nino–Southern Oscillation (ENSO) adalah osilasi angin dan suhu permukaan laut yang tidak teratur di atas Samudra Pasifik tropis. Periode La Niña selama tiga tahun, yang ditandai dengan suhu permukaan laut yang relatif dingin dan membawa banyak hujan di wilayah Indonesia dan Australia, berubah menjadi kondisi netral awal tahun ini. Kini terjadi situasi sebaliknya.
Peristiwa El Nino adalah periode kenaikan suhu permukaan laut di atas kondisi normalnya di area tropis Samudra Pasifik. Halini dapat berdampak kuat pada pola cuaca global. El Nino juga dapat secara signifikan memengaruhi suhu rata-rata global dan karenanya memengaruhi sinyal pemanasan global.
El Nino juga kerap dikaitkan dengan peristiwa kekeringan di beberapa bagian dunia, termasuk di wilayah Indonesia dan Australia. Fenomena ini terakhir kali terjadi pada 2018-2019. Sebelumnya, El Nino yang kuat juga pernah terjadi pada 2015.
Terus naik
Menurut analisis ECMWF, nilai anomali suhu permukaan laut di wilayah Nino 3,4 kemungkinan besar akan terus naik selama enam bulan ke depan. Sejumlah prakiraan dari berbagai pusat cuaca dunia juga menunjukkan kesepakatan umum tentang tren kenaikan suhu ini meski semuanya menunjukkan penyebaran yang cukup besar dan nilai rata-rata juga sedikit berbeda di antara sistem prakiraan.
”El Nino biasanya dikaitkan dengan suhu yang memecahkan rekor di tingkat global. Apakah ini akan terjadi pada tahun 2023 atau 2024 belum diketahui, tetapi, menurut saya, lebih mungkin terjadi daripada tidak,” kata Carlo Buontempo, Direktur Layanan Perubahan Iklim C3S UE.
Indonesia perlu mengantisipasi kedatangan El Nino. Selain menguatnya ancaman kebakaran lahan, menurut laporan penelitian ahli iklim BMKG, Siswanto, dan tim di jurnal PLOS ONE pada 3 Juni 2023, ada keterkaitan fenomena iklim global, khususnya El Nino dan IOD, dengan kekeringan dan penurunan produksi padi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Kekeringan meteorologi mengacu pada kondisi kurangnya curah hujan dan merupakan tantangan besar bagi ketahanan pangan.
Mengacu laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), El Nino 1997/1998 yang kuat berdampak pada penurunan panen padi tahun 1998 di Indonesia sebesar 3,6 persen dibandingkan panen tahun 1997 dan 6 persen dibandingkan panen tahun 1996. Hal ini terjadi akibat kekeringan terparah dalam dekade tersebut.
Penurunan produksi padi juga terjadi selama terjadinya El Nino kuat pada tahun 2015 dan awal 2016 akibat penurunan curah hujan di sebagian besar kepulauan Indonesia. Curah hujan di daerah utama penanaman padi di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan tidak menentu dan kurang, memaksa petani untuk menunda penanaman jauh melampaui periode optimal selama musim hujan yang biasanya berlangsung dari Oktober hingga April.
”Kekeringan meteorologi mengacu pada kondisi kurangnya curah hujan dan merupakan tantangan besar bagi ketahanan pangan. Oleh karena itu, informasi tentang potensi kekeringan meteorologi sebelum kejadian penting untuk menjadi acuan mengambil tindakan dalam mengantisipasi dampaknya,” tulis Siswanto dan tim.