Teleskop-teleskop Luar Angkasa China Siap Mengangkasa
Setelah sukses membangun stasiun luar angkasa Tiangong secara mandiri, China bersiap mengirimkan teleskop-teleskop luar angkasanya, yaitu teleskop optik Xuntian pada akhir 2023 dan teleskop radio Hongmeng pada 2026.
Setelah membangun dan mengoperasikan Stasiun Luar Angkasa Tiangong secara mandiri, China siap meluncurkan sejumlah teleskop luar angkasa, baik optik maupun radio, ke orbit. Tak hanya memperluas pandangan manusia tentang antariksa, teleskop-teleskop itu juga makin memperkukuh pengaruh China dalam eksplorasi antariksa di antara negara-negara Barat.
Salah satu teleskop luar angkasa itu adalah Xuntian yang akan diluncurkan pada akhir 2023 dan digunakan untuk menyelidiki galaksi jauh, energi gelap, materi gelap, serta evolusi alam semesta. Selain itu, ada teleskop radio Hongmeng yang mengorbit Bulan dalam bentuk sistem satelit konstelasi dan diluncurkan pada awal 2026.
Teleskop Stasiun Luar Angkasa China (CSST) Xuntian adalah teleskop luar angkasa pertama China. Xuntian yang bermakna survei langit terdiri atas teleskop optik dan ultraviolet dengan diameter lensa mencapai 2 meter. Diameter lensa Xuntian ini sedikit lebih pendek dari diameter lensa teleskop luar angkasa Hubble milik Amerika Serikat sepanjang 2,4 meter.
”Meski resolusi Xuntian mirip dengan teleskop Hubble, medan pandangnya 350 kali lebih besar dibanding Hubble,” kata deputi direktur Observatorium Astronomi Nasional China (NAOC), Liu Jifeng, kepada kantor berita China Xinhua, 7 Mei 2022. Dengan medan pandang lebih besar itu, teleskop ini bisa melihat daerah langit lebih luas dalam satu waktu tertentu dan bisa merekam 40 persen wilayah langit.
Baca juga : China Mulai Bangun Stasiun Luar Angkasa Baru
CSST akan dilengkapi dengan lima instrumen, seperti kamera survei dan alat untuk memetakan daerah pembentuk bintang di galaksi Bimasakti serta mendapatkan warna sebenarnya dari obyek yang bergerak cepat seperti komet dan obyek berputar seperti asteroid. Instrumen itu juga untuk mempelajari lubang hitam, galaksi, dan pembentukan bintang serta mendapat citra langsung eksoplanet.
Menurut Zhan Hu, saintis pada Fasilitas Optik CSST, semula Xuntian akan diletakkan di Stasiun Luar Angkasa Tiangong. Namun, cara itu akan menjadikan teleskop rentan dengan getaran, mudah terkontaminasi, serta berpotensi terhalang oleh cahaya dari stasiun luar angkasa.
Untuk mengatasi kendala itu, Xuntian akan diletakkan di orbit yang sama dengan orbit Tiangong. Selama beroperasi, teleskop akan berada pada jarak tertentu dari stasiun luar angkasa. Namun, saat dibutuhkan, baik untuk perawatan atau pengisian daya, teleskop itu akan ditarik dan dilekatkan pada Tiangong.
Leburnya batas-batas politik negara dalam eksplorasi antariksa akan membantu manusia memahami lebih baik kemanusiaan dan alam semesta, 'rumah besarnya'.
Model seperti itu membuat perawatan Xuntian lebih mudah dibanding Hubble. Selama beroperasi lebih dari 25 tahun sejak April 1990, Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) harus mengirimkan pesawat ulang-alik sebanyak lima kali, antara 1993 hingga 2009, untuk melakukan perbaikan, penggantian suku cadang, dan pemasangan instrumen baru bagi Hubble.
CSST diharapkan mulai beroperasi tahun 2024 dengan masa hidup selama 10 tahun yang bisa diperpanjang. Dalam satu dekade mendatang, sebelum 2035, Zhan mengklaim Xuntian akan menjadi teleskop ruang angkasa pada panjang gelombang visual dan ultraviolet-dekat terbesar di dunia.
Mengorbit Bulan
Tak hanya teleskop optik, China juga akan meluncurkan sistem konstelasi satelit yang berfungsi sebagai teleskop radio dalam proyek Hongmeng. Konstelasi teleskop radio itu akan terdiri dari satu satelit induk yang memproses data dan berkomunikasi dengan Bumi serta delapan satelit mini yang mendeteksi sinyal radio dari seluruh penjuru alam semesta.
Seperti dikutip dari Space, 9 Juni 2023, membangun teleskop di orbit Bulan jauh lebih layak dibanding membangun teleskop di permukaan Bulan. Metode ini juga sedang dipertimbangkan NASA dan badan antariksa lain untuk pengamatan astronomi luar angkasa masa depan.
”Metode ini secara teknis juga jauh lebih sederhana karena tidak membutuhkan proses pendaratan dan pembangunan teleskop di permukaan Bulan,” kata Xuelei Chen, astronom Badan Antariksa Nasional China (CNSA).
Selain itu, meletakkan teleskop di permukaan Bulan juga terkendala oleh waktu malam di Bulan yang sangat panjang. Pola rotasi dan revolusi Bulan yang sama membuat satu malam di Bulan berlangsung selama 14 hari di Bumi. Itu berarti pengamat harus memiliki energi untuk bisa melakukan observasi selama 14 hari. Sementara jika meletakkan teleskop di orbit Bulan, pengamatan pada obyek tertentu cukup dilakukan dua jam sekali sesuai periode orbit satelit mengelilingi Bulan.
Proyek Hongmeng diperkirakan mulai beroperasi pada awal 2026. Teleskop ini diharapkan bisa mendeteksi radiasi kosmik pada panjang gelombang 10 meter atau frekuensi kurang dari 30 megaHertz. Panjang gelombang ini tidak mungkin didapat jika teleskop berada di permukaan Bumi karena gelombang akan diserap lebih dulu oleh atmosfer Bumi.
Dengan mengamati spektrum frekuensi rendah tersebut, astronom berharap bisa mendapatkan informasi di Era Kegelapan atau pada beberapa ratus juta tahun setelah kelahiran alam semesta melalui dentuman besar (big bang). Pada usia semesta yang sangat muda itu belum terbentuk bintang, hanya ada kabut atom hidrogen yang tidak bisa ditembus.
Bahkan, saat bintang-bintang pertama terbentuk, cahaya yang tercipta tetap tidak mampu melewati kabut hidrogen tersebut. Namun, astronom memahami bahwa kabut itu memancarkan sejenis sinyal yang dikenal sebagai garis 21 sentimeter (cm). Sebagai bagian dari gelombang mikro dalam spektrum elektromagnetik, garis 21 cm telah membantu astronom menjejak awan hidrogen yang ada di galaksi Bimasakti.
Simak juga : China Luncurkan Modul Stasiun Ruang Angkasa Milik Sendiri
Namun, untuk mengamati garis 21 cm pada usia semesta dini, astronom perlu melihat radiasi pada panjang gelombang yang lebih panjang. Pasalnya, pengembangan alam semesta telah menarik dan memulurkan radiasi elektromagnetik dari sumbernya sejak belasan miliar tahun lalu. Karena itu, radiasi gelombang mikro yang dipancarkan atom hidrogen selama masa awal semesta itu bisa diamati saat ini di Bumi dalam bentuk panjang gelombang radio yang panjang yang tidak bisa diamati di permukaan Bumi.
Selain itu, sisi belakang Bulan yang tidak pernah bisa dilihat dari Bumi kemungkinan besar adalah tempat terbaik di Tata Surya untuk mencari sinyal-sinyal misterius. Sisi belakang Bulan juga terlindung dari aneka sinyal radio buatan manusia yang bising.
Tak hanya itu, saat malam di bagian Bulan yang membelakangi Matahari itu juga memberi kesempatan terbaik untuk mengamati sumber gelombang radio yang kuat. Sisi belakang Bulan adalah tempat tersepi di Tata Surya dari gangguan sinyal radio.
Persaingan AS-China
Peluncuran teleskop-teleskop luar angkasa China itu akan makin memperkukuh upaya China untuk menaklukkan luar angkasa. ”Menjelajahi kosmos nan luas, mengembangkan industri luar angkasa, dan menjadikan China sebagai kekuatan luar angkasa adalah impian abadi kita,” kata Presiden Xi Jinping seperti dikutip dalam China's Space Program: A 2021 Perpective yang diunggah Xinhua, 28 Januari 2022.
Di tengah embargo AS terhadap produk industri antariksa China, China mampu mewujudkan impian itu dengan upaya sendiri. Saat sejumlah negara maju bergotong royong membangun Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), China justru membangun Tiangong mandiri. Bukan hanya soal biayanya, melainkan juga teknologi dan teknik pengoperasiannya mereka kuasai.
Baca juga : China Menggoyahkan Kejayaan AS di Luar Angkasa
Setelah Tiangong, kini teleskop-teleskop luar angkasa China yang tampil mengemuka. Saat negara-negara maju yang lebih dahulu mengeksplorasi luar angkasa belum memilikinya, China menyalip dengan membangun, meluncurkan, dan mengoperasikan teknologi canggih itu dengan mengandalkan sumber daya yang mereka miliki.
Karena itu, banyak pengamat yang menilai kemajuan China dalam eksplorasi luar angkasa makin mendekati capaian AS, kompetitor utama mereka. Pasca dipensiunkannya teleskop Hubble pada 2009, AS kini bertumpu pada teleskop luar angkasa James Webb yang diameter cerminnya mencapai 6,5 meter.
Namun, James Webb dan Xuntian berbeda spesifikasi. James Webb melihat obyek kosmik dalam panjang gelombang yang lebih panjang sehingga bisa melakukan pembesaran lebih maksimal atau superzoom. Sementara Xuntian dengan medan pandangnya yang luas membuat teleskop ini cocok digunakan untuk pemetaan atau survei langit.
Karena itu, daripada mempertentangkan kedua teleskop luar angkasa yang memang berbeda fungsi itu, sejumlah ahli mendorong untuk kerja sama yang saling melengkapi. Toh hasil dari kolaborasi kedua teleskop luar angkasa itu akan makin memperbesar jangkauan dan pengetahuan manusia dalam memahami semestanya.
Namun, sebelum kerja sama pemanfaatan sumber daya teknologi untuk mengeksplorasi antariksa itu bisa diwujudkan, ada tantangan politik AS dan China yang harus dihadapi. Bagaimanapun, persoalan politik seharusnya bisa dikesampingkan, seperti saat AS, Rusia, Uni Eropa, Kanada, dan Jepang membangun ISS. Leburnya batas-batas politik negara dalam eksplorasi antariksa akan membantu manusia memahami lebih baik kemanusiaan dan alam semesta, ”rumah besarnya”.
Semoga impian itu bisa segera terwujud.