Antisipasi Dampak El Nino terhadap Ketahanan Pangan
Kombinasi El Nino dan IOD positif di masa lalu terbukti menurunkan produksi padi di delapan kabupaten lumbung pangan utama di Pulau Jawa.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemunculan El Nino bersamaan dengan fenomena Indian Ocean Dipole atau IOD fase positif di pertengahan tahun ini berisiko meningkatkan kekeringan. Selain kebakaran hutan dan lahan, antisipasi juga perlu dilakukan terhadap ketahanan pangan. Data riset terbaru menunjukkan, kombinasi El Nino dan IOD positif di masa lalu terbukti menurunkan produksi padi.
Seperti diberitakan Kompas (Rabu, 7/6/2023), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi fenomena El Nino dan IOD positif akan muncul bersamaan serta semakin menguat pada semester II tahun ini.
Menurut laporan penelitian yang ditulis ahli iklim BMKG, Siswanto, dan tim di jurnal Plos One pada 3 Juni 2023 menunjukkan keterkaitan fenomena iklim global, khususnya El Nino dan IOD, dengan kejadian kekeringan dan penurunan produksi padi di Indonesia, khususnya dalam hal ini di Pulau Jawa. Turut menulis paper ini adalah peneliti dari Departemen Geografi Universitas Indonesia, di antaranya Kartika Kusuma Wardani dan Muhammad Dimyati.
Kekeringan meteorologi mengacu pada kondisi kurangnya curah hujan dan merupakan tantangan besar bagi ketahanan pangan.
Mengacu laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), El Nino 1997/1998 yang kuat berdampak pada penurunan panen padi tahun 1998 di Indonesia sebesar 3,6 persen dibandingkan panen tahun 1997 dan 6 persen dibandingkan panen tahun 1996. Hal ini terjadi akibat kekeringan terparah dalam dekade tersebut.
Penurunan produksi padi juga terjadi selama El Nino kuat pada 2015 dan awal 2016 akibat penurunan curah hujan di sebagian besar kepulauan Indonesia. Curah hujan di daerah utama penanaman padi di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan tidak menentu dan kurang, memaksa petani untuk menunda penanaman jauh melampaui periode optimal selama musim hujan yang biasanya berlangsung dari Oktober hingga April.
”Kekeringan meteorologi mengacu pada kondisi kurangnya curah hujan dan merupakan tantangan besar bagi ketahanan pangan. Oleh karena itu, informasi tentang potensi kekeringan meteorologi sebelum kejadian penting untuk menjadi acuan mengambil tindakan dalam mengantisipasi dampaknya,” kata Siswanto, Rabu (7/6) di Jakarta.
Namun, hal ini bisa sulit untuk daerah dengan data observasi yang terbatas atau jarang tersedia. Dalam studi ini, indikator kekeringan meteorologis diidentifikasi menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI) yang dihitung berdasarkan produk luaran estimasi hujan berbasis satelit dari berbagai sumber data.
Analisis kekeringan meteorologi berbasis SPI kemudian diterapkan di Pulau Jawa, khususnya kabupaten penghasil beras terbesar di Indonesia, yaitu Karawang, Subang, dan Indramayu di Jawa Barat; Cilacap, Grobogan, dan Sragen di Jawa Tengah; serta Ngawi dan Lamongan di Jawa Timur.
Hasil pemodelan menunjukkan, kekeringan meteorologi di delapan kabupaten penghasil beras terbesar di Jawa sangat dipengaruhi variasi El Nino dan fase positif IOD. ”Keparahan kekeringan ditemukan bergantung pada intensitas El Nino dan IOD fase positif yang terjadi secara bersamaan, sedangkan durasi kekeringan tampaknya lebih dimodulasi oleh IOD fase positif,” kata Siswanto.
Para peneliti menunjukkan potensi penerapan pemantauan curah hujan berbasis satelit untuk memprediksi kondisi kekeringan meteorologis beberapa bulan sebelumnya dan mempersiapkan dampak dan antisipasinya.
BMKG memprediksi, selama kemarau, curah hujan di Indonesia dengan kategori bawah normal atau lebih kering dari kondisi normalnya hingga mencapai hanya 20 mm per bulan. Bahkan, beberapa wilayah mengalami kondisi tidak ada hujan sama sekali.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Perubahan Iklim BMKG Fachri Rajab mengatakan, puncak musim kemarau diprakirakan terjadi pada Juli, Agustus, dan September 2023, yaitu 582 zona musim (83 persen). Dibandingkan dengan normal, puncak musim kemarau 2023 diprakirakan sama terjadi pada 390 zona musim (55,8 persen), maju terjadi pada 174 zona musim (24,9 persen), dan mundur sebanyak 135 zona musim (19,3 persen).
Kebakaran hutan dan lahan
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, Indonesia perlu lebih mewaspadai terjadinya El Nino yang semakin pasti. Selain memicu kekeringan, minimnya curah hujan juga akan berpotensi meningkatkan jumlah titik api sehingga makin meningkatkan kerawanan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Rabu, hingga awal Juni 2023 sudah ada 112 peristiwa karhutla di Indonesia. Kepala BNPB Suharyanto mengatakan, ada tujuh wilayah yang akan mendapatkan perhatian khusus, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Status siaga darurat bencana karhutla dan kekeringan telah ditetapkan di provinsi tersebut per 29 Mei 2023.
Suharyanto kemarin bertolak ke Riau untuk memimpin rapat koordinasi penanganan karhutla sekaligus meninjau titik lokasi karhutla melalui udara. ”BNPB akan fokus ke kebakaran hutan dan lahan karena prediksi BMKG di tahun 2023 kemaraunya lebih kering. Diprediksi potensi terjadinya karhutla lebih besar dari tiga tahun terakhir,” katanya.