Setelah 25 tahun berlalu, banyak orang melupakan Reformasi 1998. Selain itu, peristiwa ini juga tidak menjadi perhatian penting dalam pelajaran sejarah di sekolah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reformasi 1998 menjadi salah satu sejarah penting bangsa Indonesia. Gerakan ini menandai runtuhnya Orde Baru yang melenggang berkuasa lebih dari tiga dekade. Memori reformasi perlu dirawat agar tidak dilupakan dan menjadi refleksi bersama, termasuk bagi generasi muda yang tidak merasakan peristiwa itu.
Memori itu dihadirkan dalam Pameran Reformas!h in Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, pada 17 Mei sampai 17 Juni 2023. Puluhan karya foto, grafis, syair, kartun, desain, esai, dan instalasi merekam momen-momen kejatuhan rezim pemerintahan Soeharto.
”Memori itu (reformasi 1998) sangat penting sehingga harus terus dirawat serta menjadi refleksi saat ini dan masa mendatang,” ujar kurator pameran, Gunawan Widjaja, dalam Kongko-kongko: #Memori98, Minggu (11/6/2023).
Menurut Gunawan, setelah 25 tahun berlalu, banyak orang melupakan gerakan Reformasi 1998. Selain itu, peristiwa ini juga tidak menjadi perhatian penting dalam pelajaran sejarah di sekolah.
”Banyak generasi muda yang ahistoris, bahwa pernah ada kejadian ini. Padahal, reformasi adalah bagian dari sejarah bangsa. Lewat pameran, kami ingin mengajak generasi muda merasakan apa yang terjadi saat itu,” ujarnya.
Gunawan menambahkan, Pameran Reformas!h in Absentia juga diharapkan menjadi refleksi bagi generasi 1998 yang saat ini berada di lingkaran kekuasaan. Termasuk dalam menjunjung demokrasi dan mencegah rezim represif berkuasa kembali. ”Salah satu tujuan pameran ini adalah mengumpulkan cerita-cerita lain seputar 1998. Mungkin cerita itu tidak diturunkan ke anak-anak mereka karena terdapat tragedi kekerasan di dalamnya,” ucapnya.
Pameran itu menampilkan sejumlah foto yang memotret unjuk rasa, kerusuhan, dan penembakan mahasiswa pada 12-21 Mei 1998. Rentang waktu ini merupakan momen genting menggulingkan Orde Baru.
Pada 12 Mei 1998, oknum aparat keamanan menembaki demonstran sehingga menewaskan empat mahasiswa. Tragedi Trisakti ini memperbesar gelombang perlawanan di sejumlah daerah. Banyak mahasiswa terluka akibat bentrok dengan aparat keamanan.
Kerusuhan pun memicu penjarahan. Pada 13-15 Mei, banyak toko dan rumah warga etnis Tionghoa dirusak dan dijarah. Bahkan, tak sedikit warga Tionghoa menjadi korban pelecehan seksual.
Mahasiswa mulai mendatangi Gedung MPR/DPR pada 18 Mei 1998. Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Posisinya digantikan oleh wakilnya, BJ Habibie.
Pameran Reformas!h in Absentia juga diharapkan menjadi refleksi bagi generasi 1998 yang saat ini berada di lingkaran kekuasaan. Termasuk dalam menjunjung demokrasi dan mencegah rezim represif berkuasa kembali.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, sebelum terjadi kerusuhan pada 12 Mei 1998 digelar sejumlah diskusi dan mimbar bebas di kampus-kampus. Saat itu, ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.
”Unjuk rasa yang terjadi pada 12 Mei (1998) awalnya berjalan damai. Saya sudah pulang sorenya. Makanya saya kaget saat mendapat informasi terjadi penembakan pada sore itu,” katanya.
Sore itu, Usman mengurungkan niatnya kembali ke kampus karena dilarang ibunya. Keesokan paginya barulah ia datang ke kampus dan melihat sisa-sisa kerusuhan, termasuk bekas darah yang diduga berasal dari korban penembakan.
Kerusuhan rasial juga terjadi pada Mei 1998 dengan menyasar warga Tionghoa. Beberapa di antaranya lari ke luar negeri. Namun, tak sedikit yang berlindung ke rumah tetangga.
”Seingat saya, isu anti-China diembuskan pada 13 Mei 1998. Beberapa tetangga datang ke rumah saya di Jelambar (Jakarta Barat). Mereka panik,” ujarnya.
Memori kelam
Usman menuturkan, peristiwa Mei 1998 menyimpan memori kelam brutalnya kebencian dan kekerasan rasial terhadap warga Tionghoa. Namun, tidak ada pengakuan tersurat dari pemerintah terhadap tragedi ini. ”Padahal, itu sangat penting untuk dijelaskan. Bahkan, tidak ada permintaan maaf. Ini seperti merendahkan martabat para korban,” ucapnya.
Memori kelam itu juga diceritakan oleh pewarta foto Kompas, Eddy Hasby. Pada Mei 1998, ia mengabadikan demonstrasi serta kerusuhan di Yogyakarta, Solo, dan Jakarta. ”Saya yang memotretnya saja trauma. Jangan ada lagi kejadian seperti itu,” katanya.
Sejumlah foto karyanya turut dipajang dalam pameran itu. Salah satunya adalah foto yang menggambarkan ribuan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi menduduki gedung parlemen pada 19 Mei 1998. Sebagian mahasiswa naik ke atap gedung. Mereka menuntut reformasi.
Wartawan Kompas, Sarie Febriane, menceritakan, diskusi-diskusi yang mengkritisi pemerintahan Orde Baru sudah digelar sebelum Mei 1998. Saat itu ia merupakan wartawan pers kampus Harian Bergerak di Universitas Indonesia (UI).
”Pada 9 Mei 1998, mahasiswa telah membangun narasi-narasi kritis. Bahkan, sudah ada spanduk bertuliskan, 'UI Tolak Harto',” ujarnya. Ketika itu gerakan mahasiswa masih berkelompok-kelompok. Hal ini tidak hanya dalam menentukan narasi, tetapi juga waktu unjuk rasa yang berbeda.
Pendiri Yayasan Riset Visual mataWaktu Oscar Motuloh mengatakan, seperempat abad setelah keruntuhan Orde Baru, misi gerakan reformasi mesti terus disuarakan. Sebab, gerakan itu merupakan simbol melawan kekuatan tirani militeristik agar tidak kembali berkuasa.