Titik api bermunculan. Kombinasi El Nino dan Indian Ocean Dipole dalam fase positif yang mulai terjadi di bulan Juni 2023 bisa meningkatkan kekeringan dan risiko kebakaran hutan serta lahan.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — El Nino-Southern Oscillation yang sebelumnya dalam fase netral telah bergerak menuju El Nino di bulan Juni 2003. Pada saat yang sama, Indian Ocean Dipole yang selama Maret-April berada pada fase netral juga menjadi positif. Kedua fenomena ini meningkatkan intensitas kekeringan dan memicu kemunculan titik api di sejumlah wilayah.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang dirilis pada Rabu (7/6/2023), hingga awal Juni 2023, sudah ada 112 kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Sebelumnya, dilaporkan 26 hektar lahan terbakar di Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah, pada hari Jumat (2/6/2023). Peristiwa ini terjadi di dua titik, yaitu di Desa Kalahein dan Desa Manggaris. Karhutla juga terjadi di di Dusun Mulyo Rejo Desa Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, sejak Senin (29/5/2023).
Kepala BNPB Suharyanto mengatakan, ada tujuh wilayah yang akan mendapatkan perhatian khusus, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Status siaga darurat bencana karhutla dan kekeringan telah ditetapkan di seluruh provinsi tersebut per 29 Mei 2023.
Sejumlah langkah strategis yang bisa dilakukan yaitu dengan mengoptimalkan penggunaan infrastruktur pengelolaan sumber daya air, seperti waduk, bendungan, dan embung, untuk menyimpan air di sisa musim hujan agar dapat dimanfaatkan pada periode musim kemarau.
Hari ini, Suharyanto telah bertolak menuju Riau untuk memimpin rapat koordinasi penanganan karhutla sekaligus meninjau titik lokasi karhutla melalui udara. ”BNPB akan fokus ke kebakaran hutan dan lahan karena prediksi BMKG di tahun 2023 kemaraunya lebih kering. Diprediksi potensi kejadian karhutlanya lebih besar dari tiga tahun terakhir,” katanya.
El Nino dan IOD
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan, Indonesia perlu lebih mewaspadai terjadinya El Nino yang semakin pasti. Selain memicu kekeringan, minimnya curah hujan yang terjadi, juga akan berpotensi meningkatkan jumlah titik api sehingga makin meningkatkan kerawanan karhutla.
El Nino merupakan fenomena pemanasan suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur di atas kondisi normal. Pemanasan ini mengakibatkan bergesernya potensi pertumbuhan awan dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik Tengah sehingga akan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.
Menurut Dwikorita, berdasarkan pengamatan BMKG terhadap suhu muka laut di Samudra Pasifik, La Nina telah berakhir pada Februari 2023. Sepanjang periode Maret-April 2023, ENSO berada pada fase netral, yang mengindikasikan tidak adanya gangguan iklim dari Samudra Pasifik pada periode tersebut.
Fenomena ENSO netral mulai beralih menuju fase El Niño pada periode Juni 2023 dengan peluang di atas 80 persen. Intensitas El Nino diprediksi akan berlangsung dengan intensitas lemah hingga moderat.
Pada saat yang bersamaan, gangguan iklim dari Samudra Hindia, yaitu IOD (Indian Ocean Dipole), selama bulan Maret-April juga berada pada fase netral dan diprediksi berpeluang akan beralih menuju fase IOD positif mulai Juni 2023. Fenomena IOD positif cenderung mengurangi intensitas hujan di wilayah Indonesia.
”Kombinasi dari fenomena El Niño dan IOD positif yang diprediksi akan terjadi pada semester II-2023 tersebut dapat berdampak pada berkurangnya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia selama periode Musim Kemarau 2023. Bahkan, sebagian wilayah diprediksi akan mengalami curah hujan dengan kategori bawah normal (lebih kering dari kondisi normalnya) hingga mencapai hanya 20 mm per bulan dan beberapa wilayah mengalami kondisi tidak ada hujan sama sekali (0 mm/bulan),” ujarnya.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Perubahan Iklim BMKG Fachri Rajab mengatakan, pemantauan BMKG terhadap 699 Zona Musim (ZOM) hingga akhir Mei 2023 menunjukkan, 28 persen (194 ZOM) di wilayah Indonesia sudah masuk periode musim kemarau dan 56 persen wilayah lainnya (392 ZOM) masih mengalami musim hujan.
Wilayah yang sedang mengalami musim kemarau meliputi wilayah Aceh bagian timur, Sumatera Utara bagian timur, Riau bagian timur, Bengkulu bagian barat, Lampung bagian selatan, Banten bagian utara, DKI Jakarta, Jawa Barat bagian utara, sebagian Jawa Tengah, DIY bagian selatan, sebagian wilayah Jawa Timur, sebagian Bali, sebagian NTB, sebagian NTT, sebagian Gorontalo, sebagian Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara bagian selatan, sebagian Kepulauan Maluku, dan sebagian Maluku Utara. Sementara itu, sejumlah 16 persen (113 ZOM) lainnya merupakan wilayah yang mengalami kondisi basah atau kondisi kering sepanjang tahun.
”Puncak musim kemarau diprakirakan akan terjadi pada bulan bulan Juli, Agustus, dan September 2023, yaitu sebanyak 582 ZOM (83 persen). Dibandingkan dengan normal, puncak musim kemarau 2023 diprakirakan sama terjadi pada 390 ZOM (55,8 persen), maju terjadi pada 174 ZOM (24,9 persen), dan mundur sebanyak 135 ZOM (19,3 persen),” katanya.
Fachri juga menyampaikan bahwa prediksi hujan bulanan periode Juni-Oktober 2023 dapat mencapai kondisi bawah normal atau lebih kering dari rata-ratanya. Wilayah yang diprediksi mengalami hujan dengan kategori bawah normal pada bulan Juni 2023 meliputi sebagian Aceh, sebagian Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Barat, sebagian Sulawesi Tenggara, sebagian Sulawesi Tengah, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat dan sebagian Papua.
Pada bulan Juli, Agustus, dan September 2023 yang diprediksi sebagai periode puncak musim kemarau, curah hujan bawah normal diprediksi akan terjadi pada wilayah yang lebih luas meliputi sebagian besar Sumatera, Jawa, Bali, NTB, sebagian NTT, sebagian besar Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, Sulawesi Utara, Maluku Utara, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat, dan sebagian Papua. Bahkan, beberapa daerah akan mengalami curah hujan yang sangat rendah, yaitu kurang dari 20 mm per bulan meliputi Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
Langkah antisipasi
Dwikorita mengatakan, sejumlah langkah strategis yang bisa dilakukan yaitu dengan mengoptimalkan penggunaan infrastruktur pengelolaan sumber daya air, seperti waduk, bendungan, dan embung, untuk menyimpan air di sisa musim hujan agar dapat dimanfaatkan pada periode musim kemarau. Langkah tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko kekurangan air baik bagi kebutuhan masyarakat maupun untuk kebutuhan pertanian.
Selain itu, kata Dwikorita, lebih menggalakkan upaya pencegahan dan menyiagakan upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, untuk mengantisipasi meningkatnya potensi karhutla, terutama wilayah atau provinsi yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan. Menurut dia, BMKG akan melakukan pemantauan untuk mendeteksi titik panas atau hot spot menggunakan satelit. Jika terdeteksi potensi karhutla, secara resmi BMKG akan mengeluarkan peringatan dini.