Membongkar Ilusi Semakin Merosotnya Moral Manusia
Banyak yang percaya manusia menjadi kurang bermoral dibandingkan generasi sebelumnya. Namun, kepercayaan bahwa orang sekarang lebih tidak bermoral dibandingkan generasi sebelumnya ternyata hanya ilusi yang berbahaya.
Kita mungkin sering mendengar bahwa moralitas manusia semakin merosot. Dari waktu ke waktu manusia dianggap menjadi kurang baik, tidak hormat, dan tidak dapat dipercaya. Namun, riset terbaru menunjukkan, kepercayaan bahwa orang sekarang lebih tidak bermoral dibandingkan generasi sebelumnya ternyata hanya ilusi, yang justru bisa berbahaya bagi masyarakat.
Serat Kalatidha yang ditulis pujangga Ronggowarsito (1802-1873) seolah menemui kenyataannya saat ini. Disebutkan dalam serat ini tentang zaman edan, di mana derajat negara dan moralitas yang merosot.
Ronggowarsito juga menulis, pelaksanaan undang-undang sudah rusak karena tanpa teladan. Pada zaman itu, keadaan akan menjadi dilematis. Jika turut edan tidak tahan, tapi apabila tidak turut serta tidak mendapatkan bagian akhirnya menderita kelaparan.
Persepsi penurunan moral ini dimiliki orang-orang dari berbagai ideologi politik, ras, jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan.
Tak hanya Ronggowarsito, di banyak kebudayaan, proses kemerosotan moral manusia juga banyak ditulis. Sejarawan Romawi, Titus Livius, sejak 2.000 tahun lalu, meratapi kemerosotan moralitas sesama warga Romawi.
Dari zaman kuno hingga zaman modern, para penulis dan pengamat sosial banyak mengungkapkan tentang kemerosotan moral yang dialami masyarakat mereka, terutama dalam kebaikan, kejujuran, dan kesopanan dasar manusia.
Arthur Herman dalam bukunya, The Idea of Decline in Western History (1997), menulis tentang tenggelamnya fondasi moralitas yang akhirnya bakal membawa ke fajar gelap zaman modern kita. Kita tidak dapat menanggung amoralitas kita.
Adam Mastroianni, psikolog sosial dari Universitas Columbia di New York, awalnya penasaran mengapa begitu banyak orang, di berbagai waktu dan tempat yang berbeda, meyakini bahwa mereka sekarang kurang bermoral daripada dulu. Dia kemudian mendalaminya dan menulis disertasi mengenai hal ini.
Baca juga: Perjalanan Moralitas yang Terseok
Besama Daniel Gilbert, psikolog di Universitas Harvard di Cambridge, Massachusetts, Mastroianni baru-baru ini menunjukkan bahwa gagasan bahwa moralitas manusia menurun dari waktu ke waktu ternyata hanya ilusi psikologis. Dia berhasil membongkar tentang terbentuknya persepsi merosotnya moralitas manusia, sebelum kemudian menunjukkan dengan data-data mengapa hal itu sesuatu yang keliru. Hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Nature pada 7 Juni 2023.
Persepsi global
Untuk memeriksa gagasan umum bahwa moralitas merosot, Mastroianni dan Gilbert menganalisis survei di Amerika Serikat (AS) tentang nilai-nilai moral yang dilakukan tahun 1949-2019.
Beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan dalam survei ini, di antaranya, ”Apakah menurut Anda selama beberapa dekade terakhir masyarakat kita menjadi kurang jujur dan etis dalam perilakunya, lebih jujur dan etis, atau telah ada perubahan sejauh mana orang berperilaku jujur dan etis?” Pertanyaan berikutnya, ”Saat ini, menurut Anda, apakah keadaan nilai moral di negeri ini secara keseluruhan semakin baik atau semakin buruk?”
Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar (84,18 persen) peserta survei melaporkan moralitas telah menurun. Hasil serupa terlihat dalam survei yang dilakukan di 59 negara lain.
Baca juga: Degradasi Moralitas dan Tantangan Pendidikan Indonesia
Para penulis juga melakukan rangkaian survei mereka sendiri pada tahun 2020 dan menemukan bahwa orang-orang di AS umumnya mengatakan orang-orang saat ini cenderung berkurang dalam hal kebaikan dan kejujuran dibandingkan sebelumnya. Persepsi penurunan moral ini dimiliki oleh warga dari berbagai ideologi politik, ras, jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan.
Sekalipun menemukan fakta-fakta ini, Mastroianni dan Gilbert tidak ingin buru-buru menyimpulkan bahwa moralitas pada kenyataannya menurun secara drastis di seluruh dunia sehingga orang-orang di setiap era dapat mengamati penurunan itu dalam kurun waktu singkat dari masa hidup manusia.
”Benar bahwa orang-orang di setidaknya 60 negara benar-benar percaya bahwa moralitas sedang menurun, dan mereka telah memercayainya selama 70 tahun. Namun, Mastroianni dan Gilbert tetap skeptis.
Keduanya kemudian memeriksa dengan cermat survei yang meminta orang untuk melaporkan keadaan moralitas mereka sendiri dan orang-orang sezaman mereka saat ini.
Para penulis memilih survei yang telah dilakukan setidaknya dua kali dengan interval minimal sepuluh tahun sehingga jawaban dapat dibandingkan dari waktu ke waktu. Ini termasuk pertanyaan ”Bagaimana Anda menilai keseluruhan nilai moral di negara ini saat ini?”
Jika moralitas benar-benar menurun dari waktu ke waktu, orang diharapkan menilai rekan mereka lebih negatif daripada mereka yang mengikuti survei yang sama sebelumnya. Namun, data mengungkapkan bahwa penilaian peserta terhadap moralitas orang sezaman mereka tidak berubah dari waktu ke waktu.
Bagi Mastroianni dan Gilbert, ini berarti persepsi kemerosotan moral itu keliru atau ”setidaknya sangat sulit untuk menemukan bukti bahwa kemerosotan moral ini telah terjadi”.
Baca juga: Moralitas Pemberantasan Korupsi
Berikutnya, Mastroianni dan Gilbert menjelaskan tes mekanisme psikologis sederhana yang dapat menghasilkan ilusi kemerosotan moral dan dapat memprediksi beberapa keadaan di mana hal itu akan dilemahkan, dihilangkan, atau dibalik. Misalnya, ketika responden ditanya tentang moralitas orang mereka kenal baik atau orang yang hidup sebelum responden lahir.
Tidak lebih bermoral
Kedua peneliti kemudian memperkuat argumennya dengan menunjukkan bahwa orang-orang zaman dulu tidak lebih baik dari sekarang.
”Masyarakat menyimpan (atau meninggalkan) catatan yang baik tentang perilaku amat tidak bermoral, seperti pembantaian dan penaklukan, perbudakan dan penaklukan, ataupun pembunuhan dan pemerkosaan. Analisis yang cermat terhadap catatan sejarah itu menunjukkan indikator obyektif dari amoralitas ini menurun secara signifikan selama beberapa tahun terakhir,” sebut mereka.
Menurut Mastorianni dan Gilbert, rata-rata manusia modern memperlakukan sesamanya jauh lebih baik daripada yang pernah dilakukan nenek moyang mereka. Sekalipun demikian, mengapa banyak orang di banyak negara berpikir ada kemerosotan moral dari waktu ke waktu?
Para peneliti menduga bahwa hal itu berhubungan dengan faktor-faktor, antara lain, ingatan yang bias bahwa kenangan negatif cenderung memudar lebih cepat dari yang positif.
Mastroianni mengatakan, ilusi kemerosotan moral mungkin memiliki konsekuensi sosial dan bahkan politik yang penting.
Sebagai contoh, survei tahun 2015 yang dikutip dalam makalahnya menemukan, 76 persen orang di Amerika Serikat setuju bahwa ”mengatasi kerusakan moral negara harus jadi prioritas tinggi bagi pemerintah mereka”. Pandangan yang bisa memengaruhi pilihan pemungutan suara.
Alih-alih mengurusi moral masyarakat, manusia saat ini menghadapi banyak masalah lebih mendesak untuk diatasi, mulai dari perubahan iklim hingga ketidakadilan rasial dan ketidaksetaraan ekonomi.
Selain itu, keyakinan bahwa moralitas sehari-hari semakin berkurang juga dapat memengaruhi perilaku interpersonal orang. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa orang enggan mencari bantuan dan kenyamanan dari orang yang tidak mereka kenal karena mereka cenderung tidak percaya dengan kebaikan orang lain.
Jadi, apakah masih percaya bahwa orang saat lebih tidak bermoral dibandingkan orang tua mereka, dan generasi mendatang bakal lebih merosot moralnya dibanding generasi saat ini? Tiap zaman pasti ada saja orang yang berperilaku buruk terhadap sesamanya, demikian juga banyak yang bisa dipercaya dan rela berbagi kebaikan pada orang lain.
Menggeneralisasi terjadi kemerosotan moral dari generasi ke generasi, menurut kajian Mastorianni dan Gilbert, adalah ilusi yang berbahaya.