Implementasi peraturan aborsi aman belum dilakukan sehingga korban pelecehan seksual tidak bisa mendapatkan akses layanan. Hal itu masih membelenggu kaum perempuan terdampak karena masih belum berjalan.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Rancangan Undang-Undang Kesehatan memperpanjang masa maksimal kehamilan bagi pelaku aborsi akibat kekerasan seksual dan kedaruratan dari 6 minggu menjadi 14 minggu. Namun, revisi RUU tersebut masih berpotensi membelenggu kaum perempuan.
Hal itu tersampaikan dalam konferensi pers dengan tema ”Menelisik Pembahasan Kesehatan Seksual dan Reproduksi bagi Korban Kekerasan Seksual dan Kelompok Rentan dalam Polemik RUU Kesehatan”, Jumat (2/6/2023), di Menteng, Jakarta Pusat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jawa Barat Ratna Batara Munti mengatakan, masih belum ada sesuatu yang baru mengenai implementasi RUU Kesehatan terkait layanan aborsi bagi korban kekerasan seksual dan kedaruratan.
”Revisi RUU Kesehatan seharusnya membawa perubahan. Bukan hanya direvisi, tetapi tidak diterapkan,” ujar Ratna.
Sejak disahkan 14 tahun lalu, implementasi peraturan aborsi aman belum dilakukan sehingga korban pelecehan seksual tidak bisa mendapatkan akses layanan. Perlu adanya partisipasi dari organisasi-organisasi dan pemangku kepentingan untuk mendorong implementasi tersebut.
Hukum positif Indonesia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur secara eksplisit, yakni pada Pasal 346 sampai Pasal 348 bahwa tindakan menggugurkan atau mematikan kandungan (aborsi) merupakan tindak kejahatan.
Apabila aborsi tidak sesuai ketentuan, perempuan akan dikenai hukuman. Padahal, pemilihan aborsi bukan hanya sekadar menggugurkan anak, tetapi perempuan juga mempertaruhkan banyak hal yang menyangkut kesehatan fisik, psikis, dan sosial akibat kehamilan tidak diinginkan. Selain itu, RUU Kesehatan masih bias jender dengan pandangan maskulin.
”Perempuan berpotensi menjadi tersangka dalam hal ini karena ego struktural. Padahal, setiap orang yang menghalangi korban untuk mengakses layanan aborsi aman atau petugas yang tidak mau melayani seharusnya juga turut mendapat hukuman,” kata Ratna.
Koordinator Jaringan Save All Women and Girls (SAWG) Ika Ayu mengatakan, komitmen penyelenggaraan aborsi di Indonesia masih sebatas tulisan atau regulasi semata. Hal ini membuat perempuan sebagai korban kekerasan seksual tidak dapat mengupayakan pemulihan kesehatannya secara utuh. Kesehatan tidak hanya sebatas fisik, tetapi juga psikis.
”Sampai hari ini masyarakat belum bisa mengakses layanan yang sudah tertulis. Perlu adanya peraturan yang diimplementasikan atas komitmen tersebut,” kata Ika.
Ika melanjutkan, memang ada perubahan terkait usia maksimal kehamilan untuk melakukan aborsi. RUU Kesehatan memperpanjang masa maksimal kehamilan bagi pelaku aborsi dari 6 minggu menjadi 14 minggu. Kementerian Kesehatan menilai perpanjangan masa kehamilan tersebut sudah sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO merekomendasikan agar aborsi dilakukan di tempat pelayanan medis primer dan didampingi tenaga kesehatan ahli. Metode yang direkomendasikan adalah dengan pil atau obat, tidak lagi menggunakan kuretase tajam, untuk memastikan setiap perempuan mendapatkan layanan aborsi yang aman.
Spesialis Penguatan Sistem Kesehatan dari Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia, Mitra Kadarsih, menambahkan, revisi RUU Kesehatan terhadap kelompok rentan masih mengalami tantangan dan harus terus dikawal. ”RUU Kesehatan perlu dikawal agar lebih baik karena sistem yang sekarang tidak berhasil. Hal ini terlihat dari banyaknya tingkat kematian ibu,” ujarnya.
Menurut Mitra, RUU Kesehatan perlu membuat sesuatu yang baru dan transformatif. Apalagi, masih banyak korban kekerasan seksual yang mendapatkan penolakan layanan aborsi atau tidak tersedianya akses.
Selain itu, tujuh pilar RUU Kesehatan harus dijalankan. Tujuh pilar tersebut ialah terkait layanan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sistem informasi kesehatan, akses terhadap obat-obatan esensial, pembiayaan, kepemimpinan/regulasi, serta keterlibatan masyarakat secara bermakna.