Tradisi lisan dianggap tidak bernilai ekonomis sehingga sebagian generasi muda enggan terlibat dalam regenerasi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pewarisan tradisi lisan terkendala karena dianggap tidak bernilai ekonomis. Tradisi lisan pun berpotensi punah jika ini terus terjadi. Padahal, tradisi lisan berisi memori kolektif dan identitas kelompok masyarakat, serta pengetahuan lokal yang diwariskan sejak berabad-abad lalu.
Hal ini mengemuka pada Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan XII di Jakarta, Senin (12/6/2023). Kegiatan ini diselenggarakan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kegiatan berlangsung 12-15 Juni 2023.
Tradisi lisan dapat dimaknai sebagai pesan verbal nenek moyang yang kemudian diteruskan ke generasi-generasi berikutnya. Tradisi lisan dapat berupa nyanyian, mantra, pantun, cerita, dan mitos. Pesan itu bisa berisi banyak hal, seperti tradisi, nasihat, hukum adat, dan pengetahuan.
Menurut Ketua Umum ATL Pudentia MPSS, tradisi lisan kini sulit diwariskan. Ini karena generasi muda melihat orangtuanya sulit bertahan hidup hanya dengan menjalani tradisi lisan, misalnya melalui pertunjukan seni.
Pandemi Covid-19 memperparah kondisi ini. Mereka kehilangan sumber pendapatan karena berbagai pertunjukan ditunda atau dibatalkan saat pandemi. Padahal, sebagian pelaku tradisi lisan mengandalkan kegiatan seni dan budaya sebagai sumber pendapatan.
”Salah satu masalah terbesar adalah (tradisi lisan) tidak bisa hidup di komunitasnya sendiri, apalagi di luar. Di komunitas ada yang merasa tidak perlu mengenali dan meneruskan (tradisi lisan),” kata Pudentia. ”Mereka melihat tradisi lisan tidak bernilai ekonomis,” ujarnya.
Salah satu masalah terbesar adalah (tradisi lisan) tidak bisa hidup di komunitasnya sendiri, apalagi di luar.
Kondisi ini menghambat regenerasi tradisi lisan. Padahal, generasi muda adalah tumpuan pelestarian tradisi lisan. Jika tradisi lisan hilang, hilang pula identitas serta kearifan lokal masyarakat di tempat tertentu.
Pudentia mengatakan, kehilangan tradisi lisan sama dengan kehilangan ensiklopedia komunitas dari suatu tempat. Kehilangan itu tidak bisa digantikan dengan apa pun.
Di sisi lain, peluang untuk melestarikan tradisi lisan terbuka dengan dukungan pemerintah. Pada Pekan Kebudayaan Nasional 2021, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa tantangan negara saat ini, seperti pandemi dan bencana, bisa diatasi dengan kearifan lokal. Misalnya, jamu dikonsumsi nenek moyang untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit.
”Kita harus secara arif menghargai kebudayaan dan peradaban kita,” ujar Presiden. ”Selain pengembangan dan pemanfaatan (kebudayaan), pelestarian menjadi kunci untuk kemajuan Indonesia,” kata Presiden (Kompas.id, 20/11/2021).
Tradisi lisan di beberapa daerah pun berisi pengetahuan untuk menghalau penyakit, baik dalam bentuk dongeng maupun ritual. Beberapa di antaranya adalah warga Desa Cimulang, Jawa Barat; serta masyarakat adat Osing di Banyuwangi, Jawa Timur.
Ada pula tradisi lisan untuk perawatan ibu hamil dan bayi di Jawa Barat. Tradisi itu dilakukan paraji, orang yang membantu ibu dari kehamilan, persalinan, hingga setelah persalinan. Bantuan diberikan antara lain dengan membaca doa, memijat, memberi ramuan, dan menjaga ibu hamil dari gangguan roh halus.
”Paraji itu bukan dukun,” kata Mutiarani, peneliti paraji sekaligus dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta. ”Mereka membaca doa dari ajaran agama Islam. Mereka juga dekat dengan alam dan menyarankan ibu makan dari alam, seperti kacang-kacangan dan buah. Ini (paraji) baik sekali dipertahankan karena bisa disandingkan dengan ilmu sains,” ujarnya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menambahkan, teknologi memberikan peluang baru untuk mempertahankan dan mengembangkan tradisi lisan. Namun, hal ini perlu disertai dengan pemahaman atas risiko dan tantangan penggunaan teknologi.
Saya yakin bahwa dengan kolaborasi yang erat dan sinergi di antara semua peserta, kita dapat memperkuat keberlangsungan tradisi lisan dan komunitasnya serta mewujudkan kesejahteraan dan keselarasan lingkungan,” kata Hilmar melalui keterangan tertulis.