Batas Tipis Seni dan Sains dalam Diri Prof Koentjaraningrat
Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat, menunjukkan bahwa sains dan seni tidak selalu berseberangan melalui karya-karyanya, baik yang berupa ilmu antropologi maupun lukisan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Seni dan sains kerap dianggap dua kutub berbeda. Sudah beda sekolahnya, beda pula pendekatannya dalam berkarya. Sains harus ilmiah, sementara seni membebaskan perupanya berekspresi. Di tengah kontras seni dan sains, ada Koentjaraningrat yang menembus batas keduanya.
Ada pertanyaan menggelitik saat pegiat antropologi di Indonesia merayakan 100 tahun Profesor Koentjaraningrat bulan ini: beliau itu antropolog atau pelukis? Pertanyaan ini muncul lantaran salah satu agenda perayaan adalah pameran 60 lukisan karya Koentjaraningrat. Pameran bertajuk ”Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat” berlangsung di Bentara Budaya Jakarta pada 8-15 Juni 2023.
Koentjaraningrat (1923-1999) adalah antropolog berpengaruh di Indonesia. Ia turut mendirikan 11 jurusan antropologi di sejumlah universitas di Indonesia, lantas dijuluki ”Bapak Antropologi Indonesia”. Ia juga pengajar, peneliti, dan penulis yang hobi menggambar.
Putri sulung Koentjaraningrat, Sita Satar, menyebut, bapaknya selalu membawa pensil atau pulpen untuk mencorat-coret. Bapaknya juga suka menggambar rekan-rekannya saat rapat, lalu memberikan gambar itu ke mereka.
Walau ”hanya” hobi, keterampilan Koentjaraningrat dalam melukis dianggap terlalu baik untuk ”sekadar” hobi. Kurator di Galeri Nasional Indonesia dan Galeri Salihara, Asikin Hasan, menyebut garis-garis gambar Koentjaraningrat efisien. Pak Koen, begitu ia disapa, seakan tahu kapan harus memulai dan berhenti menggaris.
”Saya juga kagum dengan bagaimana beliau menangkap karakter (wajah obyek) lukisan, misalnya ibu tua Jawa,” kata Asikin pada diskusi karya seni Koentjaraningrat di Jakarta, Selasa (13/6/2023). ”Lukisannya juga jadi sangat berbeda ketika beliau studi karakter wajah dan postur orang-orang India. Ini tampak dari proporsi atau bahkan mata mereka,” tambahnya.
Koentjaraningrat diduga belajar melukis saat berinteraksi dengan pelukis-pelukis zaman dulu, seperti maestro S Soedjojono dan Trubus Soedarsono.
Selain menggambar dengan pensil dan tinta, Pak Koen juga melukis dengan cat air dan cat akrilik. General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri mengapresiasi akurasi Pak Koen ketika menggunakan cat air. Menurutnya, melukis dengan cat air lebih sulit daripada cat minyak dan cat akrilik.
Cat air mesti disapukan secara akurat sehingga cat tidak perlu ditumpuk-tumpuk atau digosok-gosok dengan kuas. Jika itu terjadi, kertas gambar bisa bolong. Sementara itu, cat akrilik atau cat minyak dapat ditumpuk dan digosok.
”Sabetan kuasnya akurat dan efisien, jadi (lukisannya) agak minimalis, tetapi menghasilkan apa yang diinginkan. Ini tampak dari karya-karya Pak Koen,” ucap Ilham.
Tidak jelas bagaimana atau dengan siapa Koentjaraningrat belajar melukis. Namun, Asikin menduga Koentjaraningrat belajar melukis saat berinteraksi dengan pelukis-pelukis zaman dulu, seperti maestro S Soedjojono dan Trubus Soedarsono.
Kala itu, sejumlah pelukis ikut dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka dulu berjuang secara gerilya, antara lain, dengan melukis langsung di tempat.
Interaksi dengan para pelukis itu diduga Asikin sebagai salah satu media Pak Koen belajar melukis. Pak Koen diduga mengamati goresan garis, sapuan kuas, hingga detail-detail menggambar ketika bersama mereka.
Pada diskusi seni kemarin di Bentara Budaya Jakarta, pertanyaan soal Pak Koen itu pelukis atau antropolog tidak berujung pada jawaban pasti. Bisa jadi Pak Koen kadang-kadang senang berperan sebagai antropolog, kadang pelukis. Bisa jadi ia adalah antropolog yang nyeni, atau bahkan seniman yang ilmiah. Yang jelas, verifikasi jawaban tidak bisa dilakukan karena Pak Koen sudah wafat.
Walau demikian, seni dan sains tidak harus selalu jadi dua hal berbeda. Seniman Leonardo da Vinci, misalnya, merengkuh perannya sebagai pelukis, pematung, dan penulis, sekaligus ilmuwan dan arsitek.
Selain membuat lukisan legendaris Mona Lisa, da Vinci juga menggambar The Vitruvian Man. Gambar ini menjadi titik tolak munculnya teori Vitruvius dalam ilmu arsitektur. Proporsi manusia dijadikan acuan dalam desain arsitektural. Dalam teori itu, suatu desain mesti memenuhi tiga aspek utama, yaitu utilitas (fungsi), firmitas (kekuatan), dan venustas (estetika).
Mengutip seorang ahli, kurator Bentara Budaya Efix Mulyadi mengatakan, ilmuwan apa pun dan seniman apa pun seolah-olah bekerja di dua jurusan berbeda, tapi sesungguhnya punya tujuan sama: ingin mengetahui sesuatu atau kalau bisa, menyingkap kebenaran.
”Ilmuwan mengungkap suatu wilayah yang belum pernah diketahui manusia, termasuk luar angkasa dan laut dalam. Tetapi, seni membuat manusia juga mencari kebenaran di balik apa yang kadang tidak terlihat. Ini dua hal yang kelihatan beda, tapi sesungguhnya sama saja,” ucap Efix.
Kehadiran Pak Koen yang berkarya di bidang sains dan seni, menurut Efix, patut disyukuri. Sebab, tak banyak orang yang mampu melakukannya. Semakin sulit menemukan manusia pandai yang juga nyeni di masa modern.
Salah satu alasannya, kebanyakan manusia zaman sekarang dituntut menjadi orang dengan spesialisasi tertentu. Hal ini menghambat mereka yang ingin mencoba bekerja di bidang yang dianggap berseberangan.
”Selain itu, ada keterbatasan alamiah yang dialami, yaitu waktu, kapasitas, kemampuan,” kata Efix. ”Jadi, kalau kita di sini memiliki Pak Koen, itu anugerah luar biasa.”
Dalam catatan kuratorialnya, Efix mengingatkan bahwa Pak Koen juga seorang penari. Dalam budaya Jawa, penari tidak hanya belajar gerak tari dan kaitannya dengan sosok yang dipresentasikan. Penari juga mesti mendalami filosofi tarian.
”Menari bukan sekadar perkara teknik mengolah tubuh, melainkan juga memahami dan mengalami isi atau nilai-nilai di balik yang kasat mata,” tulisnya. ”Lengkaplah hidup seorang Koentjaraningrat.”