Penghapusan Anggaran Kesehatan 10 Persen dalam RUU Kesehatan Ditentang
Pentingnya mempertahankan komitmen anggaran 10 persen sebagai bentuk kehadiran dan komitmen politik negara terhadap kesehatan masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran kesehatan minimal 10 persen yang selama ini diatur sebagai anggaran wajib minimal pemerintah rencananya dihapus dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Keputusan tersebut dinilai tidak tepat dan bertentangan dengan upaya penguatan sistem kesehatan nasional.
Hal tersebut disampaikan oleh pendiri dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih dalam diskusi daring yang diikuti di Jakarta, Kamis (8/6/2023), bertajuk ”Kepentingan Publik yang Belum Ada di RUU Kesehatan”. Dalam diskusi tersebut hadir pula Direktur Yayasan IPAS Indonesia Marcia Soumokil dan pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti.
Menurut Diah, kewajiban anggaran kesehatan minimal 10 persen, baik bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih diperlukan. Dengan adanya aturan tersebut saja, pada 2021 masih ada 58 daerah dari 518 kabupaten/ kota yang proporsi anggaran kesehatannya kurang dari 10 persen. Distribusi alokasi anggaran pun timpang.
“Kami ingin menekankan pentingnya mempertahankan komitmen anggaran 10 persen sebagai bentuk kehadiran dan komitmen politik negara terhadap kesehatan masyarakat. Jika aturan tersebut sampai dihapus dan tidak ada mandat ke daerah, anggaran kesehatan dikhawatirkan tidak menjadi prioritas,” tuturnya.
Adapun alasan pemerintah menghapuskan aturan anggaran kesehatan 10 persen di dalam RUU Kesehatan, antara lain aturan tersebut tidak mengikuti penganggaran berbasis kinerja dan kaidah anggaran berbasis program (money follows program), serta tidak sesuai tahapan perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional. Menurut pemerintah, aturan anggaran kesehatan itu juga berisiko mendorong inefisiensi dan penyempitan ruang fiskal pada APBN dan APBD.
Kami ingin menekankan pentingnya mempertahankan komitmen anggaran 10 persen sebagai bentuk kehadiran dan komitmen politik negara terhadap kesehatan masyarakat.
Padahal, Diah mengatakan, sesuai dengan kajian yang disebutkan oleh Resyst (resilient and responsive health system) dibutuhkan alokasi anggaran kesehatan lebih dari lima persen dari PDB (produk domestik bruto) untuk dapat memberikan pelayanan yang baik bagi ibu dan anak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun pernah menerbitkan jurnal yang menyebutkan masyarakat yang tinggal di negara yang mengalokasi anggaran kesehatan 5-6 persen dari PDB, layanan kesehatan akan mudah diakses.
Catatan lain yang juga perlu diubah dalam RUU Kesehatan, yakni belum adanya penguatan kader kesehatan melalui pemberian upah wajib, perluasan definisi kelompok rentan dan memfasilitasi layanan kesehatan yang nondiskriminatif, serta belum adanya aturan larangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok. Untuk itu, proses pengesahan RUU Kesehatan tidak boleh dibahas secara tergesa-gesa. Penyusunan RUU perlu proses yang lebih panjang, inklusif, transparan, dan berbasis bukti.
“Kami mendorong agar DPR membuka kembali proses partisipasi publik untuk menjaring masukan yang komprehensif untuk RUU Kesehatan,” ucap Diah.
Partisipasi publik
Bivitri Susanti menyampaikan, partisipasi publik dalam proses perumusan undang-undang merupakan aspek yang penting. Namun, proses pembahasan RUU Kesehatan yang terjadi saat ini tidak berjalan optimal. Transparansi serta ketersediaan dokumen dalam proses pembahasan masih kurang. Dalam partisipasi publik juga kurang inklusi dengan melibatkan perempuan, kelompok disabilitas, ataupun kelompok miskin.
Selain itu, metode konsultasi publik yang berjalan cenderung satu arah seperti seminar tanpa dialog. Terkait masukan yang tidak ditampung dalam RUU Kesehatan pun tidak mendapatkan alasan yang jelas.
“Partisipasi publik jangan hanya dijadikan legitimasi. Melihat proses yang jauh dari partisipatif dan penuh kontroversi, sebaiknya RUU Kesehatan ini ditunda dulu,” kata Bivitri.
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, pembahasan RUU Kesehatan kini masih dibahas oleh pemerintah dan DPR. Masukan yang disampaikan pun memang tidak semua akan dimasukkan dalam RUU tersebut.
“Tidak semua masukan akan dimasukkan di RUU tetapi masih ada peraturan di bawahnya yang mengatur lebih teknis. Jadi (masukan) yang tidak masuk dalam RUU bukan berarti tidak tertampung,” katanya.