Pemikiran dan Kenangan akan Koentjaraningrat Dibukukan
Kenangan serta refleksi ilmu antropologi ajaran Profesor Koentjaraningrat didokumentasikan dalam buku ”Seabad Koentjaraningrat: Persembahan dan Kenangan”.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Buku berjudul Seabad Koentjaraningrat: Persembahan dan Kenangan diluncurkan di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (13/6/2023), pada rangkaian peringatan seabad Bapak Antropologi Indonesia, Profesor Koentjaraningrat (1923-1999). Buku berisi refleksi ilmu dan kenangan akan Koentjaraningrat ini diharapkan memperkaya catatan perkembangan antropologi di Indonesia.
Penyusunan buku digagas oleh Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI) dan dikerjakan dalam 2-3 bulan. Buku setebal 322 halaman itu lantas diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.
Buku ini terdiri atas dua bagian. Pertama, Persembahan, yang berisi delapan artikel ilmiah antropologi berbagai tema. Ada yang menulis dalam perspektif aktivisme, kebudayaan, sejarah, hingga refleksi pandemi Covid-19.
Beliau sudah punya visi ini sebelum universitas di Indonesia selama lima tahun ini bicara soal internasionalisasi.
Bagian kedua adalah Kenangan. Bagian ini terdiri atas 26 tulisan yang lebih ”tidak serius” dibandingkan dengan bagian pertama. Isinya tentang kenangan-kenangan akan Koentjaraningrat yang ditulis murid-muridnya. Antropolog Universitas Hasanuddin, Makassar, Munsi Lampe, misalnya, menulis saat gurunya mencari-cari kapur di kelas. Saat kapur tak ditemukan, Koentjaraningrat berkata, ”Adakah seseorang di sini yang suka makan kapur tulis?”
Istri almarhum, Stien Koentjaraningrat, turut menulis kenangannya di bagian kedua, mulai dari awal pertemuannya dengan sang suami yang waktu itu jadi guru SMA-nya, pengalaman naik haji, hingga pengalaman mereka ikut demonstrasi pada tahun 1998. Ada pula kenangan saat mereka menikah, tetapi kehadiran Koentjaraningrat diwakili keris lantaran sedang sekolah di Amerika Serikat.
Ini adalah buku kedua yang ditulis oleh para murid untuk Koentjaraningrat. Buku pertama diterbitkan pada 1997 dengan judul Corat-coret Koentjaraningrat. Buku kedua diterbitkan 26 tahun kemudian untuk mengenang usia ke-100 antropolog yang kerap disapa Pak Koen tersebut.
”Karena ini 100 tahun Pak Koen, kami (berpikir) mau bikin (buku) yang ilmiah atau lebih dari itu? Lalu kami pikir jangan ilmiah-ilmiah sekali karena ini pesta. Dimensi artistik (Pak Koen) harus ditangkap, begitu pula dimensi pertemanan, dan lainnya,” ucap editor buku sekaligus perwakilan FKAI, Iwan M Pirous.
Buku ini menceritakan beragam sisi Pak Koen. Sebagai antropolog, ia dikenal berintegritas, cerdas, dan disiplin dalam ilmu. Pak Koen tercatat turut membidani berdirinya 11 jurusan antropologi di sejumlah universitas di Indonesia. Dalam proses mendirikan jurusan antropologi, Pak Koen mensyaratkan bahwa pejabat jurusan itu mesti bergelar doktor.
Di sisi lain, Pak Koen juga antropolog yang kebapakan bagi murid-muridnya, jenaka, mudah bergaul, dan sederhana. Ia juga dikenal pandai menggambar. Ada suatu masa ketika Pak Koen menunjukkan gambar tokoh-tokoh antropologi yang ia lukis kepada murid-muridnya.
Adapun Pak Koen adalah antropolog yang juga menggeluti seni lukis dan tari. Sedikitnya ada ratusan gambar yang telah ia buat, baik dengan pensil, tinta, krayon, cat air, dan cat akrilik. Sebanyak 60 lukisannya dipajang di pameran ”Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat” yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta pada 8-15 Juni 2023. Selain pameran, ada pula diskusi seni tentang lukisan Pak Koen.
Pengajar sarjana dan pascasarjana antropologi Universitas Indonesia, Irwan Hidayana, mengatakan, Pak Koen memiliki perhatian yang luas sebagai antropolog. Ia tidak hanya paham isu-isu nasional, tetapi juga internasional. Pak Koen bahkan dulu ingin agar ilmu antropologi Indonesia terbuka dengan perspektif dari negara-negara tetangga.
”Belaiu sudah punya visi ini sebelum universitas di Indonesia selama lima tahun ini bicara soal internasionalisasi,” ucap Irwan.